pertambangan nikel di Kepulauan Raja Ampat, Papua. Foto : FWI
CALI, BERITALINGKUNGAN.COM– Pada pertemuan tingkat tinggi COP16 Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) di Cali, Kolombia, perwakilan masyarakat sipil Indonesia menyampaikan seruan tegas untuk menghentikan kerusakan ekosistem yang disebabkan oleh ekspansi tambang nikel di Indonesia.
Agenda ini mencuat sebagai perhatian besar dalam diskusi global mengingat tingginya ancaman terhadap keanekaragaman hayati, hak-hak masyarakat adat, dan integritas ekosistem di wilayah Indonesia, terutama di Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Direktur Eksekutif Auriga Nusantara, Timer Manurung, yang turut hadir dalam acara side event “Safeguarding Biodiversity and Human Rights in Energy Transition Mineral Supply Chains,” mendesak pemerintah untuk membatasi perluasan tambang nikel yang mencakup lebih dari 3,1 juta hektare lahan, dengan 2,5 juta hektare berada di kawasan hutan alami dan wilayah adat di Indonesia Timur.
“Ekspansi pertambangan nikel ini tidak hanya mengancam habitat 18 spesies ikonik Indonesia, namun juga kesejahteraan masyarakat adat yang bergantung pada sumber daya alam di sekitar mereka,” ujar Timer.
Ia mengusulkan agar pemerintah menetapkan “No Go Zone” untuk menjaga area yang memiliki keanekaragaman hayati kritis.
Menurut data Auriga Nusantara, sekitar 66% dari konsesi tambang nikel di Indonesia berada di hutan alam, dengan area ekspor utama yang ditujukan ke Tiongkok untuk memenuhi kebutuhan global akan komponen baterai kendaraan listrik. Pius dari AEER (Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat) juga menekankan bahwa proses tambang nikel yang mengandalkan energi batu bara turut berdampak pada ekosistem Kalimantan dan pulau-pulau lainnya.
“Pembatasan produksi nikel harus diterapkan sesuai dengan daya dukung energi terbarukan, agar keseimbangan antara aksi iklim dan perlindungan keanekaragaman hayati dapat terjaga,” tambahnya.
Organisasi Forest Watch Indonesia (FWI) menyoroti dampak langsung ekspansi tambang pada masyarakat adat, seperti meningkatnya banjir serta kehilangan akses terhadap lahan adat. FWI mendesak bahwa penerapan penambangan yang bertanggung jawab, termasuk standar FPIC (Free, Prior, and Informed Consent), merupakan bagian dari komitmen implementasi Kesepakatan Global Keanekaragaman Hayati (Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework atau KM-GBF).
Salma Zakiyah dari Yayasan MADANI Berkelanjutan menambahkan bahwa aksi iklim tidak boleh merusak ekosistem alamiah. “Indonesia perlu memastikan harmonisasi antara kebijakan iklim dan keanekaragaman hayati melalui strategi seperti Second NDC (Nationally Determined Contribution) yang selaras dengan Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (IBSAP),” ujar Salma melalui keterangan persnya yang diterima Beritalingkungan.com (01/11/2024).
Dalam tuntutan yang menggema di COP16, masyarakat sipil Indonesia menekankan pentingnya perlindungan terhadap hak-hak dan wilayah hidup masyarakat adat, serta keadilan iklim yang memberikan perlindungan sosial bagi komunitas yang terdampak akibat ekspansi tambang nikel (Marwan Aziz)