Jekson Simanjuntak
“Kalo dibentuk dari harga, dia sudah tahu harga. Kalau kita, kan, tidak. Yang penting, ayo kita pilah sampah dari rumah, supaya menjaga lingkungan,”
——Ida Mahmud, Ketua Bank Sampah Mekar Sari
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Jam merujuk pukul 11.10 WIB, saat Iramiyati (51), pengurus Bank Sampah Unit Mekar Sari masih berkutat dengan segepok sampah plastik. Siang itu, dengan teliti, ia memilah sampah yang berasal dari refill sabun cair sachet ukuran 450 ml.
“Sekarang lagi bikin daur ulang dari bekas sampo dan sabun kemasan (sachet refill). Ini kita dijadikan tas belanja,” katanya.
Sachet yang telah digunting akan disambung dengan cara dijahit. Itu dilakukan agar bentuknya rata dan terlihat rapi. Selanjutnya, produk dari limbah rumah tangga itu dijual seharga Rp40 ribu – Rp50 ribu.
Sampah refill sabun/sampo sachet yang diubah menjadi tas belanja. (foto: Jekson Simanjuntak) |
Meskipun produksinya terbatas, Ira mengakui pasar tas daur ulang belum banyak. Beruntung, produk yang mereka hasilkan selalu laku terjual. “Ini tetap diteruskan dengan sejumlah perbaikan, sampai kita dapat model terbaik,” kata Ira yang merupaan bendahara Bank Sampah Mekar Sari.
Ira menilai keberlangsungan produk daur ulang memiliki tantangan tersendiri. Tentu saja, karena suplai limbah plastik volumenya berfluktuasi. “Tergantung dari banyaknya sampah yang disetor,” katanya.
Sambil merujuk pada salah satu contoh produk, Ira menegaskan,”Ini kan udah cakep, tapi masih salah. Dalamnya sudah bagus, ketahanan juga kuat. Cuma gak rapi pas jahitnya”.
Ida Mahmud, Ketua Bank Sampah Mekar Sari mengajak nasabah untuk memilah sampah dari rumah (foto: Jekson Simanjuntak) |
Ketua Bank Sampah Mekar Sari Mampang Ida Mahmud (61) mengamini jika tas belanja produksi mereka butuh penyempurnaan. “Maklum, pembuatannya dari coba-coba. Kita gak pake belajar, cuma karena orang perlu untuk belanja, kita buatkan,” kata Ida.
Saat ini, model tas belanja besutan Bank Sampah Mekar Sari ada dua tipe. Model yang menggunakan list dan tanpa list. “Pertama kita bikin tanpa list, kedua dengan list, tapi hasilnya kurang rapi. Letak gambarnya gak nyeni karena jahitannya tidak sejajar,” terang Ida.
Khusus terkait harga, Ida meyakini produknya terbilang murah. Pasalnya, harga produk sejenis yang dijual di pasaran mencapai Rp100 ribu per satuan.
“Harga Rp40 – Rp50 ribu gak mahal, karena ada yang jual Rp100ribu paling murah,” kata Ida.
Sampah daur ulang diubah menjadi tas belanja serba guna. (foto: Jekson Simanjuntak) |
Sepengetahuan Ida, produksi mereka kebanyakan diserap terbatas oleh perusahaan dan sekolah yang mendukung konsep go green. Ukurannya sangat sederhana, 20 x 20 cm. Harapannya, tas tersebut bisa digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk untuk menyimpan menu makan siang.
“Ini cukup kuat dipakai belanja, jadi mereka pada suka. Awalnya anak saya yang kerja di bank yang nawar-nawari. Dia bawa 12 biji dan laku,” papar Ida.
Kegiatan daur ulang merupakan amanat pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Bank sampah menjadi media peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pengurangan dan penanganan sampah. Karena itu, bank sampah diwajibkan memiliki produk daur ulang.
“Kita di Mekar Sari mengunggulkan ini aja. Ini juga kan, bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari,” tegas Ida.
