Burung Trulek Jawa. Foto : Istimewa. |
JAKARTA,BL- Burung Trulek Jawa, salah satu jenis burung yang dikategorikan langka. Bahkan menurut rilis Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia, Trulek Jawa terakhir kali terlihat tahun 1939 di Pantai Meleman, pesisir selatan Jawa. Sejak itu, tidak pernah tercatat lagi kehadirannya.
Burung dari famili Charadriidae ini pada tahun 1994 pernah dinyatakan punah (Extinct) oleh IUCN, namun sejak tahun 2000, statusnya direvisi menjadi “Kritis” (Critically Endangered; CR). Meskipun begitu, hingga kini keberadaan burung Trulek Jawa ini masih misteri antara punah atau belum.
Berkurangnya lahan basah ditenggarai membuat keberadaan burung air makin terdesak bahkan kemungkinan ada punah. Padahal, kehadiran burung air merupakan indikator alami kualitas lingkungan di kawasan tersebut. “Lahan basah yang rusak tidak akan mampu menyokong sejumlah besar populasi burung air. Hutan mangrove dan hamparan lumpurnya, rawa, atau sawah merupakan tipe habitat lahan basah yang mereka sukai. Di lahan tersebut mereka mencari makan, beristirahat, dan berbiak,”kata aktivis Rahmadi aktifis Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia.
Salah satu jenis burung air yang nasibnya mengkhawatirkan di lahan basah adalah trulek jawa . Burung yang hidup di Pulau Jawa (endemik Jawa) ini, dikhawatirkan mendekati kepunahanan. Trulek jawa merupakan burung berukuran 27-29 cm dengan kepala hitam dan kaki panjang kekuningan. Ia memiliki kebiasaaan tinggal di wilayah rawa yang luas, muara sungai, serta genangan air di lahan basah saat musim hujan. Perburuan, penangkapan, dan hilangnya habitat alami merupakan ancaman utama terhadap populasinya yang tergolong kecil.
Burung yang termasuk salah satu paling langka di dunia ini, terakhir kali terlihat tahun 1939 di Pantai Meleman, pesisir selatan Jawa. Sejak itu, tidak pernah tercatat lagi kehadirannya. Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai jenis dilindungi sejak tahun 1978. Hingga kini lanjut Rahmadi, para ahli burung masih melacak keberadaan burung berstatus kritis ini, melalui survei dan ekspedisi di sepanjang pesisir pantai maupun lahan basah di Pulau Jawa.
Lahan basah merupakan daerah peralihan antara daratan dengan perairan yang tanahnya selalu digenangi air, sehingga hanya ditumbuhi tanaman khas. Nenek moyang suku Jawa, Bali, dan Bugis telah memanfaatkan lahan basah (buatan) untuk menanam padi dengan menciptakan sawah sejak 6.000 tahun silam. Sedangkan lahan basah (alami) seperti rawa pasang surut sudah dimanfaatkan untuk menanam padi sejak zaman Majapahit.
Diperkirakan, luas lahan basah di Indonesia sekitar 20 persen dari luas daratannya atau mencapai 40 juta hektar. Semua tipe ekosistem lahan basah yang ada di dunia tercakup di lahan basah Indonesia seperti kawasan laut (marin), muara (estuarin), rawa (palustrin), danau (lakustrin), dan sungai (riverin).
Namun, lahan basah alami Indonesia terus menyusut akibat dialihfungsikan menjadi lahan pertanian, permukiman, atau tambak. Alasannya, lahan basah dianggap kurang produktif dan kurang bermanfaat. “Padahal, lahan basah memiliki fungsi ekologis yang menjaga keseimbangan ekosistem daratan maupun perairan, baik itu habitat ataupun kehidupan tumbuhan dan satwanya. Lahan basah juga bermanfaat bagi manusia sebagai sumber produk makanan, bahan baku industri, dan obat,”jelasnya.
Seraya menambahkan, pembangunan dan pengelolaan lingkungan yang tidak menghiraukan kelestarian lahan basah, sepatutnya diperhatikan kembali. “Mengingat, lahan basah tidak hanya berguna bagi perlindungan dan pelestarian burung air beserta flora-fauna saja. Tetapi juga, mencegah terjadinya bencana alam yang mengancam kehidupan manusia, banjir misalnya,”tandasnya.(Marwan Azis).