hamparan hutan di pinggiran Taman Nasional Lorentz, Papua. Foto : Beritalingkungan.com/Marwan Azis. |
Catatan Perjalanan : Noni Arnee
Seabad lalu, Hendrikus Albertus Lorentz memulai ekspedisi memasuki wilayah salju abadi di Papua Tengah dengan kawalan militer Belanda dan orang Dayak yang dipekerjakan sebagai penunjuk jalan. Ia menumpangi kapal uap Valk.
Meski ekspedisinya dinyatakan gagal karena tak mampu menembus puncak Hiriyakub (nama asli dari puncak Wilhelmina yang sekarang bernama puncak Trikora), penjelajah berkebangsaan Belanda ini mendapat banyak hal. Tidak hanya koleksi ilmiah kekayaan flora fauna yang dikumpulkan dan informasi topografi ke puncak gunung yang diselimuti salju tapi juga pertemuannya dengan sekelompok penduduk asli yang mendiami pegunungan tengah Papua. Ketakutan dengan manusia yang hidup digunung-gunung putih sirna dan berubah menjadi takjub karena peradaban tinggi orang yang dia anggap primitif.
Lorentz kemudian mengakhiri ekspedisinya di Danau Habema. Danau yang berada di tengah lembah indah di Pegunungan Trikora, Papua dengan ketinggian 3.400 mdpl yang terletak di desa Habema, Distrik Pelebaga, sekitar 48 Km dari Kota Wamena. Ke danau ini pulalah tujuan field trip saya bersama sejumlah jurnalis dan tim World Wild Found (WWF).
Berbeda dengan Lorentz, kami memilih jalur udara dari Jayapura menuju Wamena dan melanjutkan dengan perjalanan darat. Tapi bukan berarti jalur yang kami pilih itu lebih mudah dan tanpa kendala. Cuaca buruk membuat pesawat jenis ATR72-200 yang kami tumpangi menuju Wamena harus tertahan tiga jam di Bandara Sentani.
Sepertinya ini suatu perjalanan yang menantang dan berat. Tapi itu harga yang pantas untuk keindahan keanekaragaman hayati di dalam Taman Nasional Lorentz memberikan kontribusi yang signifikan bagi keanekaragaman hayati di Papua.
Memang, perjalanan ke Papua selalu memiliki tantangan tersendiri. Tidak hanya cuaca tapi rencana perjalanan yang sudah matangpun batal karena kondisi keamanan di Puncak Jaya yang kadang tidak dapat diprediksi sebelumnya.
Sebagai taman nasional terbesar di Asia Tenggara, Lorentz merupakan perwakilan dari ekosistem terlengkap untuk keanekaragaman hayati di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik. Kawasan itu terletak di Provinsi Papua dan mencakup 10 kabupaten yaitu Kabupaten Jayawijaya, Yahukimo, Puncak Jaya, Mimika, Asmat, Puncak, Lani Jaya, Paniai, Nduga, dan Intan Jaya.
Menariknya, keanekaragaman hayati di taman nasional itu belum banyak diteliti dalam 20 tahun terakhir karena 70 persen luasan Taman Nasional Lorentz yang belum terjamah. Kawasan ini diperkirakan menjadi tempat bagi 1.200 spesies tumbuhan berbunga, 118 species mamalia seperti babi moncong panjang, kuskus, kucing hutan, dan kangguru. 403 spesies burung seperti merpati, kakaktua, burung udang, kasuari, megapoda, cendrawasih, dan burung puyuh salju adalah beberapa di antaranya.
Selain itu, ada pula 48 spesies reptil dan amfibi yang ada di Tanah Papua. Kangguru pohon adalah salah satu spesies yang hampir hanya terdapat di Lorentz pada ketinggian 3.200-3.500 mdpl. Kawasan ini juga mencakup dua daerah burung endemik dengan 45 spesies burung sebaran terbatas dan 9 spesies endemik. Deretan Pegunungan Sudirman menjadi isolasi alamiah bagi penyebaran jenis burung dan hewan lainnya. Tingginya tingkat endemisitas di kawasan yang 90 persen masih ditutupi hutan hujan tropis.