Pos siskamling disulap jadi bagian dari Bank Sampah Mampang Sari. (foto: Jekson Simanjuntak) |
Sampah daur ulang yang dititip di dalam pos siskamling siap dikirim ke bank sampah induk. (foto: Jekson Simanjuntak) |
Bank Sampah Unit Mekar Sari
Ida Mahmud selaku Ketua Bank Sampah Mekar Sari mengakui jika perusahaan global Unilever berperan penting dalam pendirian bank sampah di tahun 2014. “Inisiasi itu Unilever awalnya. Terus mereka bilang, harus ada bank sampah, lalu kita dengan 14 orang bikin bank sampah. Tapi skalanya masih RT saat itu,” kata Ida yang juga berprofesi sebagai karyawan swasta.
Bank sampah didirikan dengan tujuan untuk mengumpulkan sampah rumah tangga di tingkat RT. Seiring waktu, status bank sampah naik levelnya menjadi tingkat RW.
Secara bersamaan, sejumlah RW menggagas terbentuknya bank sampah. Namun menurut Ida, hal itu tidak berlangsung lama, karena sejumlah persoalan. “Bank sampah RW gak jalan. Mati suri, karena pengurusnya tidak komit,” katanya.
Saat berdiri, bank sampah diberi nama ‘Mekar’, lalu diubah menjadi ‘Mekar Sari’ beberapa waktu kemudian. “Kita ingin supaya ada mekar-mekar yang lain, makanya diganti Mekar Sari,” papar Ida.
Di Jakarta, bank sampah mulai marak paska keluarnya Peraturan Gubernur (Pergub) nomor 77 Tahun 2020 Tentang Pengelolaan Sampah Lingkup Rukun Warga (RW). Setiap RW diwajibkan memiliki bank sampah.
Karena lebih dahulu beroperasi dan memiliki sistem yang akuntabel, Bank Sampah Mekar Sari didaulat oleh pihak Kelurahan Mampang Prapatan menjadi pembina bagi bank sampah yang baru berdiri. Di tahun 2016, Mekar Sari diganjar predikat sebagai bank sampah terbaik kategori pembina.
“Saat itu tugas kita membantu terbentuknya bank sampah di setiap RW. Selain itu, diwajibakan juga setiap RT punya bank sampah,” tutur Ida.
Bendahara Bank Sampah Mekar Sari Iramiyati sedang memilah sampah dari Waste4Change (foto: Jekson Simanjuntak) |
Hal senada diamini Iramiyati. Ia menyebut Mekar Sari telah eksis jauh sebelum program bank sampah populer di Jakarta. Kesadaran akan pentingnya lingkungan sehat yang menyatukan para pendiri.
“Kami mulai menimbang sejak Oktober 2014, jauh sebelum booming bank sampah. Kita dulunya di support Unilever melalui Yayasan Rumah Pelangi,” katanya.
Setelah ditimbang, sampah dikirim ke lapak-lapak pemulung yang letaknya tidak jauh dari RT 8. Bahkan, mereka juga sempat menjual sampah ke tukang gerobak keliling. “Yang penting kita ngumpulin dan pilah sampah,” tegas Ira bersemangat.
Kegiatan memilah sampah di Bank Sampah Mekar Sari. (foto: Jekson Simanjuntak) |
Menjadi Nasabah
Saat ini nasabah Bank Sampah Mekar Sari berjumlah 303 orang. Mereka berasal dari berbagai daerah di Jakarta. Bagi yang tertarik bergabung, tinggal datang membawa sampah dan diminta menunjukkan komitmen yang kuat.
“Orang Kemang, orang Pejaten, Pondok Indah pake Gojek datang kesini bawa sampahnya. Kadang mereka antar sendiri juga,” kata Ira.
Kemudahan menjadi anggota Mekar Sari diamini oleh Ida Mahmud. Menurutnya, untuk menjadi nasabah, syaratnya hanya membawa sampah. Tidak ada syarat KTP apalagi KK.
“Kalau saya sih, yang penting bawa sampah. Ntar yang belum bisa milah, saya ajarin milahnya,” katanya.
