Setiap pengurangan subsidi bahan bakar minyak, mempunyai sisi lain yaitu kesempatan pemerintah untuk secara serius mengembangkan energi alternatif yang ramah lingkungan. Subsidi minyak telah lama dikenal sebagai hambatan ekonomi-politik yang membuat pengembangan energi non-hidrokarbon, kecuali panas bumi, menjadi relatif mahal.
Para pakar energi telah ditantang Presiden mengembangkan blue energy, green energy, dan bentuk terbarukan lainnya. Selain pertimbangan ekonomi, teknologi, dan sosial-budaya, maka lingkungan hidup semestinya menjadi pertimbangan utama dalam kebijakan nasional ini.
Salah satu prinsip yang penting adalah kebijakan energi yang tidak melawan alam, artinya selaras dengan kenyataan ruang hidup (biosfer) tempat bangsa Indonesia tinggal dan berkembang, yaitu energi berbasis ekologi tropis atau ekotropika.
Basis ekotropika artinya mempertimbangkan semua kenyataan potensi yang ada di daerah tropis, dan menyusun serta mengembangkan kebijakan energi berdasarkan potensi itu. Kenyataan ekologis itu, antara lain, pertama, bahwa keanekaragaman spesies daerah tropis sangat tinggi, tetapi jumlah populasi tiap spesies rendah. Ada dua konsekuensi kondisi ini, yaitu bahan baku green energy tersedia melimpah, tetapi alamnya tidak cocok untuk mengembangkan tanaman monokultur dalam hamparan yang sangat luas.
Membuka satu juta hektare hutan untuk perkebunan sawit yang akan diambil minyaknya, sangat membahayakan ekosistem tropis karena jumlah keanekaragaman jenis yang hilang akan sangat tinggi dibandingkan kawasan beriklim sedang dan dingin. Boleh jadi, di antara yang hilang itu adalah bahan baku energi yang potensial.
Di dalam setiap hektare hutan tropis diperkirakan ada 320 pohon yang garis tengahnya lebih dari 10 cm, merupakan jumlah spesies tertinggi dibandingkan jenis hutan lainnya di bumi. Menurut Mustaid Siregar, Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), meskipun Indonesia kaya akan keragaman flora, namun, saat ini baru ada 8.000 jenis yang sudah teridentifikasi. Jumlah tersebut diperkirakan baru 20 persen dari jumlah flora yang ada di Indonesia.
Hutan-hutan Indonesia juga menyimpan jumlah karbon yang sangat besar. Menurut FAO, jumlah total vegetasi hutan Indonesia meningkat lebih dari 14 miliar ton biomassa, jauh lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia dan setara dengan 20% biomassa di seluruh hutan tropis di Afrika dan jumlah biomassa ini secara kasar menyimpan 3,5 milliar ton karbon. Artinya membuka hutan dalam skala massif untuk perkebunan kelapa sawit, sama saja dengan meningkatkan jumlah karbon di udara dan membuat Indonesia bertambah rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Kedua, berkaitan dengan posisi geografis dan faktor geologis. Proses geologis telah membentuk ruang hidup Indonesia sebagai kepulauan yang dipisahkan laut, sehingga bentuk pengembangan energi yang cocok adalah beragam, berskala kecil dan tersebar.
Biarkan listrik yang dihasilkan oleh Perusahaan Listrik Negara memasok energi untuk industri-industri besar, tetapi kampung dan dusun diterangi oleh energi mikrohidro, panel surya, atau wind turbin, dan biarkan ibu-ibu memasak dengan biomassa dari pembakaran sampah dan feses, bukan listrik dari luar daerahnya yang ditarik oleh jaringan tegangan tinggi yang sangat mahal. Prinsip ini sesuai dengan ketahanan ekosistem di alam: makin beragam spesies, makin kuat ekosistem itu. Kota Bekasi di Jawa Barat telah memberikan contoh, bagaiman sampah perkotaan mereka ternyata mampu menghasilkan listrik untuk beberapa ribu rumah tangga dan tetap menjadi investasi yang menguntungkan.
Posisi geografis membuat Indonesia berlimpah dengan kawasan hutan, cahaya matahari, hujan, angin, dan biomassa. Artinya, Indonesia tidak akan pernah kekurangan bahan baku energi bila lingkungan hidupnya terjaga. Air terjun akan selalu mengalir deras untuk memutar turbin mikrohidro, cahaya matahari dan hujan akan membuat hutan terus tumbuh dan menghasilkan biomassa yang dapat diolah menjadi energi. Indonesia membutuhkan dana investasi untuk pengembangan energi baru dan terbarukan sebesar Rp 134,6 triliun. Kebutuhan investasi tersebut selama 15 tahun ke depan tercantum dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025.
