Ilustrasi terumbu karang.
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM –Penandatanganan kesepakatan pengalihan utang untuk perlindungan alam telah ditandatangani oleh Indonesia, Amerika Serikat, dan sejumlah organisasi konservasi, pada 3 Juli 2024.
Penandatanganan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengalihkan utang senilai 35 juta dolar AS menjadi investasi bagi konservasi terumbu karang Indonesia selama sembilan tahun ke depan.
Konservasi terumbu karang ini akan dilaksanakan di Bentang Laut Sunda yang memiliki 48 kawasan konservasi seluas 5,7 juta hektar yang dapat melindungi terumbu karang dengan potensi seluas 106.000 hektar.
Lalu di area Banda yang memiliki 47 kawasan konservasi seluas 6,3 juta hektar dan melindungi terumbu karang dengan potensi seluas 701.000 hektar. Kemudian di area Kepala Burung yang memiliki 17 kawasan konservasi seluas 5,1 juta hektar yang melindungi terumbu karang seluas 253.000 hektar.
Penandatanganan ini dilakukan oleh Kuasa Usaha ad Interim (KUAI) Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Michael Kleine, Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia, Direktur Jenderal Pengelolaan Anggaran Keuangan dan Risiko Kementerian Keuangan, Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), Yayasan Konservasi Cakrawala Indonesia (YKCI), Yayasan Conservation International, dan The Nature Conservancy.
Menyikapi hal itu, Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau-pulau Kecil, Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwanuddin menjelaskan bahwa berdasarkan laporan yang dipublikasi oleh Eurodaddengan judul Miracle or Mirage? Are Debt Swaps Really a Silver Bullet menyebutkan, menjelang akhir tahun 2023 sebanyak 136 negara dianggap berada dalam situasi utang yang kritis.
Pada saat yang sama, ruang fiskal telah berkurang, sehingga banyak pihak, termasuk pemerintah, badan-badan PBB dan beberapa LSM internasional, menunjuk debt swap sebagai solusi inovatif untuk mengatasi masalah utang negara, sekaligus menghasilkan sumber daya untuk tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau aksi iklim.
“Oleh karena itu, pertukaran utang, meskipun bukan hal yang baru, semakin mendapat perhatian di forum-forum pembangunan dan iklim internasional, terutama karena berkembangnya apa yang disebut sebagai “pertukaran utang untuk alam” atau debt for nature swap,”kata Parid dalam keterangan persnya yang diterima Beritalingkungan.com (17/07/2024).
Namun, kata Parid, seperti yang dijelaskan dalam laporan tersebut, debt swap tidak akan memberikan pengurangan utang yang substansial, dan juga tidak akan menciptakan ruang fiskal yang cukup bagi negara-negara di belahan dunia selatan untuk mengatasi tantangan pembangunan dan iklim.
“Debt swap tidak akan menutupi cacat besar, yaitu hilangnya political will dan komitmen negara-negara utara dan korporasi multinasional untuk menurunkan emisi sekaligus mendukung negara-negara Selatan dalam menghadapi krisis iklim,” ujarnya.
Lebih jauh, tambah Parid, negara-negara utara harus mengakui tanggung jawab historis mereka dalam melanggengkan tata kelola ekonomi neo-kolonial yang membuat negara-negara di selatan bergantung pada utang.
Pengalaman pahit implementasi debt for nature swaps di sejumlah negara
Berdasarkan laporan tersebut, debt for nature swaps baru-baru ini yang difokuskan pada konservasi laut di empat negara yaitu: Barbados, Belize, Ekuador, dan Gabon, telah disebutkan sebagai masa depan debt swap dan telah menarik banyak perhatian. Namun, pengalaman di sejumlah negara tersebut telah menimbulkan kekhawatiran, terutama karena kurangnya transparansi, biaya transaksi yang tinggi, dan keraguan tentang kepemilikan negara dan partisipasi masyarakat dan masyarakat sipil.
Menurut Parid, secara umum berdasarkan dokumen Miracle or Mirage? Are Debt Swaps Really a Silver Bullet terdapat kritik terhadap debt for nature swap sebagai berikut:
- Debt swap cenderung merupakan instrumen yang lambat, kompleks dan mahal. Debt swap cenderung memiliki biaya transaksi yang tinggi, terutama dalam kaitannya dengan jumlah yang terlibat, karena kompleksitas prosesnya, jumlah agen yang terlibat, lamanya periode negosiasi dan implementasi, dan penggandaan biaya transaksi dan manajemen. Bahkan ketika jumlah yang ditangani telah ditingkatkan, seperti pada debt for nature swap baru-baru ini, biaya transaksi ini tidak berkurang.