Sejak awal, Ida menargetkan sampah yang terkumpul harus laku dijual. Ini penting agar sampah tidak mencemari lingkungan. “Saya sih, tidak terlalu mikir harga,” ungkapnya.
Hingga saat ini, tidak ada aturan khusus bagi nasabah Bank Sampah Mekar Sari. Mereka boleh datang dan pergi sesuka hati. Termasuk untuk urusan menimbang sampah.
“Namanya mengumpulkan sampah, kita gak bisa pake aturan. Kita istilahnya menghargai dia karena telah mengumpulkan dan memilah sampahnya, lalu dibawa kesini,” kata Ida.
Bank Sampah Mekar Sari meraih juara 1 kategori Eco Retail. (foto: Jekson Simanjuntak) |
Aneka Jenis Sampah
Iramiyati mengatakan dalam dua minggu sekali, pihaknya pasti mengirimkan sampah ke Bank Sampah Induk (BSI) Gesit yang berada di Menteng Pulo, Jakarta Selatan. Sejumlah bank sampah unit di wilayah Jakarta Selatan juga melakukan hal serupa.
Sebelum dikirim, sampah dipilah dan ditimbang terlebih dahulu. Pasalnya, sampah berasal dari beragam jenis, mulai dari botol plastik, kardus, kertas, buku, plastik, botol, kresek, kaleng susu, kaleng biskuit, kaleng minuman, hingga besi (logam).
“Sampah yang ada disini ditimbang perkilo. Biasanya, kita berhasil mengirim sampah sebanyak 1.3 – 1.4 ton dua minggu sekali,” papar Ira.
Menimbang sampah sebelum diantar ke BSI Gesit. (foto: dokumentasi Bank Sampah Mekar Sari) |
Setiap mengirim sampah, produk daur ulang terbanyak adalah kardus. Jumlahnya mencapai 400-500 Kg, lalu botol plastik sebanyak 200 Kg. “Sayangnya, sachet ukuran besar tidak diterima BSI, karena itu kita daur ulang dan menjadikannya tas,” ucap Ira.
Lalu terkait pembayaran, BSI akan membayar semua sampah dengan harga bervariasi. Untuk botol plastik bening, misalnya, dibandrol Rp3.000/Kg. “Sementara tutupnya juga ada harga sendiri,” kata Ira.
Lalu plastik (ember, kemasan, dll) berwarna dihargai Rp1.200/Kg, kardus Rp1.700/Kg, buku bekas seharga Rp700/Kg, dan koran hanya Rp2.000/Kg.
“Khusus majalah harus dipisah dengan buku, meskipun harganya sama. Itu sesuai keinginan industri daur ulang,” ungkap Ira.
Ida Mahmud setuju dengan Ira sembari menegaskan bahwa mereka tidak memiliki sampah jenis khusus. Semua sampah pasti dijual, mulai dari kertas, kaca hingga plastik.
“Waktu itu sampahnya tidak seberagam sekarang. Kalo sekarang udah banyak jenisnya. Kalo dulu kita tahunya hanya plastik, kertas dan logam saja,” kata Ida.
Sampah plastik jenis HDPE yang berhasil dikumpulkan. (foto: Jekson Simanjuntak) |
Seiring waktu, Ida dan teman-temannya mengetahui jenis-jenis sampah plastik, mulai dari PET, PP hingga HDPE. Padahal sebelumnya, sampah plastik diidentifikasi menggunakan penamaan lokal, seperti Naso, Bodong, Kristal hingga Emberan.
“Plastik Naso biasanya dari mainan yang jenisnya HDPE. Trus kalo yang bodong itu PET-1 dan jenis PP masuknya bodong juga,” terang Ida.
