Oleh: IGG Maha Adi.
Kisah jatuh bangun lembaga swadaya masyarakat, bersama pemerintah daerah, akademisi dan masyarakat adat menyelamatkan biodiversity Papua untuk mencegah kehancuran salah satu pusat megadivesity dunia ini, bahkan menjadikannya provinsi konservasi pertama di dunia.
Ultima Thule of the East. Metafora ini dipakai Alfred Russel Wallace untuk menggambarkan Papua, tanah penuh misteri di luar batas dunia yang dikenalnya. Dari rumah singgahnya di Ternate pada 1858, setelah menganalisis seluruh variasi satwa dan tumbuhan di Papua dan Kepulauan Melayu, ia menulis kesimpulannya dalam sepucuk surat kepada Charles Darwin yang kemudian melahirkan teori seleksi alam (natural selection) yang masyhur itu.
Lebih dari satu setengah abad setelah Wallace meninggalkan pesisir Dorey (Doreri) dekat Kota Manokwari, tanah Papua kembali diam berselimut misteri dan kekayaan hayati pedalamannya jarang dipublikasikan, sampai geografer Universitas California Profesor Jared Diamond menjadi orang asing pertama yang melakukan pengamatan tanpa mengumpulkan spesimen di Pegunungan Foja tahun 1979 dan 1981. Suara hutan Papua kembali terdengar di ranah ilmiah.
Tertarik oleh hasil pengamatan Diamond, pada 2004 ornitologis sekaligus Vice President Program Melanesia pada Conservation International Bruce Beehler datang ke Papua, terbang di atas lembah Mamberamo dan melintasi hamparan hutan Pegunungan Foja seluas 300 ribu ha. Ia mencari lokasi terbaik untuk memulai rencananya. Sepetak lahan terbuka dilihatnya di ujung kelokan sungai, bekas rawa yang terendam banjir setiap tahun sehingga membatasi pertumbuhan tanaman dan hanya ditumbuhi semak dan rumput. Ia sudah menemukan apa yang dicarinya: Landasan untuk helikopter atau pesawat twin otter.
Bulan November 2005 Bruce datang lagi, tetapi kali ini ia memimpin 12 ahli dalam ekspedisi ilmiah yang pertama di Pegunungan Foja. Sebuah survei Rapid Assessment Program (RAP) telah dirancang selama 25 hari oleh CI untuk menyediakan informasi biologi yang akan memfasilitasi perlindungan lingkungan bagi daerah keanekaragaman hayati yang penting itu. Ekspedisi ilmiah besar pertama di Papua itu didukung oleh LIPI sebagai mitra peneliti lokal, serta izin dari pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan, dan mitra asing antara lain Smithsonian Institution dan National Geographic Society. Beberapa jurnalis juga dibawa ke sana. Di antara mereka terselip seorang biarawan.
Suara baling-baling helikopter baru saja menghilang saat Bruder Henk menyadari tas duffel miliknya tidak ada, mungkin tertinggal di bagasi heli. Satu set topi, kemeja lengan pendek merah muda, celana jins, dan sepatu boot karet yang melekat di badannya menjadi satu-satunya pakaian yang ia miliki tiga pekan ke depan. Padahal saat itu ia berada di belantara hutan Pegunungan Foja, Papua, 1.500 meter di atas permukaan laut, di salah satu tempat paling terpencil dan sulit dicapai di Bumi. Sampai hari itu, sebagian besar Papua adalah terra incognita, wilayah misterius yang belum dikenal dunia luar.
Bruder Henk atau Henricus Jacobus Gerardus van Mastrigt adalah biarawan ordo Fransiskan di Jayapura dan bukan ahli biologi yang mendapat didikan formal, tetapi puluhan tahun mempelajari kupu-kupu Papua bagian barat dan sangat mengenalnya. Sejak 1989 ia menulis beberapa buku tentang kupu-kupu Papua, dua diantaranya diterbitkan CI.
Kemudian Henk berhenti untuk buang air kecil di sebuah kubangan lumpur karena dia tahu bahwa mineral dalam urin akan menarik kupu-kupu. Urin mengandung sodium yang dibutuhkan kupu-kupu dan beberapa satwa lain yang kekurangan unsur itu dalam makanan hariannya. Sambil menenteng jaring merah miliknya, ia melintasi rawa berlumpur, menyergap dan menangkap kupu-kupu.
