Kondisi pasca banjir bandang di Kabupaten Pegunungan Arfak, Provinsi Papua Barat, pada Sabtu, (17/5). Sumber foto/Vid BPBD Kab Pegunungan Arfak
ARFAK, BERITALINGKUNGAN.COM- Di balik rimbunnya hutan hujan Papua Barat dan lekukan-lekukan perbukitan Pegunungan Arfak yang hijau dan tenang, gemuruh alam kembali menunjukkan taringnya.
Pada Jumat sore, 16 Mei 2025, hujan deras mengguyur Distrik Catubouw tanpa henti selama hampir tujuh jam. Menjelang malam, sekitar pukul 21.00 WIT, sebuah banjir bandang menerjang Kampung Jim, menghanyutkan tenda-tenda sederhana para pencari emas tradisional di bantaran sungai. Dalam sekejap, tempat yang menjadi tumpuan harapan itu berubah menjadi puing-puing bercampur lumpur dan tangisan.
Satu nyawa telah ditemukan tak bernyawa—Harun Meidodga, 22 tahun. Sedangkan 19 orang lainnya masih dalam pencarian, menyisakan kekhawatiran dan kesedihan mendalam bagi keluarga dan komunitas mereka. Empat orang lainnya mengalami luka-luka dan kini tengah dirawat secara darurat oleh masyarakat setempat.
Berikut ini data 19 orang lainnya yang hingga kini masih dinyatakan hilang dan sedang dalam proses pencarian intensif oleh tim gabungan. Mereka adalah:
1. Pit Takaliumang (L/19 tahun),
2. George Takaliumang (L/55 tahun),
3. Yoce Takaliumang (L/40 tahun),
4. Billi Takaliumang (L/50 tahun),
5. Andre Mandage (L/20 tahun),
6. Fence Mandage (L/41 tahun),
7. Jhon (L/sekitar 40 tahun),
8. Jun (L/sekitar 25 tahun),
9. Olden Mote (L/sekitar 25 tahun),
10. Reki Mote (L/sekitar 35 tahun),
11. Jufri Sarenosa (L/sekitar 35 tahun),
12. Melkianus Mandacan (L/30 tahun),
13. Robertus Edison Nurak (L/sekitar 30 tahun),
14. Oktovianus Petrus Alwandi (L/23 tahun),
15. Laurensius Danilson (L/23 tahun),
16. Yan Leo (L/26 tahun),
17. Eleven Primus Elianus (L/29 tahun),
18. Epen (L/sekitar 20 tahun), dan
19. Erik (L/sekitar 25 tahun).
Selain itu, terdapat pula empat orang yang mengalami luka-luka, yakni:
1. Fretswan Unas (L/33 tahun),
2. Juandi Takaliumang (L/22 tahun),
3. Yeskiel Takaliumang (L/34 tahun), dan
4. Karunyak Takaliumang (L/44 tahun).
“Ini adalah bencana yang terjadi sangat cepat. Debit air dari hulu meningkat drastis dan langsung menghantam area hunian sementara,” kata Abdul Muhari, Ph.D., Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB (20/05/2025).
“Para pencari emas mendirikan tenda di kawasan yang sangat rawan, di jalur lintasan air. Dan sayangnya, mereka tidak memiliki cukup waktu untuk menyelamatkan diri.”ujarnya.
Di Balik Derasnya Air, Ada Kehilangan yang Dalam
Daftar orang hilang mencerminkan betapa peristiwa ini menimpa seluruh lapisan masyarakat—dari anak muda seperti Pit Takaliumang (19) hingga warga berumur seperti George Takaliumang (55). Nama-nama yang terus dipanggil di antara celah pepohonan dan batuan besar oleh tim pencari, dengan harapan masih ada keajaiban.
Tim gabungan dari BPBD Kabupaten Pegunungan Arfak, Basarnas, relawan, dan warga setempat berjibaku melawan cuaca, topografi ekstrem, serta jaringan komunikasi yang nyaris tidak berfungsi. Dalam kondisi ini, kerja keras mereka ibarat berjalan dalam kabut, meraba-raba arah tanpa kepastian.
“Kami terus memperkuat koordinasi dan upaya pencarian. Namun kondisi medan dan akses komunikasi menjadi tantangan terbesar,” jelas Muhari.
Alam, Tambang, dan Risiko
Papua Barat dikenal dengan kekayaan alamnya, termasuk sumber daya tambang seperti emas yang ditemukan secara tradisional di berbagai lokasi. Namun, aktivitas penambangan tanpa mitigasi risiko bencana telah menjadi persoalan yang lama diperingatkan oleh para ahli.
“Ketika manusia mendekat ke lereng dan lembah demi sumber daya, mereka juga mendekatkan diri pada risiko yang belum tentu siap mereka hadapi,” tambah Muhari. “Wilayah Pegunungan Arfak memiliki karakteristik hidrologi yang sensitif. Saat hujan lebat, lereng mudah jenuh dan longsor, membawa serta aliran deras lumpur dan batu.”
Himbauan dan Harapan
BNPB menyerukan agar masyarakat, khususnya di kawasan pegunungan dan tambang tradisional, meningkatkan kewaspadaan selama musim hujan. Aktivitas di daerah rawan sebaiknya dihentikan sementara ketika cuaca ekstrem terjadi, dan potensi bencana harus segera dilaporkan kepada aparat desa atau pihak terkait.
“Keselamatan jiwa adalah yang utama,” tegas Muhari. “Kami tidak pernah bisa melawan kekuatan alam, tetapi kita bisa memperkecil dampaknya dengan kesiapsiagaan.”
Banjir bandang di Kampung Jim adalah pengingat pahit tentang betapa rapuhnya batas antara pencarian penghidupan dan risiko kehilangan. Ketika air datang bukan sebagai sumber kehidupan, tetapi sebagai arus maut, maka hanya langkah-langkah antisipatif yang bisa menyelamatkan masa depan.
Bagi masyarakat Pegunungan Arfak, luka ini akan lama sembuh. Namun di antara derai hujan dan lumpur yang mulai mengering, harapan masih ada—bahwa mereka yang hilang akan ditemukan, bahwa alam akan kembali bersahabat, dan bahwa tragedi ini menjadi pelajaran penting untuk hidup lebih selaras dengan alam (Wan).