Penulis: Yustinus Ade Stirman, S.Sos, M.Si*
Indonesia kembali berduka. Gempa berkekuatan 5.6 magnitudo mengguncang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat pada Senin (21/11/2022). Pusat gempa berada di daratan di kedalaman 10 km. Meski tidak berpotensi menimbulkan tsunami, namun gempa ini menyebabkan ratusan jiwa merenggang nyawa.
Dikutip dari situs resmi BNPB (27/11) data terakhir meninggal dunia menjadi 321 orang, pengungsi 73.874 orang dengan rincian aki-laki 33.713 orang dan pengungsi perempuan 40.161 orang.
Belum selesai tragedi Cianjur, Bumi Pertiwi kembali dikejutkan dengan gempa di Kabupaten Garut dengan Magnitudo 6,4 (3/12). Sehari kemudian (4/12) terjadi erupsi Gunung Semeru, Pukul 02:46 WIB dengan tinggi kolom abu teramati ± 1500 m di atas puncak (± 5176 m di atas permukaan laut).
Indonesia memang negeri rawan bencana. Letaknya di jalur gempa dunia menyebabkan negeri ini rawan terjadi bencana. Tak hanya bencana geologi (gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi) tapi bencana akibat ulah manusia (hidrometeorologi), seperti banjir, longsor, puting beliung, kekeringan, polusi air dan udara, perubahan iklim).
Negeri ini pun hidup di bawah bayang-bayang bencana. Tak berlebihan, mantan menteri LH era Presiden Megawati—Nabiel Makarim, MPA, MSM., menganalogikan, sejatinya kita saat ini tengah ‘Tidur dengan kalejengking’. Ya, sleeping with scorpion, katanya kepada penulis dalam suatu kesempatan. Kalau tidak hati-hati, bisa menggigit kita kapan saja dengan bisanya yang mematikan.
Rekam Jejak Bencana
Nabiel memang benar, setidaknya bila kita berkaca pada rekam jejak bencana geologi dan hidrometeorologi di Tanah Air beberapa tahun terakhir. Dikutip dari CNN Indonesia – BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) terjadi peningkatan gempa beberapa tahun terakhir. BMKG mencatat, sepanjang 2008—2018, rata-rata Indonesia mengalami gempa sebanyak 5000 hingga 6000 kali.
Kepala Bidang Gempa bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dr.Daryono, mengatakan, di tahun 2013, total gempa yang terjadi mencapai 4234 gempa. Meningkat menjadi 6929 kali pada 2017. Angka tersebut meningkat bahkan hampir dua kali lipat di tahun 2018, yakni sebanyak 11.920 kali gempa.
Bencana hidrometeorologi tak kalah ‘ganasnya’. Dikutip dari Majalah JENDELA, berdasarkan data BNPB Tahun 2000—23 Juli 2019, tercatat 15.188 kejadian bencana di Jawa dan Madura. Korban meninggal 4.007 jiwa, luka-luka 128.876 jiwa, korban yang terdampak 17.999.758 jiwa. Bencana juga menyebabkan 245.136 rumah rusak berat, 22.347 rumah rusak sedang, 103.151 rumah rusak ringan, dan 2.853.548 rumah terendam.
Dari 15.188 kejadian bencana tadi, bencana akibat tanah longsor paling sering terjadi, 4.569 bencana, menyusul banjir 4.361 bencana, putting beliung 4.596 bencanan, dan kekeringan 1.250 kali bencana. Kejadin bencana paling tinggi terjadi tahun 2017 (1.879 bencana) dan tahun 2018 (1.601 bencana),
Perencanaan RTRW Berbasis Bencana
Deret panjang daftar bencana geologi dan hidrometeorologi di atas dengan korban yang tak sedikit tentu perlu direnungkan atau refeksikan. Kebijakan apa yang perlu diambil untuk mengurangi jatuhnya korban akibat gempa bumi. Bencana memang tidak bisa dihindari karena kita hidup di negeri the ring of fire. Yang bisa kita lakukan adalah meminimalisas jatuhnya korban akibat gempa. Salah satu intervensi yang bisa dilakukan melalui perencanaan pembangunan berbasis data bencana.
Di sinilah, menurut Yuyun Harmono, manajer Kampanye Keadilan Iklim dan Manajemen Bencana WALHI, mengharapkan perlunya suatu model pembangunan yang peka bencana. Penyusunan RTRW perlu meyusaikan dengan kondisi daerah setempat. Perencanaan yang mengintegrasikan bencana ekologis
Harmono menilai penyusunan RTRW saat ini belum mempertimbangkan unsur kebencanaan. Termasuk data indeks kerentanan bencana akibat perubahan Iklim.