Dalam 10 hari saja, ia sudah menemukan empat spesies baru kupu-kupu dari genus Delias. Satu kupu-kupu indah bersayap coklat dan hitam, berpadu totol kuning diberinya nama Delias kristianiae, dari nama Ibu Negara Kristiani Herawati, istri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai penghormatan atas jasanya menjaga hutan Indonesia.
Bruce ikut mengenang hari-harinya di hutan. Pengalamannya mirip Bruder Henk, ketika baru saja melangkah beberapa menit dari tenda, burung penghisap madu (honeyeater) telah menarik perhatiannya. Burung ini sebetulnya umum terlihat di Australia dan Papua Nugini, tapi rekan satu timnya melihat ada spot unik pada burung itu. “Saya lalu tersadar dan melihat lebih jelas. Itu spesies baru”, katanya.
Satwa-satwa liar ini tak takut manusia, karena itulah perjumpaan pertama mereka. Di kampung Kwerba, di sekitar landasan helikopter, walaupun saat itu sudah berpenghuni 200 orang tetapi mereka mengaku jarang sekali menjelajah hutan apalagi sampai ke puncak Foja. Konon kata mereka, roh jahat bermukim di hutan dan puncaknya. Itu sebabnya, seekor possum (sejenis tupai) dengan berani dan rasa ingin tahu yang besar memanjat tangan kamerawan CBS, menyusuri lengan kamera, naik dari bahu untuk bertengger di atas kepalanya. Burung-burung dan tikus tanah pun tak lari saat dipegang tim peneliti, dan beberapa mamalia dan katak juga ditangkap dengan tangan.
Kru film berhasil merekam bagaimana gaya pacaran sepasang burung namdur bermuka emas (Amblyornis flavifrons) dan rekaman burung cendrawasih sabit hitam (Epimachus fastuosus). Mereka juga merekam burung cendrawasih yang dipercaya telah lama hilang dari catatan para ahli, Parotia berlepschi atau dikenal sebagai burung cendrawasih berlepsch enam-kawat. Begitu langkanya, burung ini hampir menjadi mitos antara ada dan tiada. Tim juga berhasil memotret burung penghisap madu berasap pial (Melipotes carolae), keduanya endemik Pegunungan Foja. Setiap hari ada penemuan dan kejutan, mulai dari kangguru pohon mantel emas bernama ilmiah Dendrolagus pulcherrimus,. Kumpulan berbagai ngengat yang ditangkap Bruder Henk setiap malam juga memenuhi meja.
Burung cendrawasih barlepsch enam kawat (Parotia barlepschi) yang langka ditemukan kembali oleh para peneliti CI dalam ekspedisi Pegunungan Foja, Papua tahun 2005 (Foto: Stephen Richards/CI)
Dalam tenda kuning sebagai laboratorium darurat, para ahli biologi itu berkumpul. Ahli botani Asep Sadili dari LIPI mengumpulkan tumbuhan dari situs penelitian di dekat kamp. Kristofer Helgen dan Christopher Milensky dari Smithsonian Institution menyiapkan spesimen mamalia dan burung, Stephen Richards dari South Australian Museum, ahli herpet dan co-RAP Manager, ada Paul Oliver dari Australia menangani katak dan kadal. Di sampingnya ahli unggas Ed Scholes dari Cornell Laboratory of Ornithology mendengarkan rekaman audio dan video sepanjang jalan setapak hutan.
Kehidupan sehari-hari di kamp bukan hanya sibuk mengumpulkan dan menyiapkan spesimen. Lintah meninggalkan bekas berdarah di kaki semua orang; jelatang menyebabkan ruam menyakitkan. Suatu malam, terjadi hujan belatung. Rupanya lalat bertelur dalam jumlah ratusan di atas tenda jaring, lalu larvanya menetas, menggeliat, dan lapar. Malam yang lain, menurut National Geographic, salah satu penduduk setempat membuang seluruh pasokan minyak tanah tim ketika dia salah mengiranya sebagai air. Dituangkanlah minyak tanah itu ke dalam panci, lalu ditambahkan beras untuk memasak makan malam.