Buku tabungan Bank Sampah Mekar Sari. (foto: dokumentasi Iramiyati) |
Data tabungan nasabah di Bank Sampah Mekar Sari. (foto: dokumentasi Iramiyati) |
Ada Cuan
Setiap kali mengirimkan sampah ke BSI, Ira merima pembayaran sebesar Rp2.5 juta. Dalam sebulan, pengiriman dilakukan sebanyak 2 kali. “Sehingga jika ditotal uangnya Rp5 juta/ bulan,” ungkap Ira.
Penghasilan itu kemudian ditabung, sebelum dibayarkan ke nasabah di waktu-waktu tertentu, seperti momen Idul Fitri. “Tapi ada juga yang ambilnya kapan saja, seperti saya. Tergantung kebutuhan. Biasanya untuk kebutuhan anak sekolah atau bayar listrik,” kata Irma.
Saat mengirimkan sampah ke BSI, Ira menegaskan, tidak semua nasabah terlibat. Dari total 303 nasabah, hanya 50 – 70 orang yang datang pada setiap Rabu pagi. Sisanya datang bergantian, seiring sampah yang mereka kumpulkan.
“Jadi waktu penimbangan tidak semua ikut. Gantian, ada yang sebulan sekali. Ada yang dua bulan sekali,” papar Ira.
Kegiatan Rabu Pagi di Bank Sampah Mekar Sari. (foto: dokumentasi Bank Sampah Mekar Sari) |
Jika dibagi rata, penghasilan Rp5 juta menurut Ira hanya menyisakan uang sebesar Rp.80ribu per bulan per nasabah. Angka itu menjadi acuan, namun mungkin berubah, tergantung pada volume sampah yang dibawa.
“Tapi orang kan lain-lain. Ada yang sekali nimbang membawa uang 100rb lebih. Ada yang 20 ribu dan ada yang 4 ribu. Gak sama. Tergantung sampahnya,” kata Ira.
Sampah merupakan komoditas yang menjanjikan dan bisa digunakan untuk menambah penghasilan keluarga. Jika dirata-ratakan dalam satu tahun, setiap nasabah bisa membawa pulang uang bervariasi antara Rp500 ribu – Rp2 juta.
“Seperti tadi, yang didapatkan masing-masing tidak sama. Tapi ini merupakan peluang ekonomi yang seharusnya jangan dilewatkan,” terang Ira.
Untuk menambah keakraban diantara nasabah dan pengurus, setiap tahunnya mereka menggelar piknik bersama. Kegiatan itu, menurut Ida, dibiayai dari uang sampah yang dikumpulkan.
“Kita nyebutnya piknik murah meriah. Banyak anggota tertarik ikut. Sayang, sekarang pandemi sehingga sudah 2 tahun kami gak pernah piknik ” ujarnya.
Selain itu, ada penghargaan bagi mereka yang rajin menabung dalam setahun. Pemenangnya akan mendapat hadiah. “Ini untuk penyemangat saja,” kata Ida.
Sampah siap dikirim ke BSI Gesit di Menteng Pulo, Jakarta Selatan. (foto: dokumentasi Bank Sampah Mekar Sari) |
Kesadaran Kolektif di Rabu Pagi
Bagi Ida dan teman-temannya, puncak kesibukan Bank Sampah Mekar Sari terjadi pada Rabu pagi. Saat itu, nasabah datang membawa sampah daur ulang dalam beragam ukuran dan jenis.
“Ada yang bawa kardus, botol, plastik juga kaleng. Biasanya dari rumahnya sudah dipilah. Rata-rata setiap orang sampahya 7-8 kg,” ujar Ida.
Khusus sampah yang dipilah, Ida mengakui harganya jauh lebih mahal, ketimbang yang tidak dipilah. “Jika tidak dipilah, jatuhnya gabruk-gabruk gitu dan lebih murah. Kita pengurus yang akhirnya milah,” katanya.
Biasanya penimbangan dilakukan pada pukul 8 pagi sebelum truk pengangkut sampah datang. Ketika truk tiba pukul 9 pagi, pencatatan dan penghitungan dimulai. Setelah itu truk bergerak kembali ke BSI, sekitar pukul 12 siang.