Dana tersebut akan dialokasikan untuk pengembangan energi baru terbarukan di lima koridor yaitu Sumatera Rp 25,06 triliun, Jawa Rp 86,3 triliun, Sulawesi Rp 15,77 triliun, Bali-Nusa Tenggara 2,64 triliun serta Papua-Maluku Rp 4,83 triliun. Dan hanya lima persen dari potensi yang ini yang sudah dimanfaatkan di Indonesia. Panas bumi misalnya, meskipun Indonesia merupakan negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia dengan potensi sebanyak 29.038 Megawatt, tetapi hanya 4 persen atau 1.189 Megawatt yang diproduksi.
Matahari cuma bersinar penuh di Eropa tak lebih dari tiga bulan, karena itulah mereka tidak mengutamakan energi surya kecuali beberapa lokasi di Spanyol. Karena itulah mereka sangat berkepentingan melanggengkan penggunaan energi fosil terutama batubara. Perusahaan minyak Amerika dan Eropa telah berinvestasi begitu besar di seluruh dunia.
Kepentingan terbesar adalah pemasaran barang dan teknologi berbahan bakar minyak bumi. Eropa Barat, Jepang, China, dan Amerika adalah produsen utama mesin-mesin dunia yang hampir semuanya masih berbasis energi karbon. Mustahil mereka menjadi pelopor penggunaan energi alternatif, karena itu akan memukul balik industrinya. Itu pula sebabnya, bahkan di negara-negara maju, pengembangan energi alternatif masih berskala inovasi individu. Tetapi di Indonesia, matahari bersinar hampir sepanjang tahun yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi.
Ketiga, berkaitan dengan proses-proses alami hutan hujan tropis. Banyak sekali orang yakin tanah hutan tropis Indonesia sangat kaya unsur hara sehingga bernafsu mengkonversinya menjadi perkebunan. Kenyataannya, lapisan unsur haranya begitu tipis sehingga mudah luruh. Kanopi hutan yang tertutup dan struktur yang berlapis-lapis berfungsi menyaring unsur hara dari air yang jatuh, sehingga hanya sedikit zat hara yang sampai ke tanah.
Ekolog Norman Myers menyimpulkan, banyak sekali tumbuhan tropis menyimpan hingga 90 persen zat hara di dalam vegetasinya, sehingga tanahnya miskin mineral yang dapat dipertukarkan tetap masam dan tidak subur. Pembukaan atau pembakaran hutan akan memicu aliran mineral ke dalam tanah, dan setelah pencucian akibat hujan, mineral itu menembus lebih jauh ke dalam tanah. Karena mata rantai daur hara terputus, maka tanaman berakar pendek seperti kelapa sawit tidak akan mampu menjangkaunya dan kesuburan hanya mampu dipulihkan dengan peningkatan jumlah pupuk. Konsekuensinya, konversi hutan tropis membawa banyak sekali kerugian yang tak ternilai.
Keempat, lahan kritis. Variasi iklim yang terbatas yakni hanya musim hujan dan kemarau, ditambah matahari yang bersinar sepanjang tahun, menyebabkan lahan-lahan yang dibiarkan kritis dan gundul di daerah tropis akan menderita kerusakan yang parah. Peluruhan hara akan terjadi sebelum dapat diambil kembali oleh tumbuhan. Pada 2011 luas kebun kelapa sawit 7,5 juta hektare, tetapi izin konversi hutan yang telah diberikan lebih dari 20 juta hektare, sehingga hampir 60% dibiarkan menjadi lahan kritis.
Desakan untuk mengkonversi lahan gambut menjadi kebun kelapa sawit juga layak ditolak karena gambut adalah penyimpan karbon utama sehingga konversinya akan melepas gas rumah kaca ke udara. Untuk menekan nafsu menggerus gambut, maka skema pendanaan lingkungan seperti REDD, perdagangan karbon, atau debt for nature swap harus dipercepat realisasinya. Jadi, sangat diperlukan aturan tegas yang mewajibkan pengusaha green energy memakai lahan kritis yang ada.
Hambatan lain adalah kelembagaan. Sulit membayangkan kita menyerahkan urusan energi alternatif ini kepada lembaga pemerintah yang masih dikuasai cara berpikir carbon-minded seperti Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral atau perusahaan listrik negara (PLN). Presiden atau Wakil Presiden sebaiknya memimpin sekumpulan ilmuwan multidisiplin dalam sebuah badan independen dengan tenggat program yang jelas untuk menerabas rantai birokrasi dan cara berpikir konvensional ini. Indonesia juga tidak perlu berkonsentrasi pada energi biru, hijau, atau hitam saja, tetapi mengembangkannya sekaligus secara komprehensif dan padu seperti warna-warni pelangi. (IGG Maha Adi)