Ekonomi Hijau Asia Tenggara Siap Melaju, Pendekatan Berbasis Sistem Dinilai Mampu Dorong Pertumbuhan dan Tekan Emisi

Berita Lingkungan Energi Environmental News Perubahan Iklim Terkini

Ilustrasi ekonomi hijau (Green Economy) Asia Tenggara. Dok : Beritalingkungan.com/Greenpress.

JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Di tengah gelombang ketidakpastian ekonomi global dan tekanan krisis iklim, Asia Tenggara mulai menemukan jalannya: ekonomi hijau berbasis pendekatan sistem. Inilah pesan utama dari laporan terbaru edisi ke-6 Southeast Asia’s Green Economy yang diluncurkan beberapa waktu lalu oleh Bain & Company, GenZero, Google, Standard Chartered, dan Temasek.

Laporan ini menyampaikan bahwa Asia Tenggara—khususnya enam negara utama (SEA-6)—dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi hijau bernilai tinggi jika mampu memperlakukan transisi energi sebagai tantangan sistemik, bukan hanya proyek satuan.

Hasilnya? Tambahan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) hingga USD 120 miliar, penciptaan 900.000 lapangan kerja baru, dan penutupan hingga 50% kesenjangan emisi pada tahun 2030.

“Kita tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan tambal sulam. Kita perlu berpikir sistemik dan lintas sektor agar ekonomi hijau bisa tumbuh cepat dan merata,” ujar Dale Hardcastle, Partner & Co-Director Global Sustainability Innovation Center, Bain & Company kepada Beritalingkungan.com (22/05/2025).

Solusi Sistemik untuk Masalah Kompleks

Tiga sektor utama jadi fokus: bioekonomi berkelanjutan, jaringan listrik generasi berikutnya, dan ekosistem kendaraan listrik (EV). Bioekonomi kini menyumbang 25–30% lapangan kerja di kawasan, namun juga menyumbang sepertiga dari total emisi.

Reformasi besar-besaran dalam hak atas tanah, rantai pasok, dan adopsi teknologi rendah karbon menjadi kunci untuk meningkatkan produktivitas tanpa merusak hutan.

Di sisi lain, jaringan listrik Asia Tenggara dinilai belum siap menyambut era energi terbarukan. Investasi di sistem penyimpanan energi, mikrogrid, dan interkoneksi lintas negara diperlukan untuk menurunkan biaya dekarbonisasi hingga 11% pada 2050, sekaligus memperluas akses listrik bersih.

Sementara itu, sektor transportasi darat menjadi penyumbang emisi yang terus membesar. Dengan penetrasi kendaraan listrik yang masih rendah dan dominasi kendaraan berbahan bakar fosil, Asia Tenggara menghadapi risiko tertinggal dari revolusi otomotif dunia.

“Strategi ganda diperlukan: dorong adopsi EV dan bangun manufaktur lokal. Tanpa ini, kita bisa kehilangan keunggulan industri yang sudah lama kita miliki,” demikian isi laporan.

Tiga Pendukung Penting: Dari Pembiayaan hingga Green AI

Tak hanya teknologi dan infrastruktur, laporan ini juga menekankan pentingnya pembiayaan inovatif, pasar karbon, dan teknologi cerdas (green AI). Saat ini terdapat kesenjangan pembiayaan iklim lebih dari USD 50 miliar di kawasan. Skema blended finance, dana infrastruktur, dan pembiayaan berbasis hasil mulai tumbuh, namun butuh standardisasi agar bisa diperluas.

“Kami melihat peluang besar untuk membiayai transisi ini. Kami siap mendampingi klien kami menjadi bagian dari solusi,” kata Donny Donosepoetro OBE, CEO Standard Chartered Indonesia.

Asia Tenggara juga mulai menunjukkan kemajuan dalam pasar karbon, meskipun langkahnya perlu dipercepat. Potensi besar bisa tergali jika insentif keuangan lebih kuat dan koordinasi antarnegara lebih solid.

Kerja Sama Regional Jadi Kunci

Seiring semakin sempitnya waktu menuju target iklim 2030, kolaborasi lintas negara Asia Tenggara dan kawasan Asia-Pasifik menjadi kunci. Pasar-pasar yang saling terhubung dalam isu energi, perdagangan, hingga teknologi memiliki kekuatan untuk mendorong transformasi hijau lebih cepat dan efektif.

“Kita tidak punya waktu lagi untuk menunda. Transformasi sistemik harus dimulai sekarang,” ujar Franziska Zimmermann, Managing Director, Sustainability, Temasek.

Dengan peluang ekonomi hijau yang besar di depan mata kata Franziska, kini saatnya Asia Tenggara menanggalkan pendekatan parsial dan beralih ke strategi sistemik yang kolaboratif dan berkelanjutan.

“Saat risiko iklim meningkat, justru inilah saat terbaik bagi kawasan untuk menulis ulang narasi pertumbuhannya dari yang sekadar mengejar angka, menjadi pembangunan yang menyatu dengan keberlanjutan,”tandasnya (Marwan Aziz).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *