JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno mengatakan, pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan badak dari ancaman kepunahan.
Ada kerja-kerja terbuka dan ada kerja surveilans yang tertutup dan tidak perlu diketahui publik. Apa yang telah, sedang dan akan diupayakan oleh pemerintah merupakan upaya melindungi badak agar tetap lestari.
“Pemerintah mempunyai harapan pada penjagaan penuh kawasan untuk melindungi populasi satwa, survei trajectory dan pemanfaatan teknologi,” kata Wiratno di acara Media Briefing Penerapan Teknologi Berbantu dalam Konservasi Badak, Selasa (21/9).
Direktur Program TFCA-Sumatera, Samedi menyampaikan bahwa penerapan teknologi diperlukan untuk membantu menyelamatkan satwa yang terancam punah sebagai bagian dari upaya perlindungan satwa yang dilakukan secara maksimal.
Dikatakannya, saat ini populasi badak Sumatra diperkirakan kurang dari 100 ekor, terdapat di dua lokasi, di Aceh dan Lampung. Kawasan Leuser Aceh, merupakan kantong populasi yang masih viabel, artinya memungkinkan untuk keberlanjutan reproduksi spesies secara sehat.
Di Lampung, jumlah populasi maupun keragaman genetik sangat terbatas (terisolasi). Kondisi itu sangat mengkhawatirkan karena kemampuan satwa bercula tersebut untuk bereproduksi sangat terbatas. Itu disebabkan berbagai faktor, termasuk faktor intrinsik sehingga perlu bantuan teknologi.
“Jangan sampai pada peringatan kemerdekaan ke-100 RI, dua puluh lima tahun yang akan datang kita terpaksa harus mengumumkan kepunahan badak”, ujar Samedi.
Menurut Samedi, hal ini bukannya tidak mungkin, karena kondisi badak Sumatra saat ini mirip dengan kondisi badak Sumatera di Malaysia 25 tahun yang lalu. Tepatnya dua tahun lalu, badak Sumatera di Malaysia dinyatakan punah.
Langkah Antisipasi
Indonesia tentu tidak ingin mengulangi sejarah Malaysia. Karena itu, langkah-langkah preventif telah diambil pemerintah, antara lain dengan membangun suaka badak sebagai zona perlindungan menyeluruh (full protection zone) seperti di Taman Nasional Gunung Leuser.
Selain itu, sudah ada satu fasilitas pengembangbiakan Badak Sumatra (Sumatran Rhino Sanctuary) di Taman Nasional Way Kambas yang dianggap cukup berhasil dalam mempertahankan dan menghasilkan anakan badak baru. Regenerasi badak memang dikenal sangat lambat, karena hanya menghasilkan dua anakan dalam waktu lebih 10 tahun.
Tak hanya itu, di kawasan Leuser Timur, Aceh sedang dibangun fasilitas pengembangbiakan badak yang dilaksanakan oleh konsorsium Badak Utara yang dipimpin oleh Forum Komunikasi Leuser. Pendanaan proyek itu berasal dari program TFCA-Sumatera yang merupakan program di bawah perjanjian bilateral pengalihan utang untuk lingkungan antara Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia untuk mendukung program konservasi, khususnya spesies dan bentang alam penting di Sumatera.
Koordinator konsorsium Badak Utara Dedi Yansyah menjelaskan bahwa saat ini proses pembangunan fasilitas pengembangbiakan badak (SRS) telah dimulai. Proses studi kelayakan berikut kajian zoonosis juga telah dirampungkan.
Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, Wali Nanggroe Aceh, Pangdam dan unsur pemerintah Aceh Timur turut mendukung pelaksanaan proyek ini. Bupati Aceh Timur sendiri berkomitmen dengan mengalokasikan kawasan seluas 7.302 Ha di Alue Timur, Leuser sebagai lokasi konservasi badak Sumatera.
“Hal yang menjadi kunci dalam konsep pembangunan SRS adalah pelibatan masyarakat”, ujar Dedi.
Diharapkan masyarakat dapat ikut terlibat untuk mengelola dan menjaga kelestarian badak secara berkelanjutan. Fasilitas itu diharapkan dapat rampung pada akhir Desember 2021.
Assisted Reproductive Technology
Pakar Teknologi Reproduksi Berbantu, Assisted Reproductive Technology (ART) Muhammad Agil mengatakan, teknologi sangat diperlukan untuk meningkatkan populasi satwa khususnya badak Sumatra.
Agil mengaminkan pendapat Samedi yang menyatakan bahwa bisa jadi kepunahan bukanlah akhir dari segalanya (extinction is not forever), karena teknologi telah memungkinkan untuk menyambung kesinambungan hidup populasi yang nyaris atau bahkan telah punah di alam. Syaratnya, sepanjang masih memiliki stok plasma nutfah di dalam apa yang disebut bio-bank (cryo-preservation).
“Teknologi ini mulai diaplikasikan di Indonesia sejak 2019 yang merupakan pelaksanaan mandat dari dokumen Rencana Aksi Darurat Sumatra yang dikeluarkan oleh Pemerintah,” terang Agil
Menurutnya, selama ini badak Sumatra sulit berkembang di alam karena populasi yang tersebar dalam kantong-kantong kecil bersifat non-viabel dan sangat terisolasi. Jumlah yang sedikit dan kawasan habitat cukup luas menyebabkan badak di alam sulit untuk bertemu dan kawin (Allee effect).
Di seluruh dunia keberhasilan pengembangbiakan di lingkungan ex situ (captive) tanpa bantuan teknologi (secara alami) sangat lambat dan baru menghasilkan 5 anak badak selama 40 tahun.
Hal itu sangat mengkhawatirkan jika tidak dibarengi dengan penggunaan teknologi reproduksi. Selain itu, badak ternyata mengalami masalah patologis dan penyakit, seperti adanya kista serta tumor pada rahim dan leher rahim badak betina, yang disebabkan oleh alee effect tadi.
Untuk itu program darurat berupa pencarian dan penyelamatan (search and rescue) badak pada populasi yang terisolasi dan tidak viable perlu dilakukan, dimana badak-badak tersebut akan dipindahkan ke fasilitas pengembangbiakan seperti SRS. Program ini harus segera dilaksanakan sebelum badak di alam menghilang.
Program ART dapat diaplikasikan untuk mengumpulkan materi genetik dan memastikan keragaman genetiknya (heterozygositas) dan memastikan tidak terjadi perkawinan antar kerabat.
Pengumpulan bahan genetik dilakukan dalam bentuk stok semen beku, embrio dan induced-pluripotent stem cell sebagai cadangan untuk menghasilkan anak-anak badak baru. Aktivitas tersebut telah termaktub dalam peta jalan ART dan Bio-bank Badak Sumatra tahun 2021-2026 yang disusun oleh KLHK.
Namun faktor etika tetap harus menjadi perhatian. Pasalnya tidak serta merta kekayaan hayati dapat dimanipulasi dengan mengumpulkan materi genetik lalu dikembangbiakkan sehingga menimbulkan ketidakseimbangan di alam.
“Perlu dijaga keanekaragaman genetik agar dapat dipastikan keberlanjutan populasi badak yang sehat,” kata Agil.
Direktur KKH KLHK Indra Eksploitasia mengingatkan bahwa badak adalah aset negara yang harus dijaga dan dilestarikan. Ia menyebutkan bahwa kebijakan yang diambil pemerintah dalam mengembangkan suaka dan ART adalah program pengembangbiakan di dalam lingkungan terkontrol yang terkoneksi dengan program konservasi in situ.
Ketika program pembiakan ini berhasil, anakan badak maupun satwa liar lainnya akan dikembalikan ke alam. Pemerintah menyebutnya program ex-situ linked to in-situ conservation.
“Sehingga kita harus menjamin perlindungan terhadap habitatnya sehingga aman untuk badak pada saat dilepasliarkan kembali,” katanya. (Jekson Simanjuntak)