JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM– Greenpeace Indonesia menggelar audiensi penting dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) RI untuk membahas upaya nyata dalam menghentikan laju polusi plastik yang kian mengancam.
Fokus pembicaraan berkisar pada penguatan tanggung jawab produsen, pengawasan mikroplastik, hingga sikap Indonesia dalam negosiasi global pengendalian polusi plastik.
“Permen LHK No. 75 Tahun 2019 sudah cukup progresif karena menempatkan tanggung jawab pengelolaan sampah pada produsen, bukan hanya masyarakat. Tapi, implementasinya masih jauh dari kata cukup,” ungkap Muharram Atha Rasyadi, Tim Leader Kampanye Sosial & Ekonomi Greenpeace Indonesia.
Greenpeace menyoroti pentingnya revisi Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen yang sejauh ini belum dijalankan maksimal. Dari data yang mereka himpun, baru 13 produsen yang menjalankan peta jalan tersebut, sementara 17 lainnya baru menyerahkan dokumen, dan 24 masih dalam proses revisi.
Salah satu sorotan utama Greenpeace adalah temuan dalam Laporan Brand Audit Saset 2023, yang mencatat 3.609 kemasan sachet sulit didaur ulang berasal dari lima raksasa industri: Wings, Salim Group, Mayora, Unilever, dan Santos Jaya Abadi.
“Kami mendorong para produsen untuk lebih transparan dan bertanggung jawab. Krisis plastik tidak akan selesai jika hanya publik yang disalahkan, sementara industri terus memproduksi kemasan sekali pakai tanpa batas,” ujar Ibar Akbar, Juru Kampanye Plastik Greenpeace Indonesia.
Mikroplastik: Ancaman Tak Kasat Mata
Ancaman lain yang tak kalah serius adalah mikroplastik. Hasil riset Greenpeace bersama Universitas Indonesia menemukan kontaminasi mikroplastik dalam air minum, yang berpotensi memicu gangguan fungsi kognitif pada manusia.
βIni bukan sekadar isu lingkungan, tapi sudah menjadi isu kesehatan publik. Produksi dan konsumsi plastik yang tidak terkendali harus dihentikan sebelum terlambat,β ujar Afifah Rahmi, Peneliti Plastik Greenpeace.
Greenpeace meminta pemerintah segera menetapkan ambang batas aman mikroplastik dalam produk pangan dan lingkungan, serta memperketat pemantauan kontaminasi.
Greenpeace juga menyoroti pentingnya sikap Indonesia dalam proses Intergovernmental Negotiating Committee (INC 5.2) menuju perjanjian global plastik. Menurut mereka, Indonesia harus berani menyuarakan pengurangan produksi plastik global sebagai bentuk tanggung jawab moral dan ekologis.
“Traktat Global untuk Plastik adalah kesempatan emas bagi dunia untuk menghentikan krisis ini. Indonesia harus berada di garis depan,β tegas Ibar.
Mendorong Keadilan dan Partisipasi Publik
Greenpeace menyerukan agar KLH/BPLH memperkuat posisi regulatifnya dan memastikan penanganan krisis plastik dilakukan secara adil, berbasis sains, dan melibatkan masyarakat sipil. Mereka juga meminta ada mekanisme pengawasan ketat bagi produsen yang tidak memenuhi target peta jalan.
Pertemuan ini menjadi langkah penting dalam mendorong reformasi kebijakan lingkungan. Harapannya, suara masyarakat dan ilmuwan tidak lagi diredam oleh kepentingan industri.
“Kita tidak bisa menunggu lebih lama. Plastik ada di mana-mana β di sungai, di laut, bahkan di dalam tubuh kita. Saatnya bergerak bersama, untuk bumi yang lebih sehat dan adil,” pungkas Muharram.