Kesadaran memilah sampah dari rumah, menurut Ida Mahmud patut diapresiasi. Tak hanya itu, kemauan mendaur ulang dan tidak menjadikan harga sebagai prioritas menjadi ciri khas Bank Sampah Mekar Sari.
“Kalo dibentuk dari harga, dia sudah tahu harga. Kalau kita, kan, tidak. Yang penting, ayo kita pilah sampah dari rumah, supaya menjaga lingkungan,” kata Ida.
Karena itu, Ida menekankan pentingnya perubahan paradigma dan cara pandang terhadap sampah. Alasan itu yang menyebabkan Mekar Sari tidak pernah memajang daftar harga sampah daur ulang.
“Pas dipasang, mungkin orang gak mau. Oh cuma segitu. Kalo dia naroh aja, trus tiba-tiba jadi uang aja, kan beda”, ujarnya.
Jika harga sedang baik, Ida segera mengkomunikasikannya ke nasabah. Ini penting untuk menjaga kepercayaan. “Berapa pun harga naik, kita naikin. Kalo harga turun, ya kita turunin,” katanya.
Karena merasa terpanggil, tak sedikit nasabah yang rela datang dari jauh untuk mengantarkan sampah. Bagi mereka harga bukan yang utama, namun lebih kepada manfaat yang bisa ditimbulkan.
“Contohnya bu Rina yang antar 6 dus buku. Ternyata dapatnya cuma Rp36 ribu. Buku harganya Rp700/ Kg. Dia bawa mobil kesini. Bensinnya aja udah berapa?” terang Ida.
Aktivitas pemilahan di Bank Sampah Mekar Sari. (foto: Jekson Simanjuntak) |
Lebih Untung ke BSI
Menurut Ida Mahmud, menjual sampah daur ulang ke BSI lebih menguntungkan ketimbang menjual ke lapak pemulung. Di lapak, biasanya terjadi pengurangan berat saat ditimbang. “Katanya ada penyusutan, trus uangnya juga berkurang,” ujar Ida.
Belum lagi, sampah daur ulang jenis kertas kresek dan botol tidak diterima di lapak. Padahal banyak nasabah yang menyetor jenis itu. “Akhirnya, pilihan kita jatuh ke bank sampah induk. Contohnya Tetrapack bekas susu masih diterima, kalo di lapak tidak,” katanya.
Kelebihan lainnya, BSI tetap menghitung berat sampah meskipun hanya beberapa ons. Semua sampah tetap ditimbang dan dihargai. Fasilitas lain yang membuat Ida bisa bernafas lega adalah sarana pengangkutan gratis, dari dan menuju BSI.
“Selanjutnya tinggal menyediakan makan siang supir dan kernet saja. Dananya kita ambil dari hasil penjualan,” kata Ida.
Memilah sampah yang berasal dari Waste4Change. (foto: Jekson Simanjuntak) |
Sumbangan Waste4Change
Selain mengumpulkan sampah nasabah, Bank Sampah Mekar Sari mendapat sumbangan sampah dari Waste4Change setiap minggunya. Setelah dipilah, sampah dibawa menuju BSI Gesit pada Selasa siang.
Dalam 3 tahun terakhir, Mekar Sari telah menjalin kerja sama dengan Waste4Change, sebuah startup lokal yang aktif mengkampanyekan pentingnya pengelolaan sampah yang bertanggung jawab.
“Selasa khusus Waste4Change. Tidak ada penimbangan disini. Saat truk datang langsung angkut, terus jalan ke BSI,” kata Ira.
Berbeda dengan sampah yang dikumpulkan nasabah, sampah asal Waste4Change terbilang kotor. Karena itu harus dipilah dan dibersihkan terlebih dahulu. Kebanyakan sampah tersebut berasal dari kompleks perumahan atau perkantoran.
Sampah Waste4Change menurut Ira merupakan anugerah yang tidak boleh disia-siakan. Meskipun jumlahnya hanya 400-500Kg, namun sangat bermanfaat untuk menambah penghasilan keluarga.
