JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Pemerintah menyiapkan konsep ekonomi sirkular yang akan diintegrasikan ke dalam pembangunan ekonomi hijau rendah karbon. Konsep itu dianggap tepat untuk mendorong transformasi ekonomi terutama sektor industri pasca pandemi berakhir.
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudiyanto mengatakan, setelah pandemi rantai produksi industri akan mengalami transformasi dan meningkatkan adaptasi teknologi digital. Konsumsi swasta melemah tajam sehingga diperlukan penyesuaian pada rantai pasok yang juga akan mengalami transformasi dengan menitikberatkan pada analisis risiko dan proyeksi permintaan akhir produk yang lebih realistis.
“Konsep ekonomi sirkular akan menghasilkan sejumlah keuntungan. Mengutip hasil studi Bappenas dan UNDP, konsep 5R (Reduce, Reuse, Recycle, Refurbish, Renew) di Indonesia dapat meningkatkan PDB sebesar lima triliunan rupiah,” katanya dalam diskusi Forum Editor yang diselenggarakan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) bekerja sama dengan PwC Indonesia, Sabtu (21/8).
Menurut Arifin, ekonomi sirkular dapat meningkatkan PDB pada kisaran Rp593 – Rp638 triliun pada tahun 2030. Diperkirakan 4,4 juta lapangan kerja hijau tercipta hingga tahun 2030, dimana 75 persen dari total pekerja merupakan tenaga kerja perempuan dan mengurangi timbulan limbah sebesar 18-52 persen dibandingkan business as usual pada tahun 2030.
“Ekonomi sirkular juga berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 126 juta ton CO2,” imbuh Arifin.
Integrasi ekonomi sirkular menjadi agenda prioritas nasional yang dituangkan ke dalam RPJMN tahun 2020-2024. Langkah itu menjadi milestone penting guna mendorong praktik bisnis berkelanjutan. Untuk memperkuat implementasi ekonomi sirkular, pemerintah membuat roadmap dengan harapan terintegrasi secara nasional pada pembangunan menengah nasional 2025-2029 untuk pemerintahan yang akan datang.
Bappenas telah melakukan kajian resources efficiency, dampak ekonomi sirkular pada pemulihan ekonomi hijau di sejumlah sektor. Antara lain sektor makanan dan minuman, peningkatan kapasitas dan kesadaran publik. Selain itu, telah dibentuk sekretariat ekonomi sirkular di bawah Sekretariat Pembangunan Rendah Karbon.
Arifin menambahkan, “Ekonomi sirkular akan sejalan dengan indeks ESG (Environmental, Social, Governance) sebagai alat untuk mencapai ekonomi berkelanjutan. Yang krusial saat ini adalah mendorong aktivitas bisnis menjadi berkelanjutan dimana fokus tidak hanya profit semata tapi aspek lingkungan dan sosial.”
Karena itu, ESG dikenal sebagai peringkat indeks yang menilai aspek non finansial. “Sebagai parameter perusahaan yang digunakan sebagai alat bantu pengukuran kepedulian dan upaya sebuah perusahaan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di tingkat negara dan dunia” paparnya.
Meski saat ini ESG masih bersifat sukarela, ke depannya akan didorong menjadi mandatory bagi perusahaan domestik. Sehingga lambat laun akan dipaksa bertransformasi ke bisnis berkelanjutan.
Sejak Bursa Efek Indonesia (BEI) resmi meluncurkan indeks baru ESG Leaders BEI bulan Desember 2020, investasi berbasis ESG mulai mendapatkan momentumnya di Indonesia. Indeks tersebut diharapkan dapat memacu praktik terkait lingkungan, sosial dan tata kelola emiten dalam menerapkan investasi berkelanjutan di Indonesia.
Colum Rice, ESG Leader, PwC Asia Pasifik, mengatakan perusahaan tidak dapat terus mengabaikan konsekuensi perubahan iklim dari mengejar keuntungan, atau mengabaikan dampak sosial dari praktik mereka.
“Kami percaya bahwa ESG lebih dari sekedar aspirasi perusahaan. Saatnya untuk mengambil tindakan, untuk mengubah aspirasi menjadi rencana kerja nyata yang mencakup setiap bagian bisnis – mulai dari investasi hingga inovasi berkelanjutan hingga pelaporan yang kuat tentang tantangan dan peluang,” terang Rice.
Tindakan dan pelaporan yang autentik dan transparan, menurut Rice, akan membantu membangun kepercayaan bagi bisnis, ekonomi, dan masyarakat. “Saya berharap melalui forum ini akan ada multiplier effect, semakin banyak media mengambil sikap aktif dan terinformasi tentang ESG, semakin banyak orang teredukasi dan keduanya mendukung bisnis yang sudah menerapkan dan menuntut tindakan dari mereka yang belum menjalankan,” ungkapnya.
Senada dengan itu, CEO Yayasan Kehati, Riki Frindos mengatakan bahwa tantangan isu lingkungan saat ini adalah perubahan iklim dan ekonomi rendah karbon sebagai solusi. Pembangunan hijau menjadi fokus pemimpin dunia.
Selain isu perubahan iklim, isu sampah dan polusi, menurut Riki, masih menjadi perhatian utama. Itu sebabnya, ke depan paradigmanya diubah dari konsep ekonomi linear ke ekonomi sirkular. Pembangunan ekonomi hijau juga berkaitan dengan pembiayaan investasi.
“Karena itu dibutuhkan komitmen. Pemikiran kita harus didesain kembali sehingga nanti dari output jadi input. Tantangan sustainability banyak. Di level global, dalam SDGs ada komitmen soal climate change, juga ada agreement menjaga suhu bumi tidak naik,” ujar Riki.
Terkait keberlanjutan ini, sudah banyak instrumen yang diadopsi di Indonesia. Salah satu adalah ESG, mulai dari strategi dan investasinya memberikan dampak secara langsung ke lingkungan dan sosial.
“Tujuan ESG investment ada dua, jangan membahayakan ke sektor bisnis dan perusahaan saham dan obligasi investasi kita. Dan tidak memberi efek negatif ke lingkungan investasi untuk bisnis tanpa dampak yang buruk ke lingkungan, tata kelola, dan sosial,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)