Untuk itu, peristiwa gempa bumi Cianjur menjadi momen yang tepat untuk mereview RTRW di daerah rawan bencana dengan mempertimbangkan informasi mengenai Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) yang dikeluarkan BNPB dan SIDIK (Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan) perubahan iklim dari KLHK, tahun 2015.
Dalam laporan Resiko Bencana Indonesia (RBI) tahun 2016, berdasarkan DIBI, lebih dari 1.800 kejadian bencana selama tahun 2005—2015 lebih dari 78% (11.648) kejadian bencana hidrometeorologi dan hanya sekitar 22% (3.810) lagi bencana geologi.
Bencana hidrometeorologi berupa banjir, gelombang ekstrim, kebakaran lahan dan hutan, kekeringan, dan cuaca esktrim. Sedangkan untuk kelompok bencana geologi yang sering terjadi adalah gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, dan tanah longsor.
Sementara tahun 2015, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Ikim KLHK, menerbitkan laporan SIDIK (Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan) Perubahan Iklim. Berdasarkan hasil perhitungan data SIDIK (Sumber data Podes 2011) dari 77.961 total desa di Indonesia, kategori desa Sangat Rentan sejumlah 2.507 (3%), Rentan sejumlah 2.433 (3%), Cukup Rentan 31.875 desa (41%), Agak Rentan 32.999 desa (42%) dan tidak rentan sejumlah 8.146 (8%).
Pertanyaannya, apakah data/informasi bencana dari BNPB dan KLHK ini sudah masuk dalam pertimbangkan penyusunan RTRW kab/kota. Kabupaten/kota mana saja yang sudah memasukan indeks kerentanan bencana.
Infrastruktur Ramah Gempa
Selain perencanaan peka bencana, untuk meminimalisasi jatuhnya korban jiwa dan harta maka perencanaan pembangunan sarana dan prasarana, seperti rumah penduduk, gendung/kantor, tampat ibadah dan fasilitas umum di daerah yang rawan atau sering terjadi gempa hendaknya sudah mempertimbangkan kekuatan gempa. Artinya sarana dan prasarana yang dibangun itu konstruksinya harus tahan gempa. Minimal kekuatan magnitudo 6—7. Realitanya, hal ini kurang diperhatikan dalam perencanaan infrastruktur kita, termasuk permukiman penduduk.
Dr. Aprinus Salam, mantan kepala Pusat Studi kebuyaan UGM, menghadapi bencana yang kapan saja bisa terjadi, tidak cukup dengan sosialisasi bahwa kita hidup di daerah rawan bencana. Atau, membangun kesadaran masyarakat tentang bencana tanpa dikuti dengan kesiapan infrastruktur bencana.
Maka dari itu, moment bencana gempa bumi menjadi titik masuk yang tepat bagaimana membangun infrastruktur gedung atau rumah sudah mempertimbangkan kekuatan gempa. Berangkat dari tragedi gempa Cianjur dan deretan panjang gempa yang terjadi selama ini, menunjukkan, banyak korban berjatuhan, lantaran tertimpah reruntuhan bangunan yang kurang kokoh menahan getaran gempa.
Budaya Peka Bencana
Sungguh ironis, kita hidup di negeri rawan bencana baik bencana geologi atau bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, puting beliung yang terjadi hampir setiap. Sayangnya, perilaku atau mentalitas kita seolah-olah hidup di negeri bebas bencana.
Kita tidak sadar bahwa kita saat ini sedang ‘tidur dengan kalajengking’. Kita perlu merawat ingatan kita bahwa kita hidup di negeri rawan bencana. Mitigasi dan adaptasi bencana hendaknya menjadi suatu gerakan kolektif yang menjadi suatu budaya, yakni budaya peka terhadap bencana.
Situasi ini sangat beda dengan negara Jepang yang ‘dijuluki’ negeri gempa sudah mempersiapkan dengan baik baik infrastruktur yang ramah gempa maupun mentalitas masyarakatnya. Dan, hal itu sudah menjadi budaya karena sudah diajarkan atau ditanamkan sejak kecil pada anak-anaknya sejak nenek moyang hingga sekarang. Mereka sudah tahu apa yang mereka lakukan kalau terjadi gempa.
Kearifan lokal atau local wisdom tentang bagaimana menghadapi gempa bumi ini yang perlu kita gali dari kearifan lokal bangsa ini di jaman lampau. Banyak contoh, bagaimana candi Borobudur dan candi lain di Indonesia tetap kokoh kalau terjadi gempa bumi.
Jadi, ada transfer knowledge yang putus dari generasi lalu ke sekarang. Hal ini yang perlu kita gali dan kembangkan dengan sentuhan teknologi dan ilmu pengetahuan sehingga dampak bencana alam akibat gempa bisa diminimalisasi.***
Penulis adalah Penyuluh Lingkungan Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Jawa