JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Direktur Eksekutif Perkumpulan Pikul Torry Kuswandono mengatakan bahwa Laporan Penilaian Keenam (AR6) dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan bagian dari serangkaian laporan yang menilai informasi ilmiah, teknis, dan sosial-ekonomi tentang perubahan iklim.
Hal itu diungkapkan Torry pada sesi diskusi “Calling for Environmental and Climate Justice in G20” yang digelar oleh Sub WG AFOLU and Rights di Jakarta (26/8). Dia mengingatkan bahwa laporan IPCC diperlukan untuk mendukung terwujudnya keadilan lingkungan dan iklim pada pertemuan G20.
Laporan Penilaian Keenam (AR6), selain mengevaluasi proses dan tindakan adaptasi untuk mengurangi risiko dari perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia, juga mengakui nilai dari beragam bentuk pengetahuan, seperti pengetahuan ilmiah, pengetahuan asli, dan pengetahuan lokal.
“AR6 menyoroti solusi adaptasi yang efektif, layak, dan sesuai dengan prinsip keadilan,” ujar Torry.
Laporan AR6 merupakan kontribusi Pokja I yang dirilis pada 9 Agustus lalu. Sebelumnya, kontribusi Pokja II dan III telah merilis laporan pada 28 Februari dan 4 April 2022.
Keadilan Iklim
Saat ini, Working Group ECE (The Environment, Climate Justice and Energy Transition) sedang mengupayakan terjadinya peningkatan keadilan iklim dengan pendekatan berbasis hak. Menurut Torry, keadilan iklim menggunakan pendekatan berbasis hak semakin diakui sebagai prinsip utama dalam strategi dan proyek mitigasi dan adaptasi di seluruh dunia.
“Oleh karena itu, pembangunan yang tahan terhadap iklim sangat erat kaitannya dengan isu-isu keadilan iklim,” tegasnya. Selanjutnya, sinergi antara adaptasi dan mitigasi akan memberikan manfaat besar bagi masyarakat miskin.
Perspektif keadilan iklim diperlukan agar masyarakat lebih adil dan mampu melakukan adaptasi. Pasalnya, hanya adaptasi yang mampu menghasilkan masyarakat berkeadilan yang dapat dinilai berhasil.
Lalu bagaimana dengan mitigasi? Torry menyebutnya sebagai seruan untuk keadilan iklim, utamanya terkait hal-hal yang perlu dilakukan.
Setidaknya ada beberapa hal, yakni pengakuan yang adil, keadilan prosedural dan keadilan distributif. Pengakuan yang adil meliputi penyertaan berbagai aktor dan lembaga yang rentan terhadap perubahan iklim.
Sementara keadilan prosedural adalah partisipasi diferensial, memastikan terjadinya partisipasi. “Misalnya perencanaan dan desain, memungkinkan kemajuan kesejahteraan,” ungkapnya.
Khusus keadilan distributif akan memberikan adaptasi untuk kelompok rentan dan memperbaiki kerentanan struktural. Adapun manfaat, dan beban intervensi akan didistribusikan secara adil.
Institusi yang kuat
Setelah itu diperlukan institusi yang fleksibel dan kuat. Fleksibilitas kelembagaan memungkinkan masyarakat merespons dengan cepat tuntutan lingkungan yang berubah.
“Caranya dengan mengembangkan lembaga baru atau menyesuaikan yang sudah ada dengan segera,” jelas Torry.
Lebih jauh, dia mengatakan bahwa ada banyak bukti tentang adaptasi dan mitigasi yang berhasil. Salah satunya karena menerapkan pembangunan yang adil dan keadilan iklim.
Rendahnya komitmen terhadap keadilan yang distributif, terjadi ketika keadilan menjadi salah satu dari banyak tujuan adaptasi, dan bukan yang utama. “Artinya tidak cukup untuk mempromosikan distribusi manfaat dan kerugian yang adil,” ujarnya.
Oleh sebab itu, keadilan iklim memerlukan pertimbangan kerangka hukum, kelembagaan dan tata kelola untuk menentukan secara signifikan apakah adaptasi berhasil dalam menangani kebutuhan masyarakat miskin. (Jekson Simanjuntak)