Tidak hanya itu saja, Taman Nasional Lorentz juga memiliki keragaman budaya dari dua kelompok suku yang mendiami kawasan ini. Pertama, yang mendiami daerah pegunungan dengan budaya pertanian yakni Suku Dani, Ngalik, Nduga, Lani, Moni, Damal, dan Amungme. Mereka dikenal sebagai petani ubi jalar, buah merah, kelapa hutan, ubi taro, dan tebu.
Dan suku yang mendiami daerah tepian sungai dan pantai-pantai di daerah Selatan Taman Nasional Lorentz yakni Asmat, Kamoro, dan Sempan yang hidupnya meramu sagu dan hasil hutan lainnya serta menangkap ikan, kepiting, udang dan cacing kayu sebagai makanan keseharian mereka.
Kekayaan hayati dan suku yang mendiami kawasan ini kami temui sepanjang perjalanan saat menyisir distrik Pyramid menuju Kabupaten Lanny Jaya.
Kawasan perkampungan yang memiliki trademark pegunungan yang berbentuk piramida yang menjadi jalur lain memasuki taman nasional selain Habema. Perjalanan darat dengan menggunakan kendaraan jenis Hilux menjadi pilihan mengadapi jalur pegunungan. Kendaraan jenis ini juga menjadi transportasi utama penduduk menuju ke kota.
Selama perjalanan, mata telanjang kami disuguhi lanskap punggung pengunungan Jaya Wijaya yang hijau, honai (rumah adat) menyembul di lereng, padang rumput, hingga sungai yang meliuk bak ular dan langit biru cerah. Sungguh pemandangan yang luar biasa indah dengan hawa sejuk dan udara segar.
Sesekali kami juga melihat penduduk setempat menggelar hasil kebun mereka di pinggir jalan utama. Mereka menawarkan kepada siapa saja yang kebetulan melintas hasil kebun itu antara lain pinang, buah jeruk, mentimun atau kelapa hutan.
Selain jalur utama yang dilalui kendaraan, jalur udara dengan pesawat kecil yang di parkir di landasan miring menjadi pilihan untuk mobilitas para misionaris yang mengabdikan hidup mereka di pedalaman. Adapun yang tak terpisahkan dari kawasan Taman Nasional Lorentz adalah penduduk asli di dalam kawasan dan zona penyangga kampung yang berbatasan langsung dengan batas luar taman tersebut.
Karena itu, meskipun kawasan ini 70 persen hutan perawan, potensi ancaman kelangsungan taman nasional terhadap kerusakan yang berdampak pada ekosistem tetap terjadi. Itu berasal dari suku pedalaman perambah hutan, pemekaran kabupaten, pembangunan jalan lintas hingga ancaman pertambangan nikel dan emas. Kondisi itulah yang mendorong WWF bekerja sama dengan Balai Taman Nasional Lorentz, pemerintah daerah Provinsi Papua dan ke-sepuluh kabupaten serta pihak yang berkepentingan untuk menyusun Rencana Pengelolaan Taman Nasional Lorentz (RPTNL) 2011-2029.
Dalam implementasinya, perencanaan kawasan konservasi pelestarian dan pemanfaatan kawasan dilakukan melalui lima zonasi. Yakni zona inti, zona khusus, zona pemanfaatan, zona rimba, dan zona tradisional. Konsep ini masih dalam proses rekomendasi pemerintah Provinsi Papua.
Ya, memang fasilitas dan sarana Lorentz sebagai taman nasional masih sangat terbatas. Namun upaya identifikasi semua objek dan daya tarik wisata alam di taman nasional ini terus dikembangkan.***