JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Greenpeace International menerbitkan laporan terbaru berjudul “Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua”. Laporan itu mengungkap dugaan pelanggaran sistematis perizinan perkebunan dan pelepasan kawasan hutan di provinsi Papua dalam rentang 2011-2019.
Kajian tersebut meliputi 32 perusahaan di Tanah Papua yang mengindikasikan bahwa proyek-proyek rakus lahan terutama di bagian selatan Provinsi Papua, sebagian besar diduga terbit dengan melanggar hukum.
Ketua Tim Juru Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas menyebut, hampir satu juta hektare hutan di Provinsi Papua telah dilepaskan dari kawasan hutan sejak tahun 2000 atau hampir dua kali luas pulau Bali.
“Sebagian besar pelepasan tersebut untuk kepentingan pengembangan perkebunan kelapa sawit,” tegas Arie.
Selain itu, Arie Rompas menemukan indikasi dugaan pelanggaran sejak proses penerbitan izin lokasi. Bermula pada tahap pelepasan kawasan hutan, atau pun perubahan peta moratorium gambut yang dianggap menguntungkan sejumlah perusahaan.
Temuan terhadap 25 perusahaan dari 32 perusahaan itu diduga melanggar peraturan menteri mengenai pelepasan kawasan hutan. “Pelepasan kawasan terjadi pada saat Zulkifli Hasan menjabat sebagai Menteri Kehutanan (2009-2014) dan juga di era Menteri LHK Siti Nurbaya,” tegas Arie.
Pelepasan kawasan hutan diduga melibatkan sejumlah elit politik yang menjadi bagian dari perusahaan, yang mendapatkan izin perkebunan dan pelepasan kawasan hutan sejak dari awal proses penerbitan izin .
“Di antaranya ada yang menjabat anggota DPR RI, jenderal polisi, mantan menteri, dan pengurus atau anggota partai politik. Posisi mereka di perusahaan-perusahaan itu beragam, ada sebagai pemegang saham maupun pengurus perusahaan,” terang Arie.
Keberadaan para elit tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Mereka disinyalir mempengaruhi pembentukan produk perundang-undangan ataupun kebijakan di sektor perkebunan dan kehutanan, yang berkaitan langsung dengan usaha yang mereka geluti.
“Contoh produk legislasi yang sarat kepentingan oligarki maupun elit politik tertentu adalah Undang-Undang Cipta Kerja. Undang-undang itu melemahkan perlindungan lingkungan hidup, buruh, dan masyarakat adat,” pungkas Arie.
Temuan Greenpeace Internasional ini juga sejalan dengan riset tim review izin di Provinsi Papua Barat maupun Provinsi Papua baru-baru ini. Khusus di Papua Barat, tim bahkan merekomendasikan pencabutan hampir selusin izin perkebunan untuk dikembalikan sebagai kawasan hutan atau dialokasikan untuk masyarakat adat.
Atas temuan itu, Juru Kampanye Hutan Papua Greenpeace Nico Wamafma, mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk mengambil langkah serius dalam perlindungan hutan alam yang tersisa di tanah Papua.
“Sebagian besar perusahaan belum membuka lahannya. Ini kesempatan untuk menyelamatkan hutan alam. Melalui instrumen kebijakan yang ada, pemerintah bisa menganulir pelepasan dan izin yang terlanjur dikeluarkan sebagai bentuk corrective action,” tegas Nico.
Menurut Nico, jika rekomendasi itu dijalankan, pemerintah tidak hanya menyelamatkan hutan alam tersisa, namun juga membantu pencapaian target reforma agraria yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sejak awal menjabat. Karena itu, Provinsi Papua juga harus mengikuti langkah serupa.
“Selanjutnya, kami akan menyampaikan temuan ini ke Gakkum KLHK dan penegak hukum terkait untuk ditindaklanjuti,” tandas Nico.
Sebelumnya, analisis CIFOR menemukan, setidaknya 168.471 hektar hutan alam di Provinsi Papua telah dikonversi menjadi perkebunan sawit, pada tahun 2019. Jumlah itu terus bertambah seiring bertambahnya pelepasan kawasan hutan dan izin perkebunan.
Sementara itu, program perlindungan hutan dan lahan gambut termasuk Moratorium Hutan dan Moratorium Kelapa Sawit belum mencapai hasil yang memuaskan dan terkesan jalan di tempat. Hal itu tak lepas dari banyaknya celah pada kebijakan dan lemahnya penegakan hukum.
Sementara itu, masyarakat adat sebagai kelompok rentan dan paling terancam akibat ekspansi perkebunan sawit tidak kunjung mendapat pengakuan hak dan akses kelola. Yang terjadi justru sebaliknya, ketika pemerintah dan DPR memilih mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggap melemahkan masyarakat adat dan malah menguntungkan oligarki. (Jekson Simanjuntak)