JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Penurunan kualitas udara di wilayah Jakarta dan sekitarnya memasuki pekan yang baru. Tercatat sejak tanggal 15 Juni 2022, konsentrasi PM2.5 mengalami peningkatan dan mencapai puncaknya pada level 148 µg/m3 (mikrogram per meter kubik).
Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan Ardhasena Sopaheluwakan mengatakan, menurunnya kualitas udara di wilayah Jakarta dan sekitarnya disebabkan oleh kombinasi antara sumber emisi dari kontributor polusi udara dan faktor meteorologi yang kondusif untuk menyebabkan terakumulasinya konsentrasi PM2.5.
Berdasarkan Perban Nomor 2 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan Penyebaran Informasi Kualitas Udara yang mengatur terkait pewarnaan dan rentang konsentrasi per jam PM2.5, yaitu rentang nilai 0 – 15 µg/m3 dengan kategori Baik, 16 – 65 µg/m3 dengan kategori Sedang, 66 – 150 µg/m3 dengan kategori Tidak Sehat, 151 – 250 µg/m3 dengan kategori Sangat Tidak Sehat dan >250 µg/m3 dengan kategori Berbahaya.
Sementara itu, PP RI No 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara mencatat nilai baku mutu udara ambien untuk PM2.5 dalam waktu pengukuran 24 jam sebesar 65 µg/m3, kemudian diperketat dengan PP RI No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dimana nilai baku mutu udara ambien PM2.5 selama 24 jam yaitu sebesar 55 µg/m3.
“Hasil pantauan konsentrasi PM2.5 di BMKG Kemayoran Jakarta menunjukkan bahwa sepanjang bulan Juni 2022 konsentrasi rata-rata PM2.5 berada pada level 49.07 µg/m3,” ujarnya.
Konsentrasi PM2.5 memperlihatkan pola diurnal yang mengindikasikan perbedaan pola antara siang dan malam hari. Konsentrasi PM2.5 cenderung mengalami peningkatan pada waktu dini hari hingga pagi dan menurun di siang hingga sore hari.
“Khusus pada beberapa hari terakhir PM2.5 mengalami lonjakan peningkatan konsentrasi dan tertinggi berada pada level 148 µg/m3 pada tanggal 15 Juni 2022,” kata Ardhasena.
Menurut Kepala Biro Hukum dan Organisasi Bagian Hubungan Masyarakat BMKG itu, tingginya konsentrasi PM2.5, dibandingkan hari-hari sebelumnya juga dapat terlihat saat kondisi udara di Jakarta secara kasat mata terlihat cukup pekat/gelap.
“Pada tanggal 16-17 Juni konsentrasi PM2.5 cenderung turun dibandingkan tanggal 15 Juni saat terjadi konsentrasi yang cukup tinggi,” ungkapnya.
Namun terjadi kenaikan konsentrasi PM2.5 pada tanggal 18 Juni hingga mencapai 147,5 µg/m3. Lalu pada tanggal 23 Juni 2022 konsentrasi PM2.5 berada di atas 80 µg/m3 pada pukul 8 hingga 9 pagi waktu indonesia bagian barat (WIB).
Faktor Mempengaruhi PM2.5
Beberapa faktor, kata Ardhasena, mempengaruhi konsentrasi PM2.5 dan berkontribusi pada penurunan kualitas udara di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Faktor-faktor tersebut antara lain:
“Konsentrasi PM2.5 di Jakarta dipengaruhi oleh berbagai sumber emisi baik yang berasal dari sumber lokal, seperti transportasi dan residensial, maupun dari sumber regional dari kawasan industri dekat dengan Jakarta,” terangnya.
Emisi itu dalam kondisi tertentu yang dipengaruhi oleh parameter meteorologi dapat terakumulasi dan menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi yang terukur pada alat monitoring pengukuran konsentrasi PM2.5.
Proses pergerakan polutan udara seperti PM2.5 dipengaruhi oleh pola angin yang bergerak dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Angin yang membawa PM2.5 dari sumber emisi dapat bergerak menuju lokasi lain sehingga menyebabkan terjadinya potensi peningkatan konsentrasi PM2.5. Pola angin lapisan permukaan memperlihatkan pergerakan massa udara dari arah timur dan timur laut yang menuju Jakarta, dan memberikan dampak terhadap akumulasi konsentrasi PM2.5 di wilayah ini.
Peningkatan konsentrasi PM2.5 memiliki korelasi positif atau hubungan yang berbanding lurus dengan kadar uap air di udara yang dinyatakan oleh parameter kelembapan udara relatif.
Tingginya kelembapan udara relatif beberapa waktu lalu menyebabkan peningkatan proses adsorpsi yang dalam istilah teknisnya merujuk pada perubahan wujud dari gas menjadi partikel. “Proses ini menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi PM2.5 yang difasilitasi oleh kadar air di udara,” papar Ardhasena.
Selain itu, kelembapan udara relatif yang tinggi dapat menyebabkan munculnya lapisan inversi yang dekat dengan permukaan. Lapisan inversi merupakan lapisan di udara yang ditandai dengan peningkatan suhu udara yang seiring dengan peningkatan ketinggian lapisan.
“Dampak dari keberadaan lapisan inversi menyebabkan PM2.5 yang ada di permukaan menjadi tertahan, tidak dapat bergerak ke lapisan udara lain, dan mengakibatkan akumulasi konsentrasi partikulat yang terukur di alat monitoring,” ujarnya.
Faktor Lainnya
Selain beberapa faktor yang telah diuraikan di atas, penyebab lain yang berkontribusi pada memburuknya kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya adalah adanya stagnasi pergerakan udara yang menyebabkan polutan udara yang telah terakumulasi di wilayah ini tidak beranjak dan berimbas pada kondisi yang cenderung bertahan lama.
Kondisi stagnasi udara ditandai oleh kecepatan angin rendah yang tidak hanya berimbas pada akumulasi PM2.5, tetapi juga dapat memicu produksi polutan sekunder udara lain seperti ozon permukaan (O3), yang keberadaannya dapat diindikasikan dari penurunan jarak pandang.
“Untuk itu, masyarakat diimbau untuk menggunakan pelindung diri seperti masker yang sesuai untuk dapat mengurangi tingkat paparan terhadap polutan udara di luar ruangan,” tutupnya. (Jekson Simanjuntak)