RUPTL Baru Dirilis, Tapi Energi Fosil Masih Mendominasi Lalu di Mana Komitmen Iklim Indonesia?

Berita Lingkungan Environmental News Perubahan Iklim Terkini

Ilustrasi Koalisi Demokrasi Energi yang terdiri dari Greenpeace Indonesia, Enter Nusantara dan 350 Indonesia, menggelar aksi teatrikal menggunakan replika cerobong PLTU dan panel surya, di Kantor Pusat Perusahaan Listrik Negara (PLN), Jakarta Selatan pada 14 November 2023. Foto : Greenpeace.

JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM– Setelah tiga tahun dinanti, PT PLN bersama Pemerintah akhirnya merilis dokumen penting yang menjadi peta jalan kelistrikan Indonesia: Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034. Tapi alih-alih membawa angin segar transisi energi, RUPTL baru ini justru menegaskan satu hal: bahan bakar fosil masih menjadi primadona.

Di tengah gempuran krisis iklim dan sorotan dunia terhadap pentingnya dekarbonisasi, Pemerintah justru merencanakan penambahan 6,3 Gigawatt (GW) PLTU batu bara dan 10,3 GW pembangkit listrik tenaga gas fosil (PLTG) dalam satu dekade ke depan.

“Keputusan ini akan mengunci Indonesia dalam jeratan ‘coal lock-in’ dan ‘fossil gas lock-in’ selama 30 tahun ke depan,” tegas Adila Isfandiari, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia melalui keterangan persnya yang diterima Beritalingkungan.com di Jakarta (02/06/2025).

Emisi Menggunung, Komitmen Reduksi Emisi Dipertanyakan

Dalam laporan bersama Greenpeace Indonesia dan CELIOS, pembangunan pembangkit listrik tenaga gas fosil diperkirakan akan menghasilkan 49 juta ton emisi karbon per tahun. Dan ini belum termasuk kebocoran gas metana — gas rumah kaca yang 82,5 kali lebih kuat dalam memerangkap panas dibanding karbon dioksida.

Ironisnya, saat pemerintah menjanjikan komitmen Net Zero Emission pada 2050, arah kebijakan justru mengarah pada ketergantungan baru terhadap gas fosil yang mahal dan tidak bersih.

Tak hanya mengancam iklim, pengembangan gas fosil juga berpotensi menjadi beban ekonomi besar. Subsidi energi membengkak, Indonesia diproyeksikan jadi net importer gas pada 2040, dan total biaya pengembangan gas bisa menembus USD 32,42 miliar, menurut riset Trend Asia.

Belum lagi dampak kesehatan dan lingkungan yang akan dirasakan masyarakat sekitar pembangkit—biaya yang tidak tercantum dalam laporan keuangan, tapi ditanggung dalam kehidupan sehari-hari.

Energi Terbarukan: Janji yang Belum Terealisasi

Padahal Indonesia telah menandatangani kesepakatan JET-P dan berjanji membangun 75 GW energi terbarukan dalam 15 tahun serta mencapai 44% bauran energi terbarukan pada 2030. Sayangnya, dalam lima tahun terakhir, penambahan pembangkit energi terbarukan hanya mencapai 3,2 GW—jauh di bawah energi fosil yang tumbuh enam kali lipat lebih besar.

Kini saatnya Pemerintah berpihak pada solusi nyata. Energi bersih seperti surya dan angin harus diberi ruang tumbuh melalui kebijakan yang tegas dan progresif.

“Pemerintah harus membatalkan pembangunan pembangkit baru berbasis fosil dan membuka jalan seluas-luasnya bagi energi terbarukan untuk menjadi tulang punggung kelistrikan nasional,” ujar Adila.

RUPTL seharusnya menjadi peta menuju masa depan hijau, bukan labirin menuju krisis yang lebih dalam. Sudah saatnya tak ada lagi ruang untuk fosil (Wan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *