“Patmi pahlawanku
Wani mati kanggo anak putu
Merjuangke slamete Ibu bumi
Dimen lestari alamku
Patmi patriote bumi”
PEGUNUNGAN KENDENG, BERITALINGKUNGAN.COM — Petani Kendeng yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) memperingati Hari Pahlawan dengan cara istimewa, yaitu menanam dan berdoa di tujuh kabupaten, meliputi Pati, Grobogan, Blora, Rembang, Bojonegoro, Tuban dan Lamongan.
Mereka ingin mengingatkan semua lapisan masyarakat, terutama para pemimpin, baik di daerah maupun pusat, bahwa Semangat Yu Patmi akan terus bergelora hendak “mengadili” perusak ibu Bumi.
Ketua Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Gunretno menyebut, brokohan sebagai tanda ucapan syukur kepada Gusti Allah yang telah mengaruniakan Ibu Bumi dengan limpahan berkat.
“Terus menanam sumber pangan, terus menghijaukan lahan gundul agar sumber air tetap terjaga, lestari serta terus menentang perusakan kawasan karst Pegunungan Kendeng yang terus dikeruk hingga hari ini sebagai bahan baku semen,” katanya.
Padahal hasil KLHS Pegunungan Kendeng, sebagaimana perintah Presiden Joko Widodo, merekomendasikan untuk melindungi kawasan karst Kendeng (CAT Watuputih dll). “Kami juga tetap menolak pendirian pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng,” ujarnya.
Menurut Gunretno, para Pahlawan di era kemerdekaan, berjuang dan memberikan nyawanya agar Indonesia merdeka, lepas dari perbudakkan bangsa asing. Namun sayang, pengorbanan mereka saat ini dicederai oleh bangsanya sendiri. “Dengan menindas saudaranya sebangsa dan setanah air melalui kebijakkan yang tidak ramah lingkungan berujung pada krisis iklim,” ucapnya.
Ancaman ketersediaan bahan pangan serta tercerabutnya kehidupan masyarakat yang tinggal di pedalaman kian nyata. Atas nama pembangunan, pemerintah pusat dan daerah mengeluarkan sejumlah izin yang mengakibatkan maraknya deforestasi, perkebunan monokultur dan pertambangan.
Selain itu, pengalihan fungsi lahan pertanian untuk kawasan industri, pengurukkan kawasan pantai untuk dijadikan hunian maupun industri dilakukan tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekosistem, dan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap rakyat yang menghuni kawasan tersebut.
“Juga tanpa mempertimbangkan azas manfaat seperti yang tertuang di UUD 45 Pasal 33 bahwa kekayaan alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” tegasnya.
Menjadi pertanyaan besar Gunretno, sebenarnya pemerintah bekerja dan mengabdi untuk siapa dan rakyat yang mana? “Tidak adakah rasa takut akan pengadilan alam? Bukankah pandemi sudah menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, terutama pemerintah. Masih kurangkah tanda dan peringatan dari semesta?” tanyanya.
Mengenang jasa para pahlawan yang tulus berjuang hingga mengorbankan nyawa, membuat Gunretno bertekad bulat untuk terus berjuang demi Ibu Bumi. “Ibu Bumi telah memberikan berkatnya untuk kita demi kelangsungan hidup dan kehidupan, bukan untuk kita jarah habis-habisan demi nafsu serakah segelintir orang di negeri ini,” katanya.
Mengenang para pahlawan berarti mengenang pula pengorbanan Yu Patmi, Salim Kancil, dan masih banyak lagi jiwa yang melayang saat memperjuangkan ruang hidup mereka. Mereka adalah pahlawan yang berjuang bukan demi perut sendiri, namun demi sedulur tani, termasuk agar alam ini tetap lestari memberikan penghidupan.
Karena itu, Gunretno mengajak semua pihak untuk ambil bagian dalam proses perbaikan negeri ini. “Indonesia negeri kita tercinta tidak sedang baik-baik saja. Terus mendesak pemerintah, dengan cara kita masing-masing, untuk mengambil kebijakan yang nyata guna mengakhiri krisis iklim yang berpihak kepada kepentingan rakyat, bukan para pemodal,” tutupnya. (Jekson Simanjuntak)