Oleh : Yustinus Ade Stirman*
Judul di atas diambil dari tema Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 21 Februari 2023, yaitu Tuntaskan Pengelolaan Sampah untuk Kesejahteraan Masyarakat.
Tema yang diusung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini selain menarik, juga menantang kita berpikir bagaimana sampah dikelola tuntas.
Tuntaskan Pengelolaan Sampah perlu dimaknai lebih luas dan mendalam, bahwa masalah sampah tidak hanya sekadar soal pengelolaan dan pemilahan sampah melalui pola 3R (reuse, reduce, recycle), maka persoalan sampah itu selesai. Persoalan sampah tak sesederhana itu, karena berhubungan dengan aspek lain yang sifatnya lebih mendalam, misalnya menyangkut budaya masyarakat atau cara pandang manusia terhadap sampah. Cara pandang menentukan cara orang bertindak menangani sampah.
Tuntaskan Pengelolaan Sampah juga perlu dipahami tidak hanya mengandalkan atau bertumpu pada pendekatan teknis atau teknologi pengelolaan sampah yang menurut penulis itu lebih pada pendekatan hilir yang sifatnya shallow ecology atau ekologi dangkal. Etika ekologi dangkal merupakan pandangan bahwa lingkungan dan segala komponennya ada untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pandangan ini sangat antroposentris sehingga dikenal pula dengan teori antroposentrisme. Mantan Menteri Lingkungan Hidup, A. Sony Keraf, mengatakan, antroposentrisme memandang manusia sebagai pusat atau titik fokus semua sistem yang ada di alam semesta.
Tuntaskan Pengelolaan Sampah di sini diartikan sebagai suatu model pengelolaan sampah yang berangkat dari akar persoalan sampah itu sendiri sehingga penanganannya bersifat deep ecology, yakni suatu pendekatan pengelolaan lingkungan yang lebih mendalam pada akar persoalan lingkungan. Dengan kata lain, Tuntaskan Pengelolaan Sampah harus berangkat dari akar persoalan sampah itu, yakni paradigma atau cara pandang manusia tentang sampah.
Akar Masalah Sampah
Berbicara masalah sampah tentu tak lepas dari laju pertambahan penduduk bumi yang terus bertambah. Perserikatan Bangsa-bangsa mengungkapkan jumlah penduduk dunia sudah mencapai 8 miliar jiwa per 15 November 2022. Hal tersebut disampaikan dalam laporan PBB bertajuk, World Population Prospects 2022. Sementara itu, berdasarkan survei Worldmeters tahun 2021, jumlah penduduk/polulasi Indonesia sudah mencapai 273.523.615 jiwa. Luas wilayah Indonesia 1.811.570 km2. Itu berarti, setiap 1 km2 terdapat 151 jiwa penduduk.
Tingginya jumlah penduduk berdampak pada sampah yang dihasilkan. Berdasarkan catatan Waste4change, 2021, Indonesia menghasilkan sampah sebanyak 175.000 ton per hari. Dari angka itu, 7,5 % saja yang mampu didaur ulang dan dijadikan kompos. Sisanya, 10 % ditimbun, 5 % dibakar, dan selebihnya terakumulasi di TPA.
Timbulan sampah yang menggunung itu, selain menimbulkan pencemaran lingkungan, juga menambah produksi gas metana dari sampah. Kasus ledakan gas metana di TPA Leuwigajah pada tanggal 21 Februari 2005 yang menyebabkan 157 orang merenggang nyawa menjadi pelajaran berharga akan bahaya bila sampah tidak dikelola dengan benar dan tuntas.
Sri Bebasari, pakar sampah nasional yang sudah lebih dari 40 tahun menggeluti pengelolaan sampah, mengatakan, setidaknya ada lima aspek penting dalam pengelolaan sampah, yakni aspek hukum, aspek kelembagaan, aspek pendanaan, aspek sosial budaya, dan aspek teknologi.
