
Potret penebangan hutan.
Oleh : Marwan Aziz*
Rencana pemerintah Indonesia untuk membuka 20 juta hektar hutan guna mendukung swasembada pangan dan energi telah menimbulkan kekhawatiran luas.
Alih-alih meningkatkan ketahanan pangan dan energi nasional, kebijakan ini dinilai berisiko besar terhadap kelestarian lingkungan, hak masyarakat adat, serta komitmen iklim Indonesia di kancah global.
Jika rencana ini terealisasi, maka Indonesia akan menghadapi gelombang deforestasi terbesar dalam sejarahnya. Sebagai perbandingan, pembukaan 4,5 juta hektar hutan saja diperkirakan melepaskan 2,59 miliar ton emisi karbon ke atmosfer.
Dengan angka ini, bisa dibayangkan dampak ekologis dari pembukaan 20 juta hektar hutan—suatu kebijakan yang kontradiktif dengan target penurunan emisi nasional melalui skema FoLU Net Sink 2030 dan komitmen Nationally Determined Contributions (NDC).
Lebih lanjut, kawasan hutan yang dialokasikan untuk proyek ini mencakup:
- 15,53 juta hektar dari hutan lindung dan hutan produksi,
- 3,17 juta hektar dari izin PBPH tidak aktif,
- 1,9 juta hektar dari lahan Perhutanan Sosial.
Dengan kata lain, wilayah hutan yang masih memiliki ekosistem baik akan diubah menjadi lahan pangan dan energi. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: Bagaimana mungkin kebijakan ini tidak mengakibatkan deforestasi?
Dampak Sosial dan Konflik Agraria
Selain ancaman lingkungan, proyek ini juga berpotensi menciptakan konflik agraria berskala besar. Masyarakat adat dan petani lokal, yang selama ini menggantungkan hidup pada hutan, berisiko mengalami penggusuran paksa. Sejarah menunjukkan bahwa proyek swasembada pangan sebelumnya, seperti food estate di Kalimantan dan Sumatera Utara, justru menggusur masyarakat tanpa meningkatkan kesejahteraan mereka.
Data menunjukkan bahwa sejak 2014-2024 seperti dikutip Beritalingkungan.com dari Briefing Paper yang dikeluarkan WALHI bersama NGO lingkungan lainnya, setidaknya 1.131 orang telah menjadi korban kriminalisasi dalam konflik agraria di Indonesia. Jika proyek ini dikategorikan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), risiko penggusuran dan kekerasan bisa semakin tinggi.
Potensi Kerugian Ekonomi
Pemerintah mungkin melihat proyek ini sebagai upaya meningkatkan produksi pangan dan energi, tetapi apakah keuntungan ekonomi jangka panjangnya sepadan?
- Kerugian dari bencana ekologis akibat pembukaan hutan ini diperkirakan mencapai 101,2 triliun rupiah hanya dari bencana hidrometeorologi yang meningkat.
- Potensi kehilangan sumber daya kayu dari pembukaan hutan ini bisa mencapai 3.000 triliun rupiah.
Dengan kata lain, nilai ekologis dan ekonomi dari hutan yang akan ditebang jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang mungkin diperoleh dari food estate atau biofuel yang akan dikembangkan.
Alternatif dan Rekomendasi
Melihat berbagai dampak negatif yang mungkin terjadi, masyarakat sipil mendesak pemerintah untuk menghentikan proyek ini dan mencari solusi lain yang lebih berkelanjutan. Beberapa rekomendasi yang diajukan antara lain:
- Menghentikan rencana pembukaan 20 juta hektar hutan.
- Meningkatkan transparansi dan partisipasi masyarakat dalam perencanaan kebijakan.
- Mempercepat pengakuan hak masyarakat adat atas wilayahnya.
- Mengoptimalkan lahan pertanian yang sudah ada alih-alih membuka hutan baru.
Kesimpulan
Di atas kertas, rencana pembukaan 20 juta hektar hutan mungkin terdengar seperti solusi bagi ketahanan pangan dan energi Indonesia. Namun, dampak lingkungan, sosial, dan ekonominya menunjukkan bahwa kebijakan ini lebih banyak membawa mudarat dibanding manfaat. Jika pemerintah tetap melanjutkan proyek ini tanpa kajian yang matang, maka masa depan hutan Indonesia—dan masyarakat yang bergantung padanya—akan menghadapi ancaman serius.