DENPASAR, BERITALINGKUNGAN.COM – Direktur Rehabilitasi Perairan Darat dan Mangrove, Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan KLHK Inge Retnowati mengatakan, mangrove memiliki banyak manfaat, baik secara lingkungan, sosial, maupun ekonomi.
Dari segi perubahan iklim, mangrove mempunyai kemampuan menyimpan karbon 4 sampai 5 kali lebih besar dari tanaman hutan di daratan. Semakin banyak kawasan mangrove, maka akan semakin banyak emisi karbon yang disimpan, dan semakin mempengaruhi perubahan iklim.
Oleh sebab itu, rehabilitasi dan konservasi mangrove perlu dilakukan, baik melalui usaha mandiri ataupun bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti; kementerian/lembaga, pemerintah daerah, akademisi atau perguruan tinggi, perusahaan, para pemuda, maupun masyarakat dari berbagai kelompok.
Darling Squad, sebuah komunitas sadar lingkungan yang digagas pada akhir 2018 melakukan 5.000 bibit di Kawasan Hutan Mangrove Pemogan, Bali. Inisiatif itu merupakan kelanjutan dari program konservasi ekosistem mangrove yang sudah dijalankan sejak empat belas tahun terakhir, dan telah berhasil menanam lebih dari satu juta mangrove di sepanjang pantai utara Pulau Jawa.
“Kami mengapresiasi upaya tersebut, termasuk mengajak mahasiswa untuk sedari awal memahami tentang mangrove dan manfaatnya, sehingga bisa menyebarluarkan informasi yang penting terkait mangrove, dan bisa turut berperan dalam pelestarian mangrove,” ungkapnya.
Senada dengan itu, Asisten Pemerintah dan Kesra, Sekda Provinsi Bali I Gede Indra Dewa Putra menjelaskan bahwa mangrove berperan penting dalam pengendalian perubahan iklim karena mampu menyimpan dan menyerap karbon lebih banyak dari hutan tropis daratan.
“Kegiatan ini merupakan bentuk aksi nyata penanaman mangrove, sebagai simbol upaya keberlanjutan lingkungan untuk mengurangi efek perubahan iklim, serta wujud kepedulian akan pelestarian hutan mangrove,” jelasnya.
Selain itu, keterlibatan mahasiswa Bali dalam acara tersebut menjadi hal yang positif untuk lebih memahami tentang pelestarian mangrove. “Dengan demikian, mereka tergerak untuk mendorong kelestariannya hingga bertahun mendatang,” ujarnya.
Menanggapi aksi penanaman mangrove di Pulau Bali, akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Soni Trison menjelaskan bahwa mangrove mampu menyerap 468,69 ton per hektar emisi karbon, yang dapat dicapai dalam 20 tahun ke depan.
Setelah tanaman tumbuh pada usia 10 tahun, masyarakat dapat memanfaatkan nilai guna langsung dari hutan mangrove untuk budi daya kepiting, serta memproduksi berbagai produk turunan dengan nilai mencapai Rp17 juta per Ha per tahun.
Di samping itu, masyarakat menerima manfaat atas nilai guna tidak langsung dari sektor ekowisata dan jasa lingkungan lainnya hingga Rp87 juta per Ha per tahun. Hal ini diproyeksikan dapat menggerakkan perekonomian, dengan total mencapai Rp104 juta per Ha per tahun.
“Manfaat itu akan lebih optimal jika aksi rehabilitasi dan konservasi mangrove dilakukan secara terintegrasi hingga tahun 2042,” jelas Soni.
Aksi penanaman mangrove di area seluas 5.000 meter di Pulau Dewata tidak dilakukan sendiri. Darling Squad menggandeng Direktorat Rehabilitasi Perairan Darat dan Mangrove, Dirjen Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan KLHK, Pemerintah Provinsi Bali, akademisi, tokoh muda peduli lingkungan.
Vice President Director Djarum Foundation FX Supanji mengatakan, mangrove menjadi salah satu tumbuhan sentral dalam penanganan perubahan iklim karena kekayaan fungsi fisik, ekologi, sosial, ekonomi. Upaya pelestarian mangrove harus berkelanjutan mengingat tanaman yang hidup di wilayah perairan itu rentan mengalami kerusakan, baik secara alami maupun karena aktivitas manusia.
Indonesia sendiri memiliki luasan mangrove sebesar 22,6 persen dari total keseluruhan dunia, sehingga memainkan peran sentral, termasuk dalam hal serapan emisi karbon. (Jekson Simanjuntak)