Menjelang tiga pekan, tim ekspedisi telah mencatat sekitar 75 spesies baru, termasuk di dalamnya 40 spesies arthropoda, 20 spesies katak, tak kurang dari 10 spesies tumbuhan, lima mamalia baru, dan dua spesies baru burung baru, juga kanguru pohon berbulu emas, spesies yang sebelumnya tak pernah diketahui hidup di Indonesia. Sementara itu Bruder Henk mengumpulkan lebih dari 20 jenis kupu-kupu dan ngengat untuk diperiksa status kebaruan spesiesnya.
Lalu tiba hari terakhir, ketika deru mesin helikopter menjauh, kehidupan di Pegunungan Foja kembali dalam iramanya, tenang seolah kembali tenggelam dalam misteri di bawah tajuk dan kanopi hutan. Sebentar lagi desau angin akan diganti suara tonggeret yang menemani matahari tenggelam, lalu suara katak akan berdengkang-dengkung menyambut bulan yang mengambang di langit terang.
Beberapa tahun kemudian, CI menyerahkan seluruh hasil ekspedisi itu kepada pemerintah Indonesia, termasuk kepada Kementerian Kehutanan, LIPI, dan Pemerintah Provinsi Papua. Gubernur Papua kala itu, Barnabas Suebu berjanji mengupayakan perlindungan dan pelestarian hutan Pegunungan Foja.
Keberlanjutan komitmen CI di Pegunungan Foja dan Memberamo rupanya terkendala oleh pemekaran kabupaten baru di Provinsi Papua termasuk Kabupaten Mamberamo Raya sebagai kabupaten baru, di mana Pegunungan Foja berada. Sayangnya, penundaan yang cukup lama untuk perpindahan pusat pemerintahan dan para staf ke ibukota kabupaten, menyebabkan target-target program CI di Papua yang didanai oleh dana publik melalui USAID sulit dicapai. “Penggunaan dana publik sangat ketat sehingga CI tidak mungkin mencapai target bila program tertunda untuk waktu yang tak bisa kami prediksi,” kata Ketut Sarjana Putra mantan Vice President CI Indonesia. Dengan berat hati, CI harus memutuskan menghentikan seluruh rencana bagi Memberamo dengan opsi tetap terbuka kemungkinan untuk bekerja bersama pemerintah dan masyarakat di kawasan Mamberamo dan Provinsi Papua di masa mendatang.
Tahun-tahun berikutnya, dukungan CI untuk konservasi lansekap Papua dilanjutkan di Provinsi Papua Barat melalui Memorandum Saling Kesepahaman dengan Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Tahun 2010 CI dan LSM lainnya mendukung gagasan Gubernur Papua Barat Abraham O. Atururi tentang perlunya provinsi itu menjadi Provinsi Konservasi agar kekayaan alamnya dapat dikelola dengan berkelanjutan dan mensejahterakan rakyat. Melalui kampanye seantero Papua Barat termasuk mengajak artis-artis Ibukota asal Papua Barat, CI berpartisipasi dalamsosialisasi gagasan penting itu kepada masyarakat dari kota sampai ke pedalaman.
Baru sembilan tahun kemudian, menjelang subuh hari Rabu 21 Maret 2019, setelah sidang yang melelahkan DPRD Papua Barat sepakat mengesahkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) No. 10 Tahun 2019 tentang Pembangunan Berkelanjutan di Provinsi Papua Barat. Pengesahan ini merupakan realisasi gagasan mantan gubernur Atururi tentang provinsi konservasi karena isi Perdasus ini menggambarkan semangat sebuah Provinsi yang memperioritaskan konservasi dan pelestarian sumberdaya alam. Di dalam Perdasus tertulis, misalnya, bahwa salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan di Papua Barat adalah untuk mempertahankan minimal 70% luasan ekosistem hutan tropis dan ekosistem esensial lainnya dari luas daratan provinsi Papua Barat. Dalam pasal lain dinyatakan pemerintah daerah wajib mempertahankan 50% luas wilayah pesisir dan perairan sebagai Kawasan Konservasi Perairan, dengan 20% diantaranya ditetapkan sebagai zona larangan tangkap (no take zone).
Pada Juni 2019, CI mengundang Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan ke Los Angeles, Amerika Serikat, untuk menerima penghargaan Global Conservation Hero. Sebagai penerus Atururi, ia adalah tokoh kunci yang mewarisi dan melanjutkan gagasan pendahulunya untuk merealisasikan semangatkonservasi di Papua Barat dengan mengajukan rancangan Perdasus ke DPRD hingga berhasil disahkan.
Seiring penetapan Perdasus itu, tahun 2020 CI bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Papua Barat dan Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Papua Barat menyelesaikan kajian Environmentally Sensitive Areas (ESA) sebagai basis sains atas perlunya penyelamatan bentang alam Papua Barat. Tahun berikutnya dukungan teknis diberikan untuk penyusunan Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi tahun 2021-2040, untuk mendukung implementasi Perdasus 10 tahun 2019 di sektor kehutanan.
Hutan mangrove dan lahan basah yang memiiki cadangan karbon sangat tinggi di Papua (Foto: Alex Punker/CI)
Konservasi Kelautan
Papua bukan hanya hutan dan bentang daratan, karena bentang lautnya yang biru dan dalam juga menyimpan kekayaan hayati tertinggi di dunia, dan setiap titikmenyimpankisahnya tersendiri.
Juli 2005. Ketika baru saja mendarat di Pulau Wayag untuk penyelaman kedua, Ketut Sarjana Putra, Marine Program Director CI Indonesia kala itu, kaget melihat kepala penyu berserakan di pantai, tampaknya dipotong tak sampai sehari sebelumnya. Dia hitung 43 kepala tanpa cangkang atau bagian tubuh lainnya. Pemandangan itu sungguh menyayatnya. Pulau Sayang dan Piyai di sekitar area itu memang sudah diidentifikasi CI Indonesia sebagai pusat peneluran penyu hijau (Chelonia mydas) terbesar di Raja Ampat. Siapa yang melakukan itu semua? Dari penelusuran, tim CI Indonesia mengetahui penduduk Pulau Ayau sering berburu penyu, karena masih ada tradisi memakan daging satwa itu saat pesta hari Natal atau Tahun Baru. Ketut memutuskan mengundang mereka ke sebuah hotel di Sorong, memberi penjelasan tentang daur hidup penyu, manfaat penyu untuk pariwisata dan dampak dari perburuan mereka. Singkat cerita mereka menyatakan memahami penjelasan CI Indonesia dan tak akan berburu penyu lagi.
Beberapa minggu kemudian datang surat dari Ayau ke CI Indonesia yang mengatakan mereka bosan makan ikan terus, lalu meminta babi sebagai pengganti penyu. Ketut yang berasal dari Bali langsung punya ide. Ia meminta 10 orang dari Suku Ayau untuk belajar beternak babi di Bali, sehingga saat kembali bisa mengajarkannya kepada penduduk lain. Ayau dan pulau sekitarnya tidak akan kekurangan makanan yang disukai babi yaitu kelapa, sedangkan kotorannya bisa menjadi pupuk dan biogas. Program yang dikenal sebagai Pig for Turtle itu sukses, karena sejak itu orang Ayau berhenti menangkap penyu bahkan sering kali melepaskan penyu-penyu yang terjerat di jaring ikan mereka.
Cangkang penyu yang berhasil disita oleh masyarakat dan LSM dari para pemburu di kawasan Bentang Alam Kepala Burung (BHS) (Foto: Tom Noviello/CI)
Cerita penyu berlanjut di lain waktu, ketika Ketut baru saja menyelesaikan sarapan dan sedang menikmati kopinya di Sorong, saat sekuriti hotel mengantarkan seorang bapak berbadan besar ke depannya. Dia tak menunggu tamu, karena itu ia menebak siapa tamunya dan apa gerangan keperluannya. Sempat terbersit kekhawatiran jangan-jangan dia keberatan pada salah satu program CI di Raja Ampat dan Ketut bersiap mendengar kemarahannya. Setelah duduk, pria itu mengaku datang dari Pulau Buaya di dekat Sorong. Ia menceritakan bahwa anaknya sehari sebelumnya telah melepaskan empat penyu hasil tangkapannya, dan bagaimana kemarahan dirinya ditanggapi anaknya dengan penjelasan tentang kecintaan dan manfaat satwa laut itu. Anaknya bilang bila besar ia ingin bekerja di konservasi dan penyu itu akan menjadi penyelamat. Ia bisa membawa turis datang untuk melihat penyu mendapatkan uang. Kalau mereka dibunuh terus, ia tak akan bisa melihat penyu lagi dan mengantar turis. “Bapak ini rupanya ingin berterima kasih kepada kami”, kata Ketut mengingat hari itu.
