PANGKAL PINANG, BERITALINGKUNGAN.COM – Masih dalam rangkaian peringatan bulan PRB 2019 di Pangkal Pinang, Bangka (11/10). Sudut pandang masyarakat terhadap penyandang disabilitas sebagai hambatan harus diubah.
Hambatan infrastruktur, gangguan fungsi tubuh, hambatan informasi, hambatan regulasi atau peraturan. Hal ini yang harus dirubah stigmanya dari masyarakat luas, karena mereka juga dapat berperan serta dalam kesiapsiagaan menyelamatkan dirinya, ketika ada bencana. Dan berhak mendapatkan informasi yang benar tentang bencana.
Penyandang disabilitas juga bagian dari kita dan berhak mendapatkan pengetahuan yang sama dalam penanggulangan bencana. “Penyandang disabilitas dapat lebih bermanfaat di lingkungannya. Jika sudut pandang ini dirubah, bahwa disabilitas juga bagian dari kita”, ucap Cucu Saidah aktivis Humanitarian Inclusion Advisor, CBM yang sudah 19 tahun terlibat dalam inklusi disabilitas.
Indonesia sudah mempunyai peraturan untuk penyandang disabilitas, antara lain peraturan UU nomer 8 tahun 2016 dan Perka BNPB nomer 14 tahun 2014 tentang penanganan, perlindungan, dan partisipasi penyandang disabilitas dalam penanggulangan bencana.
Pendidikan sejak dini juga diutamakan dalam memberikan pengetahuan bahwa penyandang disabilitas adalah keberagaman. “Sebaiknya dalam pelatihan kesiapsiagaan, penyandang disabilitas digabungkan dengan yang lain (non disabilitas), sehingga mereka dapat pembelajaran baru,” ungkapnya.
Ketua Gerakan Kesejahteraan untuk Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) Provinsi Jawa Timur, Maskurun atau yang biasa dipanggil Yuyun. “Sudah 4 tahun saya terlibat dalam kegiatan PRB Inklusif. Saya banyak belajar dan butuh banyak informasi untuk disampaikan kepada kaum tuli” jelasnya dalam bahasa isyarat. Pesannya kepada sesama teman-teman disabilitas, mereka jangan hanya menunggu bantuan pemerintah namun juga berperan aktif mendatangi pemerintah daerah untuk berpartisipasi.
Desderdea Kanni atau biasa dipanggil Desi, penggiat disabilitas dari Timur Indonesia menceritakan kesuksesannya di waktu singkat. Melibatkan pemerintah daerah, penyandang disabilitas diangkat menjadi staf ahli gubernur. “Ini merupakan salah satu pembangunan berbasis PRB inklusif dari beberapa capaian di NTT. Intinya, konsep disabilitas harus dimengerti dan dipahami pemerintah terlebih dahulu” ujar wanita yang akrab dipanggil Desi ini.
Menurutnya jika terjadi bencana, ada potensi juga masyarakat menjadi disabilitas akibat terkena reruntuhan bangunan atau sebab lain. Kaum disabilitas juga ingin selamat ketika ada bencana. Meskipun pemahaman PRB inklusif masih belum merata. Jika semua terlibat dalam upaya meningkatkan kesiapsiagaan, “semua akan selamat” optimisnya.
Pemahaman yang tepat akan membentuk pandangan kita, dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan antara pemerintah bersama penyandang disabilitas. Meskipun Inklusi PRB Disabilitas masih terbatas, namun Indonesia sudah memulainya karena #SiapUntukSelamat untuk kita semua. (Wan)