“Duitnya gak banyak, sekitar Rp600-700 ribu. Uang itu masuk ke bank sampah dan belum terpikir untuk apa,” ungkap Iramiyati.
Ira mengatakan, uang dari sampah Waste4Change digunakan saat lebaran tiba. Biasanya untuk membeli sembako atau kebutuhan lain yang dibagikan merata kepada semua pengurus.
Keterlibatan Waste4Change tidak direncanakan. Semua bermula saat perwakilannya datang berkunjung. Mereka tertarik dengan proses pemilahan, penimbangan dan pengiriman sampah.
“Setelah itu kita ngobrol. Mereka bilang punya program dropbox yang adanya di kantor-kantor,” papar Ira.
Di tahun 2017, Bank Sampah Mekar Sari mulai bergerak ke 60 dropbox yang ada di seputaran Jakarta. Saat itu, kebanyakan ada di sekolah, kantor pemerintahan, apartemen hingga gedung perkantoran.
Menggunakan motor, setiap hari selalu ada perwakilan dari Mekar Sari yang pergi ke Dropbox. “Misalnya hari Senin, Selasa, Rabu itu dimana. Trus digilir. Pokoknya sekali seminggu kita mengambil sampah,” katanya.
Sayangnya, di musim pandemi Covid-19, dropbox banyak yang tutup. Sejak itu, pengambilan sampah ke dropbox dihentikan.
Cindy Rianti Priadi, dosen Teknil Sipil UI saat menjadi pemateri pada diskusi online bertajuk “Pengelolaan Sampah dan Ekonomi Sirkular”. (foto: Jekson Simanjuntak) |
Perilaku Masyarakat Kelola Sampah
Staf Pengajar Teknik Sipil dan Lingkungan UI Cindy Rianti Priadi mengatakan tidak semua pola pengelolaan dan pengolahan sampah dapat direplikasi di banyak tempat. Pasalnya, permasalahan sampah bersifat unik terhadap kondisi sosio-ekonomi, geografi, hidrologi, dan faktor lainnya.
“Contohnya, cara mengelola sampah di Mekar Sari belum tentu sama dengan bank sampah di RW lain. Ada realitas dan kompleksitas tersendiri,” kata Cindy.
Persoalan sampah membuat karakteristiknya berbeda antar wilayah. Misalnya wilayah perkotaan yang jarak rumah dengan TPA biasanya tidak jauh, pengangkutan sulit di jalan sempit dan kumuh serta lahan terbatas. “Selain itu, minim peternakan untuk utilisasi sisa makanan menjadi pakan ternak,” ungkap Cindy.
Sementara di pedesaan, jarak rumah berjauhan, medan pengangkutan yang beragam dan sulit, sampah mudah terurai, sehingga bisa digunakan untuk peternakan. “Atau bisa dibuang ke kebun dan tanah kosong,” katanya.
Khusus di perkotaan, muncul anggapan sampah bisa didaur ulang oleh pihak ketiga, seiring jargon “Sampah kan Berkah”. Namun Cindy mengingatkan bahwa kemampuan daur ulang acap kali rendah, karena sampah telah tercampur.
“Tidak semua sampah bisa didaur ulang. Jika pun bisa, butuh biaya, sumber daya, investasi, dll,” terang Cindy.
Di sisi lain, sektor daur ulang juga belum merata. Akibatnya upaya menggenjot produksi daur ulang tidak maksimal. Belum lagi ditemukan fakta; lokasi pembuangan sampah banyak yang mangkrak, TPS3R terbengkalai, pengelolaan TPS3R tidak maksimal, hingga berhentinya aktivitas TPS3R akibat pandemi.
“Ketika sampah tidak bisa didaur ulang, maka perlu pengelolaan yang baik, termasuk tidak membuangnya sembarangan,” kata Cindy.
Karena itu, Cindy mengajak masyarakat untuk mengubah pola pikir, dari “pokoknya masalah sampah merupakan tanggung jawab orang lain, terutama pemerintah” menjadi “Sampahku, Tanggung Jawabku!”
