JAYAPURA, BERITALINGKUNGAN.COM –Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, AMAN Sorong Raya, Greenpeace Indonesia, WALHI Papua menilai objek sengketa dalam perkara PT Inti Kebun Lestari, PT Sorong Agro Sawitindo, dan PT Papua Lestari Abadi menggugat putusan Bupati dan Kepala DPMPTSP Kabupaten Sorong yang berlangsung di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura sebagai perkara perijinan.
Direktur Walhi Papua dan Papua Barat, Aiesh Rumbekwan mengatakan, total luas wilayah izin usaha perkebunan tiga perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mengajukan gugatan dalam perkara a quo seluas 90.031 hektar, dimana PT Inti Kebun Lestari (34.400 Ha), PT Sorong Agro Sawitindo (40.000 Ha) dan PT Papua Lestari Abadi (15.631 Ha).
“Luas itu mendekati 10% dari wilayah Kabupaten Sorong, belum termasuk perkebunan kelapa sawit lainnya yang telah dan mendapatkan sanksi serupa,” kata Aiesh kepada beritalingkungan.com.
PT Inti Kebun Lestari merupakan bagian dari Group perusahaan PT Ciliandry Anky Abadi (CAA) diketahui memiliki dua (2) perusahaan lain, PT Inti Kebun Sejahtera (38.300 Ha) dan PT Inti Kebun Sawit (37.000 Ha) yang juga berada di kabupaten Sorong.
“Tiga perusahaan tersebut sebelumnya dimiliki perusahaan Kayu Lapis Indonesia Group dan sahamnya dialihkan kepada CAA pada tahun 2020,” ujarnya
Sementara itu, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Syahrul Fitra menjelaskan bahwa analisis citra satelit di lokasi izin konsesi para penggugat teridentifikasi adanya aktivitas yang mengakibatkan hilangnya tutupan hutan alam.
Aktivitas tersebut sudah dilakukan sejak tahun 2001 menggunakan analisis deforestasi dari data Tree cover loss (2001-2020) dan Primary humid tropical forest (2001) dan Peta konsesi sawit.
Selama ini Papua dikenal sebagai kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi. Jurnal nature mencatat keanekaragaman tumbuhan di Pulau Papua sebagai tertinggi dari beberapa pulau di dunia. Tim peneliti menemukan 13.634 species tumbuhan, 9.301 spesies merupakan tumbuhan endemic di Pulau Papua.
“Ini merupakan gambaran besarnya keanekaragaman hayati yang terdapat di Pulau Papua,” kata Syahrul.
Uniknya, sebagian besar wilayah izin konsensi para penggugat berada dalam kawasan tutupan hutan yang didalamnya memiliki nilai keanekaragaman hayati bagi keberlangsungan lingkungan hidup.
“Dampak pembukaan hutan secara luas akan menurunkan fungsi lingkungan, menghilangkan keanekaragaman flora fauna, mengakibatkan perubahan iklim dan ancaman bencana lingkungan bagi kehidupan Manusia,” terangnya.
Peta konsesi 5 perkebunan sawit di Sorong, Papua (2001-2020) |
Peta konsesi PT. SorongAgro Sawitindo di Sorong, Papua (2001-2020) |
Peta konsesi PT Papua Lestari Abadi di Sorong, Papua (2001-2020) |
Syahrul menilai, keempat perkara tersebut memiliki dimensi yang lebih luas dari sekedar sengketa perijinan perusahaan untuk menilai apakah produser penerbitan objek sengketa telah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku atau menilai kewenangan para tergugat dalam mengeluarkan keputusan.
“Perkara ini juga menyangkut kepentingan publik atas keberlanjutan lingkungan dan keanekaragaman hayati di tanah Papua,” katanya.
Selanjutnya Syahrul berharap, majelis hakim akan menerapkan pertimbangan penyelamatan lingkungan hidup dan merujuk kepada Keputusan Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013 dan Keputusan Nomor 37 / KMA / SK / III / 2015 dalam memutus perkara tersebut.
Senada dengan itu, Aiesh menjelaskan bahwa Indonesia telah memiliki berbagai regulasi terkait lingkungan hidup yang berfungsi sebagai perlindungan, pengelolaan, dan penegakan hukum lingkungan.
“Dalam sistem peradilan, Mahkamah Agung menyusun berbagai petunjuk bagi hakim dalam menangani perkara yang berkaitan dengan lingkungan hidup,” katanya. Salah satunya, Keputusan Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.
“Melalui pedoman ini hakim diharapkan bersikap progresif menangani perkara lingkungan hidup sehingga hakim berani menerapkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi Prinsip Substansi Hukum Lingkungan (substantive Legal Principles), Prinsip-prinsip proses (Principles Process) dan Prinsip keadilan (Equitable Principles),” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)