Dari lima aspek itu, menurut Ketua Dewan Pembina InSwa ini seharusnya dimulai dari aspek sosial budaya atau manusia. Mengapa, karena budaya erat kaitannya dengan cara berpikir sehingga orang tidak salah dalam mengambil solusi. Sebelum bicara solusi, bicara filosinya dahulu. Karena kalau langsung solusi akibatnya asal tiru atau copy paste saja dari tempat lain. Dengan kata lain, pahami dulu akar masalahnya sebelum kita mencari atau mengambil solusi sehingga solusi yang diambil bisa menjawab akar permasalah sampah.
Jebakan Berpikir Teknis
Masalahnya, selama ini kita selalu terjebak dengan cara berpikit teknis, bahwa masalah lingkungan termasuk sampah cukup diselesaikan melalui pendekatan teknolgi atau teknis saja sehingga pendekatan lain cenderung diabaikan. Ketika bicara soal sampah maka umumnya yang muncul dalam pikiran kita solusinya bagaimana. Dan, solusi itu berhungan dengan hal teknis atau teknologi yang dipakai dalam mengatasi masalah sampah.
Reza A.A.Wattimena, seorang filsuf, dalam bukunya, Filsafat Sebagai Revolusi Hidup, menulis, era sekarang ditandai dengan gejalah kemalasan berpikir di berbagai bidang. Orang seolah-olah hanya mampu berpikir teknis untuk menghitung keuntungan atau kerugian sementara kemampuan berpikir reflektif dan kritis justru semakin hilang.
Kemalasan cara berpikir ini juga dapat ditemukan pada ketidakmampuan untuk menerobos tradisi cara berpikir lama yang sudah lama bercokol. Akibatnya orang manut pada kebiasaan lama yang sudah lagi tidak pas dengan keadaan sekarang. Ketika keadaan berubah, sementara berpikir dan cara menyikapi keadaan tersebut tidak berubah maka akan terjadi masalah. Termasuk dalam hal melihat persoalan lingkungan.
Kemalasan berpikir ini bisa ditafsirkan sejalan dengan argumen Heidegger, bahwa manusia modern terjangkit penyakit ketidakberpikiran (Gedankenlosigkeit). Ia hidup bagaikan robot yang tak mampu mencari makna dan berpikir mendalam. Oleh karena itu, keberanian berpikir kritis dan mendalam, itulah keutamaan utama yang kita butuhkan sekarang ini. Perubahan adalah sesuatu yang pasti terjadi. Maka cara berpikir kita pun harus ikut adaptif sekaligus kritis dengan perubahan yang ada, demikian kata sang filsuf tadi.
Dengan berpikir kritis dan reflektif menghantar kita pada inti permasalahan sampah. Dengan memahami akar persoalan sampah maka langkah selanjutnya adalah bagaimana mengampanyekan kepada publik bahwa sampah menjadi masalah kita bersama yang perlu diatasi melalui gerakan kolektif yang melibatkan semua elemen publik, mulai dari pemangku kepentingan (pemerinta), perguruan tinggi, dunia usaha, media, LSM, dan masyarkat.
Satu hal yang perlu dipahami, persoalan sampah itu bukan hanya menjadi tanggung jawab KLHK di tingkat pusat atau Dinas Lingkungan Hidup di tingkat provinsi/kabupaten/kota Akan tetapi, menjadi tanggung jawab bersama semua pihak, termasuk masyarakat.
Untuk itu, Tuntaskan Pengelolaan Sampah Untuk Kesejahteraan Masyarakat itu akan menjadi kenyataan manakalah masyarakat dilibatkan secara penuh sebagai subjek bukan sebagai objek penderita atau pelengkap saja.
Gerakan penyadaran dan soslialisasi yang terus menerus dan berkelanjutan harus dilakukan dalam berbagai cara, seperti penyuhan lingkungan sehingga masyarakat lebih peduli dan berbudaya lingkungan.
*Penulis adalah pegiat Relawan Lingkungan PERISAI BUMI Yogyakarta