Ketgam : Dalam melakukan aksinya, Rosa (ujung kiri) mengajak kaum muda lainnya untuk terlibat dalam restorasi hutan bakau di Lembata, NTT. Foto: Yayasan Plan International Indonesia/ Hermanus Ama Lawe/.
Rosa asal Lembata, NTT dan Firda asal Majene, Sulawesi Barat, dua perempuan muda ini merasakan dampak perubahan iklim sudah semakin nyata. Curah hujan tak menentu dan abrasi pantai membuat mereka tergerak melakukan aksi pengendalian perubahan iklim, salah satunya melalui restorasi hutan bakau. Mereka yakin pelibatan seluruh pihak menjadi kunci untuk merestorasi hutan bakau.
Khawatir akan abrasi pantai, beberapa tahun lalu Rosa, perempuan muda asal Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur bersama pemerintah desa dan tokoh masyarakat telah menanam pohon bakau di tepi pantai Desa Kolontobo, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Sayangnya, tidak semua anakan bakau yang mereka tanam tumbuh dengan baik.
“Sebagian anakan bakau yang kami tanam tercabut dan patah. Apalagi saat dihantam ombak,” ungkap perempuan muda usia 25 tahun.
Sadar akan kondisi ini, mereka lalu mengikuti beberapa kegiatan yang diselenggarakan Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) tentang adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana. Melalui kegiatan ini mereka diberkali materi perawatan pohon bakau dan terjun langsung membersihan sampah dari laut yang tersangkut pada anakan bakau.
“Kami memeriksa dan menanam ulang anakan bakau sebelum tercabut dan patah. Kami menggunakan kayu penyangga agar anakan bakau bisa selamat pada masa penyesuaian setelah ditanam,” tuturnya.
Rosa (25) menanam kembali anakan bakau di pesisir pantai Lembata yang sebelumnya rusak dan tercabut. (foto: Yayasan Plan International Indonesia/ Hermanus ama lawe)
Selain restorasi hutan bakau, Rosa bersama kaum muda lainnya turut memberikan edukasi kepada masyarakat akan pentingnnya menjaga kelestarian lingkungan terutama wilayah pesisir desa.
“Kami imbau agar masyarakat tidak membuang sampah ke laut, tidak menebang pohon bakau dan menyosialisasikan manfaat pohon bakau sebagai pencegah abrasi,” tandasnya.
Tanam 200 Pohon Bakau
Firda asal Majene, Sulawesi Barat melakukan restorasi hutan bakau di pesisir pantai di Makassar, Sulawesi Selatan. (foto: dokumentasi Hilda)
Firda, 24 tahun, terpilih menjadi satu dari 24 perempuan muda seluruh Indonesia yang menjadi peserta Girls Leadership Program, sebuah program yang ditujukan untuk perempuan muda agar terlibat dalam aksi nyata pengendalian perubahan iklim, baik adaptasi maupun mitigasi yang diadakan Plan Indonesia. Perempuan muda asal Majene, Sulawesi Barat ini terpilh lantaran berhasil melakukan aksi nyata pengendalian iklim bersama kelompok Jejak Teduh dengan menanam 200 bibit bakau dan mengumpulkan 20 kilo gram sampah dari kawasan pesisir pantai di Makassar, Sulawesi Selatan.
Semuanya berawal dari keresahannya akan perubahan suhu udara di Kota Makassar yang semakin panas dan curah hujan sudah yang tak menentu.
“Sekarang kondisi cuaca semakin hari semakin tidak menentu, hujan dipagi hari, lalu panas terik disiang hari. Kondisi ini membuat saya tergerak untuk melakukan sesuatu dan mengajak kaum muda di sekitar saya juga ikut mengambil peran karena saya percaya kaum muda merupakan agen perubahan yang dapat mengubah peradaban,” kata Firda.
Kaum muda bersama dengan relawan lainnya menanam sekitar 200 tanaman bakau di pesisir pantai Kota Makassar. (foto: dokumentasi Firda)
Dalam memulai aksinya, Firda berkolaborasi dengan berbagai pihak. Untuk mendapatkan bibit tanaman bakau, Hilda mengajukan permohonan kerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan melalui Balai Perbenihan Tanaman Hutan Wilayah.
“Saya juga mengajak komunitas kaum muda seperti Komunitas Mangrove, Duta Lingkungan Hidup, Duta Pelajar dan Forum Anak untuk bergabung di kegiatan ini. Beruntungnya, ajakan kolaborasi itu disambut dengan baik,” ungkapnya.
Sebelum praktik penanaman bakau, seluruh relawan diberikan pembekalan terlebih dahulu tentang kondisi lingkungan dan peran tanaman bakau dalam mengurangi krisis iklim. Harapannya, materi ini bisa mendorong kesadaran dari kaum muda dan relawan untuk menjaga hutan bakau.
Kaum muda bersama pemerintah dan tokoh masyarakat setempat terlibat dalam restorasi hutan bakau. (foto: dokumentasi Firda)
Firda percaya tanaman bakau berperan penting dalam mengikat karbon yang baik. Menurutnya,berdasarkan riset satu hektar hutan bakau dapat menyerap 110 kilo gram karbon, sepertiganya dilepaskan menjadi lumpur.
“Mangrove juga menyerap air dengan baik, mencegah abrasi pantai, menahan volume air laut yang semakin naik untuk sampai ke daratan. Selain itu, habitat hewan laut seperti ikan, udang, kepiting, semakin berkembang biak di ekosistem mangrove.,” jelas Firda.
Kedepan, Firda dan kaum muda lainnya akan konsisten melanjutkan kegiatan pengendalian perubahan iklim melalui penanaman bakau. Ia juga berencana membuka kelas pembekalan untuk kaum muda lainnya yang mengajarkan kesadaran akan isu lingkungan (BL)***