Kondisi hutan mangrove di pesisir Desa Sawah Luruh, Kecamatan Kasemen, Serang Banten. Foto : Cita Ariani/SIEJ |
SERANG, BL- Di Banten, konservasi menghadapi ujian terberatnya, bagaimana melestarikan fungsi-fungsi ekologis sekaligus mengangkat kesejahteraan nelayan dan petani setempat.
Wetland International mengembangkan konservasi bersama masyarakat di lahan basah di Serang. Berhasilkah mereka?
Setelah satu jam lebih perjalanan dari Jakarta, akhirnya mata ini disuguhkan hamparan hijau ketika memasuki Desa Sawah Luhur, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang, Banten (16/07). Desa ini memang memiliki dua mata pencaharian utama, yaitu bertani padi dan tambak ikan atau udang. Namun, kedua pekerjaan tersebut telah mengikis keberadaan hutan mangrove sejak tahun 1984. Karena itu terjadi intrusi air laut hingga membuat warga setempat sulit mendapatkan air bersih untuk minum.
Dari permasalahan yang ada, Wetland International membuat program jangka 15 tahun sejak tahun 2009. Program ini bersifat Konservasi berbasis Ekonomi. Mengajak masyarakat Desa Sawah Luhur menanam mangrove di lahan tambak, namun tetap bernilai ekonomi.
Satu petambak memegang 2-4 hektar. Setiap petambak harus menghasilkan pertumbuhan mangrove hingga 80 persen selama 2 tahun. Mangrove ini ditanam di tepi tambak, jika ada yang mati petambak harus melakukan penyulaman sendiri. “Jika pertumbuhan kurang dari 80 persen, akan dilempar ke petambak lain”, kata Urip Triyanto, Koordinator Wetland International Wilayah Desa Sawah Luhur, “jika berhasil ia bisa tetap memegang lahan tersebut”.
Petambak berasal dari rekomendasi desa dan memiliki penghasilan kurang atau belum memiliki pekerjaan. Modal awal berupa tambak, ikan, dan bibit mangrove diberikan Wetland International dan selanjutnya dikembangkan oleh petambak itu sendiri. “Warga lain yang belum bergabung bisa ikut menanam mangrove”, kata Urip. Saat ini baru 9 petambak yang bergabung dan dalam satu kelompok.
Menurut Urip, tanaman mangrove dapat menjaga kestabilan garis pantai apalagi jarak antara pantai ke pemukiman desa hanya 1 km. Selain itu, sebagai penyangga intrusi sehingga air asin dapat terfilter menjadi air tawar, mengurangi kadar garam seperti sekarang ini dari 30 gram per liter menjadi 25 gram per liter, dan menjadi tempat ekosistem yang baik bagi ikan dan udang. Seperti yang dirasakan salah satu petambak, “Udang menjadi tidak gampang stress, biasanya 1 minggu sudah stress jika musim panas seperti sekarang ini”, ungkap Babay.
Selain baik untuk lingkungan, mangrove ini juga menambah penghasilan bagi petambak. Biasanya penghasilan panen udang Rp 15.000 per hari per 2 hektar, kini bisa mencapai Rp 25.000 per hari per 2 hektar. Sedangkan, panen ikan bandeng mencapai 50-100 kilogram per panen. Dalam setahun bisa tiga kali petambak memanen ikan. “Biasanya ikan tidak tumbuh dengan baik, kerdil karena stress”, ungkap Babay, “karena suhu air panas”.
Menurut Urip, kendala paling utama program ini pada status kepemilikan tambak, 90 persen tambak dimiliki oleh orang luar desa. Sehingga menyulitkan Wetland International untuk melakukan pendekatan. “Secara mayoritas, warga disini sudah menerima dan ingin menanam mangrove cuma lahannya bukan milikinya”, kata Urip, “karena mereka juga sudah melihat dampak baik dan perbedaan penghasilannya”.
Saat ini lahan yang sudah ditanami mangrove seluas 20 hektar dari 4 hektar tahun 2009. Harapan Urip, kegiatan ini akan terus berkembang hingga terbentuk hutan mangrove kembali. “Jika sudah 15 tahun, warga tidak didampingi lagi tapi terus diawasi”, kata Urip. Selain untuk kepentingan warga setempat, hutan mangrove nantinya akan menjadi tempat habitat baru bagi burung yang memang dulunya banyak di sekitar lokasi. (Cita Ariani/SIEJ)