Pertemuan singkat itu membekas, karena Ketut melihat hasil dari apa yang ingin dicapai CI Indonesia pada seluruh pekerjaan konservasinya, yaitu perubahan paradigma dan cara berpikir tentang bagaimana alam bekerja dan manfaatnya untuk orang banyak. Saat itu CI Indonesia memang sedang giat melakukan program pendidikan lingkungan lewat Kapal Kalabia yang berkeliling seantero perairan Papua Barat, menjangkau anak-anak di pesisir yang jauh. Kapal itu dilengkapi dengan 25 modul pendidikan, guru, dan perpustakaan. Badan kapal yang dilukis dengan indah oleh anak-anak di Bali sebelum berlayar ke Sorong itu, adalah salah hasil lelang nama satwa. Sampai dengan akhir tahun 2010, sebelum diserahkan kepada yayasan mandiri, Kalabia telah mengunjungi 103 desa yang berada di Kabupaten Raja Ampat, bahkan sudah mencapai Kabupaten Kaimana. Lebih dari 5000 murid dan guru sekolah SD telah berpartisipasi dalam program pendidikan ini.
Kalabia berkaitan dengan saga lain di suatu masa ketika program Raja Ampat membutuhkan inovasi dalam pendanaan program. Ketut dan Mark Erdmann ingin melelang nama-nama spesies baru satwa laut yang mereka temukan kepada para donatur. Nama para donatur akan disematkan sebagai nama satwa untuk donasinya. Gagasan itu disambut kantor CI Indonesia dan mencetuskan acara gala dinner blue auction di Musée Océanographique de Monaco milik Kerajaan Monaco. Pangeran Albert mengulurkan tangannya membantu perhelatan besar tersebut.
Acara itu sukses mengumpulkan 2,5 juta dolar Amerika dengan melelang delapan spesies ikan. Conservation International tak boleh mengambil sepeserpun dana itu, semuanya masuk ke dalam program konservasi. Bahkan tiket pesawat pulang pergi seluruh stafnya ke Monaco sepenuhnya ditanggung kantor CI. Hasil donasi itu dibelikan kapal patroli yang diberi nama Monaco untuk mengawasi perairan Raja Ampat, juga membeli kapal pendidikan Kalabia dan memberi dana hibah kepada LIPI untuk beasiswa riset taksonomi karang yang menghasilkan tiga orang doktor.
Pembakaran jaring penyu oleh masyarakat Pulau Ayau. Mereka telah berhenti memburu dan makan daging penyu yang langka dan dilindungi dan beralih ke daging babi (Foto: Conservation International)
Raja Ampat punya banyak cerita sukses karena diawali dengan konsep yang tepat ketika merancang program. CI Indonesia mulai “cek ombak” program kelautan Papua di akhir 2004, ketika tanggal 1 Oktober tahun itu CI merekrut Ketut dan Mark. Sebelumnya, Ketut sudah berpengalaman 15 tahun sebagai direktur program kelautan WWF Indonesia, sedangkan Mark adalah ilmuwan kelautan dan penyelam yang telah berlanglang di perairan Indonesia dan sempat menjadi berita utama dunia ketika menemukan ikan purba coelacanth (Latimeria menadoensis), yang tersisa hanya dua spesies di dunia, di pasar ikan Manado, Sulawesi Utara.
Keduanya mengusulkan agar CI untuk sementara meninggalkan program kelautan mereka di perairan Alor dan fokus ke Raja Ampat. Menurut Ketut, program kelautan CI harus mencakup area yang cukup luas yaitu suatu bentang laut (seascape) karena memperhitungkan konektivitas perairan dan memakai pendekatan yurisdiksional. Di Papua Barat, yurisdiksi yang cocok berada pada tingkat provinsi. “Pendekatan yurisdiksi pada tingkat provinsi akan meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan ini di masa depan”, kata Ketut. Ini berarti program Raja Ampat akan menjadi program kelautan CI yang paling besar, meliputi area sekitar 8.000 kilometer persegi.
Tahun 2004 program Raja Ampat CI menjadi bagian dalam Koalisi Bentang Laut Kepala Burung (BLKB) atau Bird’s Head Seascape yang dibentuk bersama dengan BKSDA Papua, Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih (BBTNTC), Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan mitra NGO lainnya. Perairan dalam BLKB meliputi perairan laut di seluruh Papua Barat, mulai dari Kaimana di selatan, Raja Ampat sampai ke Teluk Cendrawasih di bagian timur.
Setelah pembentukan Koalisi BLKB, pemerintah dan masyarakat mendeklarasikan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Papua Barat. CI memberikan dukungan teknis kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan dan pemerintah provinsi maupun kabupaten dalam penetapan KKP. Sampai akhir 2021 luas KKP Papua Barat mencapai 5,2 juta ha yang meliputi 26 kawasan, dan CI Indonesia terlibat langsung dalam hampir semua perancangan KKP tersebut.
Tiga belas tahun sejak CI Indonesia memulai program Raja Ampat, satu tonggak penting lain adalah pembentukan Blue Abadi Fund (BAF), yang dibidani oleh tiga organisasi lingkungan dunia yaitu CI, WWF, dan TNC.
Untuk menyampaikan pembaruan informasi kepada publik, tim CI Indonesia membantu diseminasi informasi BLKB kepada melalui pengembangan situs informasi berbasis internet yaitu www.birdsheadseascape.com, yang sekaligus berfungsi sebagai wadah pengelolaan pengetahuan (knowledge management) mengenai konservasi laut terutama di Papua Barat.
Program di Raja Ampat memang melesat cepat. Pernah digawangi oleh hampir 100 staf, sebagian di antara mereka dialihkan menjadi pegawai UPTD KKPD Raja Ampat yang akan mengelola KKP di wilayah tersebut. Selain peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang akan mengelola UPTD KKPD Raja Ampat, tim CI juga membantu membangun sistem pembayaran tarif masuk (entrance fee) Raja Ampat yang dapat membantu sebagian pendanaan badan tersebut.
Menurut Ketut, CI tidak bisa selamanya melakukan mentoring para staf lokal sehingga harus ada linimasa yang jelas kapan mengalihkan seluruh program ini kepada mereka melalui pembentukan UPTD KKPD Raja Ampat. “Kami merancang program mentoring 7 tahun, dan setelah itu harus dialihkan kepada staf lokal”, katanya. Ia juga mengungkapkan bahwa Bupati Raja Ampat menyatakan sangat gembira dengan pendirian UPTD KKPD Raja Ampat, karena CI dan pemerintah daerah sudah menyelesaikan satu fase yang dulu rasanya mustahil dilakukan. Tentu saja CI tidak langsung lepas tangan 100 persen, karena masih mengulurkan tangan bila benar-benar mendesak seperti bantuan patroli laut saat masa Pandemi Covid-19 tahun 2020-2021 ketika jumlah wisatawan menurun drastis.
Di sisi timur BLKB, CI bekerja sama dengan KLHK melalui BB TNTC sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) UPT Ditjen KSDAE KLHK, dalam program konservasi hiu paus dan pari manta dengan pemantauan dan penandaan satelit (satellite tagging), ada pula program penyadartahuan tentang konservasi kepada masyarakat di sekitar taman nasional. Dua hiu paus yang dipantau itu diberi nama Susi dan Siti dari nama mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar, untuk menghormati upaya mereka dalam konservasi alam.
Pengambilan data visual pari manta oleh peneliti CI Indonesia. Data saintifik sangat penting dalam pengelolaan biodiversity dan kawasan konservasi (Foto: Shawn Heinrichs)
Sekarang, seringkali orang dan media massa mengutip beberapa data superlatif yang disampaikan oleh CI tentang program Papua Barat, misalnya keanekaragaman hayati laut Raja Ampat adalah yang tertinggi di dunia, Raja Ampat memiliki lebih dari 550 spesies karang keras atau 75% jenis karang keras di dunia dengan lebih dari 1600 spesies ikan karang, atau informasi Raja Ampat yang memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi dalam segitiga terumbu karang dunia (coral triangle).
Informasi lainnya, di area BLKB ini tim CI Indonesia juga menemukan banyak spesies baru, 119 spesies ikan dan 1 spesies karang. Menurut Mark Erdmann, spesies baru akan sangat mungkin terus bertambah di masa depan.
Tanah Papua adalah surga. Bila setiap jengkalnya bisa bercerita maka Papua adalah surga saga, firdaus dari kisah dan cerita yang tak berhenti mengalir. Dan CI pernah ada di sini, ikut menerjemahkan isi surga dan mengisahkannya pada dunia***