JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Indonesia tengah menjadi tuan rumah dari KTT G20 di Bali. Para pemimpin negara itu sedang merencanakan masa depan dunia. Perhelatan berjudul “Recover Together, Recover Stronger” menurut “Gerak Rakyat” hanya akan memperkuat transaksi untuk memperkaya oligarki dari negara penyumbang ¾ emisi global.
Alih-alih melibatkan masyarakat dalam pembicaraan nasib masa depan manusia dan lingkungan tersebut, pemerintah justru membungkam partisipasi publik demi mengamankan citra pemerintah di mata internasional. Segala aktivitas masyarakat sipil yang diselenggarakan di Bali mendapatkan intimidasi dan pembubaran dari aparat negara, termasuk masyarakat yang menjadi korban langsung dari kerusakan lingkungan.
Yayasan LBH Indonesia Pratiwi Febri menjelaskan bahwa situasi di Bali menjadi mencekam karena jumlah personel keamanan yang berlebihan. Sementara itu, para pemimpin negara justru membahas berbagai “solusi palsu” pencegahan krisis iklim.
“Kami sendiri mencoba bertanya kepada masyarakat selama di Bali dalam diskusi bersama mahasiswa di Universitas Udayana. Kami membahas soal energi bersih dan demokrasi, ternyata ruang hidup rakyat semakin sempit,” ujarnya.
Pemerintah selalu menyebut bahwa pembangunan yang dilakukan untuk menyejahterakan rakyat, nyatanya justru banyak warga dimiskinkan dan dimarginalkan dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Berbagai perampasan lahan terjadi, disertai dengan kriminalisasi dan pembungkaman kerap terjadi.
“Alam dirusak oleh sumber energi yang tidak bersih,” ujar Pratiwi.
Senada dengan itu, Leonard Simanjuntak dari Greenpeace Indonesia mengimbau pemerintah seharusnya tak perlu khawatir dan membuka ruang demokrasi seluas-luasnya bagi masyarakat sipil. Forum KTT G20 yang berlangsung di Bali hanya menjadi forum eksklusif dari oligarki yang membajak ruang hidup masyarakat.
“Perlawanan masyarakat sipil atas gagasan elit dibungkam demi narasi tunggal milik pemerintah,” katanya.
Menurut Leonard, dalam dua minggu terakhir, atau bahkan sebelumnya merupakan periode represif. Greenpeace yang ingin berkampanye kreatif dengan kampanye bersepeda sepanjang pantura dan mengunjungi komunitas terdampak krisis iklim, seperti masyarakat terdampak kenaikan permukaan laut di Pekalongan, Demak, dan Semarang, masyarakat yang mengalami pencemaran batubara di Marunda, dan wilayah tragedi Lapindo.
“Namun, aksi kreatif dan damai tersebut dibenturkan dengan kekerasan lewat organisasi massa yang dirancang untuk menghentikan kami di Probolinggo,” tutur Leonard.
Represifitas negara yang terjadi saat pesta elit G20 ini menjadi bukti kuat bahwa demokrasi di Indonesia yang dijamin oleh konstitusi semakin bergerak mundur. Atas dasar itu, Kepala Kampanye dan Pelibatan Publik dari Trend Asia Arip Yogiawan menilai, Presidensi G20 bukan sarana untuk pemulihan masyarakat, perempuan miskin kota, petani, buruh migran, perempuan marginal yang selama ini terhimpit oleh investasi yang merusak lingkungan hidup.
“Ratusan miliar uang negara habis digelontorkan untuk mengamankan kekayaan para pemimpin negara yang memiliki banyak masalah Hak Asasi Manusia di negaranya,” katanya.
Untuk itu, Arip mendorong terjadinya demokratisasi energi yang selama ini tidak pernah jelas pengelolaannya dan rencananya oleh pemerintah. Sumber daya yang vital bagi rakyat berada di bawah penguasaan negara namun yang terjadi pengadaan energi begitu korup dan merusak alam, sehingga diprotes warga seiring rusaknya ruang hidup rakyat.
“Banyak proyek transisi energi dan solusi palsu yang ternyata malah mendorong perusakan alam, air, polusi, juga memiskinkan rakyat,” tegas Arip Yogiawan.
Buruknya pelaksanaan demokratisasi energi ditanggapi Arie Kurniawati dari Solidaritas Perempuan sebagai hal yang perlu diperbaiki. Pasalnya, bukan rakyat yang difasilitasi untuk recover oleh negara, dan bukan perempuan yang kesulitan mengakses air bersih, kesehatan, dan pelayanan publik. G20 adalah forum untuk investor yang memanfaatkan pandemi, krisis iklim, dan lainnya untuk memperkaya diri.
Yang terjadi, G20 berbicara tentang “investasi” terhadap perempuan, tapi mereka tidak mengakui adanya ketimpangan sistemik yang menghalangi kesetaraan. Pemerintah ditengari menutupi fakta bahwa ada masalah sistemik dan mengajukan solusi-solusi palsu.
“Perempuan yang berdiskusi dan menyampaikan aspirasinya justru diteror, dibuntuti, dan dipantau sepanjang perhelatan G20. Kita kembali ke era otoriter,” kata Arie. (Jekson Simanjuntak)