Cindy juga mengingatkan bahwa sampah dihasilkan dari aktivitas manusia dan semua manusia adalah penyampah. Karena itu, “sampahku, tanggung jawabku”.
M. Bijaksana Junerosano, Co-initiator & Core Team Forum Bandung Juara Bebas Sampah. (foto: ist) |
Peluang Ekonomi Sirkular
Co-initiator & Core Team Forum Bandung Juara Bebas Sampah M. Bijaksana Junerosano menilai apa yang dilakukan Bank Sampah Unit Mekar Sari Mampang merupakan contoh kecil dari ‘ekonomi sirkular’. Alasannya, model ekonomi itu dibangun untuk mendefinisikan kembali pertumbuhan, dengan fokus manfaat positif bagi anggotanya.
“Harus dilihat apa yang terjadi di Mekar Sari merupakan upaya menghasilkan pertumbuhan ekonomi dengan mempertahankan nilai produk, bahan, dan sumber daya selama mungkin,” katanya.
Junerosano mengatakan prinsip dasar ekonomi sirkular berbeda dengan ekonomi linear yang kini menuju kehancuran, karena sistemnya tidak berkelanjutan. Secara umum ada tiga syarat ekonomi sirkular, yakni; merancang tidak ada limbah dan polusi, menjaga produk dan bahan tetap bisa digunakan dalam proses ekonomi, serta regenerasi sistem material secara alami.
“Kalau kita lihat bank sampah, mereka berupaya agar tidak ada limbah yang dibuang ke lingkungan. Karena itu saya menyebut ekonomi sirkular lebih dari sekedar bentuk pengelolaan sampah,” terang Junerosano yang akrab dipanggil Sano.
Selain itu, ada perbedaan mencolok di ekonomi sirkular, yakni produsen tidak membeli barang, namun membeli manfaat. Barang tetap milik si produsen. “Jika masa telah selesai, barang akan diambil kembali untuk diperbaiki, diisi ulang, sehingga tidak ada sampah,” papar Sano yang merupakan Initiator & Advisor for Bergerak utk #IndonesiaBersih #BebasSampah
Karena itu, Sano menyebut ekonomi sirkular meminimalkan kerusakan sosial dan lingkungan yang diakibatkan oleh pendekatan ekonomi linier. “Ini ditandai dengan banyaknya daur ulang,” katanya.
Tak hanya itu, ada tiga prinsip dasar ekonomi sirkular yang perlu diketahui. Pertama, jaga kestabilan sumberdaya alam dengan mengendalikan stok dan menyeimbangkan aliran sumber daya terbarukan.
“Artinya, setelah habis tidak langsung dibuang, tapi dipakai selama mungkin,” terang Sano yang juga Advisor WCD Indonesia & BebasSampah.ID
Kedua, optimalisasi sumber daya dengan mensirkulasikan produk, komponen, dan bahan pada utilitas tertinggi setiap saat, baik dalam siklus teknis maupun biologis. Nantinya sumberdaya akan menghasilkan keuntungan optimal saat diputar selama mungkin.
Terakhir, mendorong efektivitas sistem dengan merancang eksternalitas negatif. Ketika tidak mempertimbangkan dampak dari bisnis yang dijalankan, “maka hasilnya akan berkaitan langsung dengan lingkungan dan sosial”.
Mengutip data KLHK di tahun 2018, bank sampah mampu memberikan kontribusi terhadap pengurangan sampah nasional sebesar 1,7% (1.389.522 ton/tahun) dengan pendapatan rata-rata sebesar Rp. 1.484.669.825 per tahun. Menurut Sano, angka itu menjadi cerminan bahwa sampah berpeluang cuan jika ekonomi sirkular diterapkan dengan baik.
Ketika ekonomi sirkular diwujudkan oleh bank sampah melalui penerapan prinsip 3R (reduce, reuse dan recycle), maka nasabah akan menikmati hasilnya. “Namun jangan lupa, partisipasi aktif tetap diperlukan untuk memilah dan mengolah sampah,” pungkasnya.