- Kurangnya transparansi dan akuntabilitas telah menjadi hal yang konstan. Dalam sebagian besar debt-for-nature swap yang baru, jumlah, kualitas dan kelengkapan informasi yang tersedia tidak memadai.
- Kurangnya partisipasi masyarakat. Meskipun debt swap kadang-kadang melibatkan partisipasi warga negara, masyarakat sipil atau entitas lokal lainnya dari negara pemberi pinjaman dan peminjam, hal ini tidak selalu terjadi. Selain itu, kualitas partisipasi ini juga dipertanyakan, dengan banyak kasus yang nyaris tidak lebih dari sekadar latihan pengisian centang kotak. Hal lain yang menjadi perhatian adalah kurangnya pemantauan, akuntabilitas, dan evaluasi yang sistematis terhadap dampak dari debt swap. Laporan-laporan mengenai tidak dilibatkannya masyarakat adat dan komunitas lokal dalam definisi dan pelaksanaan debt for nature swap di masa lalu, bahkan mengarah pada pelanggaran hak-hak mereka. Debt swap terkadang menyebabkan masyarakat mengalami pengucilan, penolakan akses terhadap tanah dan sumber daya tradisional, penggusuran, ekstraksi pengetahuan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
- Risiko greenwashing. Debt for nature swap dapat membuka pintu untuk melakukan greenwashing, seperti dalam kasus kesalahan di mana obligasi baru dalam skema pertukaran utang untuk alam diberi label sebagai “obligasi biru”. Atas dasar itu, laporan itu menyebut bahwa hibah bersyarat iklim (hibah yang ditujukan untuk proyek atau tujuan iklim) lebih efisien dibandingkan dengan debt for nature swap, karena panjangnya waktu, kerumitan, dan tingginya biaya transaksi yang dibutuhkan dalam operasi ini.
Kegagalan proyek restorasi dan konservasi terumbu karang di Indonesia
Proyek rehabilitasi dan konservasi terumbu karang di Indonesia telah berjalan sejak tahun 1990. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Tries B. Razak dan sejumlah ilmuwan yang dipublikasi di Jurnal Marine Policy, sampai tahun 2020, telah ada sebanyak 533 proyek yang tersebar di 29 provinsi.
Ratusan proyek ini telah menenggelamkan sekitar 120 ribu unit terumbu buatan dan 53 ribu rak transplantasi karang. Ada sekitar 1 juta potongan karang transplantasi yang ditempelkan pada unit-unit tersebut. Berdasarkan Jurnal tersebut, Indonesia merupakan negara yang paling banyak proyek restorasi terumbu karang di dunia.
Tries B. Razak menyebut bahwa mayoritas (sebanyak 205 proyek) restorasi terumbu karang merupakan inisiatif pemerintah. Sementara sisanya merupakan bagian dari kegiatan perusahaan, universitas, dan lembaga swadaya masyarakat. Namun, dalam Kesimpulan risetnya, Ia menyebut bahwa 84% proyek restorasi karang Indonesia tak terpantau, bahkan ada yang hancur berantakan.
Tak hanya itu, dokumen bertajuk Profil Kerentanan Perubahan Iklim Kawasan Segitiga Karang Indonesia, yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2021 disebutkan bahwa dari total luas 50.875 km2 terumbu karang Indonesia, luas terumbu karang terancam mencapai 93% atau sekitar 39.538 km2. Lebih dari itu, status ekosistem terumbu karang di Indonesia sebanyak 33.82% berada dalam kategori buruk, 37.38% berada dalam kategori sedang, 22.38% berada dalam kategori baik, dan 6.42% berada dalam kategori sangat baik.
Dokumen Profil Kerentanan Perubahan Iklim Kawasan Segitiga Karang Indonesia menyebut bahwa jika menggunakan skenario kenaikan temperatur maksimum sebesar 2ºC, maka setengah dari ekosistem terumbu karang di Indonesia hancur pada tahun 2030.
Sementara itu, wilayah di kawasan Segitiga Karang Indonesia yang termasuk dalam kelas kerentanan tinggi hingga sangat tinggi terdapat di Papua dan Papua Barat. Sebagian besar wilayah di kawasan Segitiga Karang Indonesia termasuk dalam kelas kerentanan sedang. Kelas kerentanan tinggi berada di desa-desa pesisir di Pulau Kalimantan. Sementara itu wilayah dengan kerentanan sangat tinggi cukup banyak terlihat di Pulau Maluku dan Papua serta di kawasan Sunda Kecil.
