Sepeda bisa menjadi kendaraan ramah lingkungan dan pastinya menyehatkan, foto : Marwan Azis/BeritaLingkungan.com |
Masalah utama Jakarta adalah banjir, kelangkaan air gersih dan kelumpuhan total transportasi. Jakarta punya banyak prestasi. Kota yang kemacetannya luar biasa. Kota dengan septic tank terpanjang. Kota yang penuh polusi. Kota dengan penduduk terpadat. Kota langganan banjir. Kota penghasil sampah terbesar. Dan masih banyak lagi.
Prediksi tentang Jakarta di masa depan juga tak kalah suram. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memprediksi, Jakarta Utara akan tenggelam 20 tahun lagi. Jakarta diperkirakan juga akan menghadapi banjir besar yang merupakan siklus lima tahunan, pada 2012. Bukan hanya kelebihan air karena banjir, Jakarta diprediksi pula akan mengalami krisis air bersih. Pada 2014 diperkirakan Ibu Kota akan macet total, karena jumlah kendaraan yang sudah tidak sebanding dengan volume jalan.
Pemprov DKI bukannya tak menyadari persoalan-persoalan yang dihadapi Jakarta. Untuk memperbaiki wajah kota, Gubernur DKI Fauzi Bowo berjanji menjadikan Jakarta kota yang ramah lingkungan. Guna mendukung janji ini Pemprov menerapkan dan mengembangkan pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Kepala Badan Pengelolaan Lingkunga Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta Peni Susanti mengatakan, program menuju Jakarta yang ramah lingkungan dilakukan melalui beberapa langkah. Di antaranya adalah penerbitan perda pendukung. Sedangkan implementasinya dilakukan dengan melaksanakan program yang berwawasan lingkungan, seperti penghijauan sejuta pohon, penggunaaan produk ramah lingkungan, silaturahim Ahad pagi, car free day, peningkatan pemakaian bahan bakar gas melalui pengadaan busway, dan uji emisi kendaraan.
“Hasilnya sudah mulai tampak. Kalau dulu kualitas udara Jakarta dinilai kotor, pada akhir tahun ini kualitas udara Jakarta makin baik. Ini bukan kita yang menilai tapi masyarakat internasional,” kata Peni Susanti seperti dilansir Republika, pekan lalu.
Peni menjelaskan, penilaian itu dilakukan oleh Clean Air Initiative, sebuah lembaga internasional yang melakukan aktivitas pemantauan kualitas udara. Untuk tingkat Asia Tenggara, udara Jakarta dimasukkan dalam kategori moderat. Sedangkan dalam Konferensi Better Air Quality yang diikuti oleh kota-kota dari delapan negara, kualitas Jakarta dimasukkan dalam kategori baik.
“Manajemen dan kebijakan sudah baik. Sudah ada perda yang diturunkan dalam bentuk SK gubernur dan instruksi gubernur. Implementasinya juga dilakukan di lapangan. Masyarakat juga sudah makin peduli,” kata Peni. Pengamat tata kota Yayat Supriatna mengatakan, kota yang ramah lingkungan itu bisa terwujud jika warganya merasa aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
Aman berkaitan dengan bebas dari tindakan kriminalitas. Nyaman misalnya bebas dari polusi dan persoalan sampah. Produktif terkait dengan tidak banyaknya kemacetan yang membuat waktu warganya banyak habis di jalan. Sedangkan berkelanjutan berkaitan dengan terjaminnya ketersediaan sumber daya alam, seperti lahan dan air bersih.
“Kota yang ramah lingkungan itu bisa terwujud jika kita bisa merasa enjoy, bersahabat, dan merasa kota ini bagian dari hidup kita. Sekarang kita tanya diri kita, apakah kita sudah merasa aman dan nyaman tinggal di Jakarta?” tuturnya kepada Republika.
Wilayah Jakarta sudah terlalu padat dan sesak. Saat ini, luas wilayah DKI Jakarta 740,20 km persegi dengan jumlah penduduk 9,6 juta jiwa. Warga pun merasa terasing di kota tempat tinggalnya sendiri.”Penghuni Jakarta sekarang hanya menjalani rutinitas, dari rumah ke kantor, jalan raya, dan mal. Begitu setiap hari. Tidak pernah merasakan bagaimana menikmati jalan-jalan di taman kota, duduk di bawah pepohonan yang rindang, atau bersepeda ke kantor,” jelas Yayat yang juga pengajar planologi Universitas Trisakti Jakarta itu.
Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Ubaidillah menyambut baik pencanangan Jakarta sebagai kota yang ramah lingkungan. Namun, katanya, yang terpenting konsep yang sudah direncanakan bisa dilaksanakan dan tidak justru menjadi kontraproduktif.
“Ada tiga tantangan yang dihadapi Jakarta di masa mendatang. Yakni ancaman banjir, kelangkaan air bersih, dan kelumpuhan total transportasi,” jelas Ubaidillah.
Untuk mengatasi masalah kemacetan, menurutnya, Pemprov tak hanya perlu menambah volume jalan, tapi transportasi publik harus ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Kualitas menyangkut keamanan dan kenyamanan. Sedangkan kuantitas menyangkut jumlah armada yang tersedia. “Jika transportasi publik baik dan nyaman, masyarakat akan memilih kendaraan umum dibandingkan dengan memakai kendaraan pribadi. Dan, itu akan mengurangi kemacetan.”
Peran semua pihak
Mewujudkan Jakarta yang ramah lingkungan tidak bisa dilakukan hanya oleh Pemprov DKI Jakarta semata. Menurut Yayat Supriatna, upaya ini membutuhkan kontribusi yang nyata dari semua pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat. “Perusahaan-perusahaan yang ada di Jakarta seharusnya lebih banyak memberi daripada mengambil,” kata Yayat.
Sayangnya, menurut dia, perusahaan-perusahaan yang ada di Jakarta belum banyak berkontribusi dalam mendukung Jakarta yang ramah lingkungan. Sangat sedikit perusahaan yang mau berperan serta, misalnya, menyediakan ruang hijau dalam bentuk taman atau menanam pohon. Dia menyarankan agar perusahaan-perusahaan di Jakarta mau lebih berkontribusi dengan caranya masing-masing.
Sejumlah perusahaan sebenarnya sudah melakukan program ramah lingkungan. Mal Ciputra Jakarta, misalnya, sejak lama berpartisipasi dalam kegiatan peduli lingkungan seperti recycle water yang diterapkan pada flush toilet, hanya menggunakan lampu hemat energi, dan penggunaan AC ditetapkan dalam suhu 24-25° C, dan fasilitas tangga jalan (escalator) baru mulai beroperasi pada jam 10 pagi dengan tujuan menghemat listrik. Mal Ciputra juga melakukan pembibitan dan penanaman tanaman pada atap gedung mal itu dan uji emisi berkala di area parkir.
Langkah lainnya adalah imbauan menjadi green shopper dengan menggunakan tas belanja dan tumbler (tempat minum) yang ramah lingkungan dan dapat digunakan berkali-kali sehingga mengurangi sampah plastik.
Lain lagi dengan PT Unilever, sejak 2006, perusahaan itu aktif menggelar program Jakarta Green and Clean (JGC). Program ini berfokus pada upaya perubahan perilaku masyarakat dalam pemeliharaan kebersihan lingkungan, pengelolaan sampah mandiri, penghijauan, partisipasi masyarakat, pembuatan lubang biopori, dan replikasi program ke wilayah lainnya. Selain menyasar pada lingkungan (tingkat RT), program ini juga merambah ke sekolah (green school) dan kantor (green office).
Yayat Supriatna juga mengusulkan kontribusi perusahaan-perusahaan dalam mewujudkan Jakarta yang ramah lingkungan bisa dilakukan dengan skala kota, yakni dengan penyediaan areal yang besar untuk taman bersama. Kegiatan ini bisa dikoordinasi oleh Pemprov DKI yang menyediakan lahannya. Setiap perusahaan kemudian menyumbang untuk pengadaan dan pengelolaan tamannya. “Kalau secara bersama-sama tentunya kan tidak berat, dibandingkan membangun dan merawat taman kota sendiri.”
Peni Susanti mengatakan peran serta masyarakat perlu dibangkitkan agar mereka menyadari dan berbuat untuk lingkungannya sendiri. Sebagai contoh, menurutnya, program ‘Stop Nyampah’ yang dilaksanakan di sepanjang bantaran Kali Ciliwung sudah memunculkan kelompok-kelompok masyarakat yang mau mengabdi pada lingkungannya tanpa pamrih. Peran serta swasta, menurutnya, bisa diwujudkan dalam bentuk corporate social responsibility (CSR) yang berkaitan dengan program lingkungan di dalam masyarakat. “Dengan pelibatan swasta dan peran masyarakat, program-program untuk perbaikan lingkungan akan lebih efektif,” katanya.