Perempuan di Riau membawa pandan hutan untuk dijadikan tikar anyaman. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan produk olahannya kini menjadi komoditas primadona. Fotografer : Rifky – PILI Green Network |
Seperti dilakukan masyarakat Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara yang tergabung dalam Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL). Titik masuk tata kelola hutan secara berkelompok berawal dari Social Forestry diawali pada tahun 2003. Sedangkan tata hutan secara lestari diawali pada tahun 2004 sejak KHJL berdiri dan melakukan penggorganisasian petani jati hutan milik mereka sendiri. Inilah awal perubahan perilaku, menghentikan aktivis illegal logging dan membangun community logging (from illegal logging to community logging). Sebuah aktivitas penebangan kayu legal yang berorientasi pada pemberdayaan komunitas sekitar.
Selain itu, harga kayu mereka tidak dipermainkan oleh para pengumpul lagi seperti ketika aktivitas illegal logging masih marak di Konawe Selatan. Akses jaringan pasar juga mulai terbangun dengan harga yang terjamin. “Kami juga mendapatkan bibit gratis dan sisa hasil usaha dari koperasi,”kata Gustan, eks pelaku illegal logging dan kini menjadi anggota KHJL dalam berbagai kesempatan berbincang dengan jurnalis Beritalingkungan.com.
Harga kayu mereka juga terus mengalami peningkatan. Kalau sebelumnya, harga kayu jati masyarakat saat itu di tingkat cukong pada tahun 2004 Rp Rp 300 ribu-350 permeter kubik. Namun ketika mulai bergabung di KHJL, harga kayu sedikit mengalami kenaikan menjadi Rp 400 ribu meter kubik. Harga kayu terus yang dibeli KHJL dari anggota koperasi terus mengalami kenaikan. Apalagi setelah KHJL pada tahun 2005 berhasil mendapatkan sertifikat FCS, harga kayu anggota KHJL naik menjadi Rp 750 ribu permeter kubik.
Bahkan belakangan, mereka berhasil membangun industri pengolahan kayu, yang lokasinya tak jauh dari hutan yang dikelola masyarakat Konawe Selatan. Inilah model contoh HPH ala masyarakat Konawe Selatan yang terbukti berhasil menekan aktivitas illegal logging di daerah mereka.
Sistem lacak balak di Konawe Selatan. Foto : Greenpress. |
Cerita kesuksesan masyarakat Konawe Selatan dengan sistem tebang satu tanam sepuluh, hanyalah satu dari sekian kisah sukses masyarakat tepian hutan di berbagai daerah di Indonesia. Sukses mereka memberi bukti bahwa masyarakat bisa berkontribusi dalam tata kelola hutan di Indoenesia termasuk berkiprah di sektor wirausaha kehutanan.
Sementara itu, Direktur Bina Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan, Hariadi Himawan mengungkapkan, potensi Kehutanan Masyarakat sesungguhnya memiliki posisi tawar yang besar, sekira 12 juta hektar. “Secara rinci HKm, Hutan Desa dan HTR saja seluas 7,9 juta hektar, tambahnya.
“Hutan Rakyat untuk pulau Jawa saja mencapai 3 juta hektar dan PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) yang digagas Perhutani 1 juta hektar, ujar Bambang Sukmananto – Direktur Utama Perhutani.
Gerakan wirausaha hutan harus diperkuat untuk mengoptimalkan hasilnya, demi kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. (Marwan Azis).