Berdasarkan data-data tersebut, Parid Ridwanuddin menyebut proyek restorasi dan konservasi yang telah dijalankan dalam 30 tahun (1990-2020) tidak berhasil memulihkan terumbu karang di Indonesia beserta desa-desa pesisir yang ada di Kawasan segitiga terumbu karang sampai dengan saat ini. Artinya, jika mau melanjutkan proyek restorasi dan konservasi terumbu karang dalam sembilan tahun ke depan dengan cara yang sama selama ini, maka akan mengulang kegagalan yang sama.
Kontradiksi peraturan perundangan dan konflik di lapangan
Tak hanya itu, Parid menggarisbawahi agenda konservasi terumbu karang dalam sembilan tahun ke depan, harus berhadapan dengan kontradiksi peraturan perundangan. Kontradiksi pertama adalah adanya UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang mengizinkan perubahan kawasan inti konservasi menjadi kawasan eksploitasi, termasuk juga UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Selanjutnya, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Bidang Kelautan dan Perikanan. Pasal 3 sampai 7, PP 27 Tahun 2021 menyatakan zona inti pada kawasan Konservasi Nasional boleh diubah untuk kepentingan proyek strategis nasional. “Dengan demikian, UU Cipta Kerja dan PP 27 Tahun 2021 menjelaskan betapa kawasan konservasi terumbu karang akan sangat mudah diubah untuk berbagai kepentingan proyek strategis nasional yang didominasi oleh kepentingan ekstraktif dan eksploitatif,” kata Parid.
Hal lain yang menjadi kontradiksi adalah sebaran proyek reklamasi yang telah, sedang, dan akan dibangun di Indonesia. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh WALHI dalam dokumen berjudul Negara Melayani Siapa? Potret Ocean Grabbing di Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil dalam 28 RZWP3K di Indonesia, disebutkan bahwa sampai dengan tahun 2040 setidaknya seluas 3.527.120,17 hektar proyek reklamasi dan 63.763,03 hektar proyek tambang pasir laut akan dilaksanakan oleh Pemerintah.
Proyek reklamasi terbukti menghancurkan kawasan terumbu karang. Di Teluk Manado, reklamasi telah menghancurkan puluhan hektar terumbu karang yang selama ini dilindungi oleh masyarakat. Kasus terbaru adalah proyek reklamasi seluas 90 hektar yang diberi izin oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan lewat izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) Nomor 20062210517100001 yang diberikan kepada PT Manado Utara Perkasa.
Sejalan dengan itu, proyek pertambangan pasir laut, jelas akan menghancurkan ekosistem terumbu karang. Hal inilah yang membuat nelayan di Pulau Pari, DKI Jakarta melakukan perlawanan terhadap penambangan pasir laut yang menghancurkan terumbu karang yang dilakukan oleh pengusaha pariwisata yang menguasai Pulau Tengah, satu pulau kecil, di gugusan Pulau Pari. Pada titik inilah, PP 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut harus dicabut.
Seruan Keadilan Iklim
Dalam konteks keadilan iklim, kata Parid, Pemerintah Amerika Serikat (AS) dan berbagai korporasi multinasional yang berbasis di AS harus berkomitmen menurunkan emisinya, mengingat AS adalah negara yang menjadi produsen emisi utama. Berdasarkan data yang dipublikasi Our World in Data AS telah memproduksi emisi sebanyak 399 miliar ton atau setara 25 persen emisi global sejak tahun 1751 sampai tahun 2017. Berdasarkan hal tersebut, The New York Time menyebut AS sebagai the Biggest Carbon Polluter in History.
Tak hanya itu, sejumlah perusahaan multinasional yang sering disebut dalam Global Carbon Major, bermarkas di AS. Di antara yang dapat disebut adalah Exxon Mobile, Chevron, ConocoPhillips, Arch Coal, Anglo American, Alpha Natural Resources, dan lain sebagainya.
Mereka harus berkomitmen untuk menurunkan emisinya sebesar 69 persen sampai tahun 2040. Angka ini sejalan dengan gugatan iklim Pulau Pari kepada Holcim yang merupakan Carbon Major. Angka ini juga sejalan dengan target IPCC untuk menjaga temperatur bumi di bawah 1,5 derajat celcius,
“Tanpa komitmen penurunan emisi yang sangat signifikan dari AS dan berbagai perusahaan Carbon Major yang bermarkas di AS, maka debt swap hanya akan menjadi greenwashing atau lebih tepatnya bluewashing. Masyarakat Pesisir tetap tidak mendapatkan ruang yang adil untuk terlibat dalam penyusunan kebijakan pemulihan terumbu karang dan kebijakan yang terkait dengan iklim,” pungkasnya (Marwan Aziz).