GRESIK, BERITALINGKUNGAN.COM — Peneliti Ecoton menemukan mikroplastik di hampir semua sungai di Indonesia. Mikroplastik di air sungai akan mengancam kesehatan manusia, karena sebagian besar bahan baku air minum penduduk berasal dari air permukaan.
Hal itu diungkapkan Rafika Aprilianti, Peneliti Ecoton usai menguji kandungan mikroplastik dari 68 sungai strategis nasional. Menguji kandungan mikroplastik merupakan bagian dari kegiatan Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) 2022 yang digagas Ecoton.
“Mikroplastik ditemukan dihampir semua sungai di Indonesia, Hanya di Sumber Air Way Sekampung dan Hulu Air Bengkulu di Desa Rindu Hati kami tidak menemukan mikroplastik” ungkap Rafika.
Peneliti Ecoton itu menjelaskan bahwa mikroplastik dalam air sungai akan mengancam kesehatan manusia karena 84% bahan baku air minum penduduk Indonesia berasal dari air permukaan.
“Dibutuhkan upaya pengendalian sumber mikroplastik yang dibuang ke sungai oleh industri terutama pabrik kertas dan tekstil. Selama ini, mikroplastik berasal dari sampah plastik dan limbah,” ujarnya.
Menjelang akhir tahun 2022, permasalahan lingkungan hidup, khususnya sampah plastik masih menjadi momok yang menakutkan. Terbukti dengan ditemukannya partikel mikroplastik di sejumlah tempat yang merupakan ruang hidup manusia. Mikroplastik telah ditemukan pada perairan, tubuh ikan, udara, bahkan telah teridentifikasi di dalam darah, asi dan paru-paru manusia.
Temuan itu, menurut Rafika tidak lantas menghentikan kegiatan produksi plastik yang sampai saat ini masih tetap berlangsung. Bahkan kini muncul terminologi baru, yakni WTE (Waste to Energy) atau mengubah sampah plastik jadi energi. Cilakanya, kegiatan tersebut justru berpotensi melepaskan mikroplastik beserta bahan racun plastik ke lingkungan.
Temuan Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) 2022
Air sungai, menurut Rafika, memiliki peranan vital dalam kehidupan makhluk hidup, termasuk sebagai habitat berbagai macam organisme. Keadaan sungai di Indonesia setiap tahunnya mengalami degradasi seiring ditemukannya sampah plastik di bantaran dan badan air. Hal ini yang menjadi sumber dari adanya kontaminasi mikroplastik, yaitu partikel plastik yang berukuran kurang dari 5 mm.
Hal itu terbukti dari dari temuan Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) 2022. Data yang dihimpun dari 68 sungai strategis nasional, menunjukkan 5 Provinsi yang paling tinggi terhadap kontaminasi partikel mikroplastik, yaitu Provinsi Jawa Timur ditemukan 6,36 partikel/liter, Provinsi Sumatera Utara ditemukan 5,20 partikel/liter, Provinsi Sumatera Barat ditemukan 5,08 partikel/liter, Provinsi Bangka Belitung 4,97 partikel/liter, Provinsi Sulawesi Tengah 4,17 partikel/liter.

Data uji mikroplastik di sungai – sungai yang tersebar di 24 provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa ditemukan kandungan fiber sebanyak 49.20 %. Sumbernya dari degradasi kain sintetik akibat kegiatan rumah tangga pencucian kain, laundry dan juga limbah industri tekstil. Fiber juga disebabkan oleh sampah kain yang tercecer di lingkungan yang terdegradasi karena proses alam.
Berikutnya, filamen sebanyak 25.60 %, berasal dari degradasi sampah plastik sekali pakai (kresek, botol plastik, kemasan plastik Single layer SL dan jaring nelayan).
“Kemudian, fragmen 18.60 %, berasal dari deradasi sampah plastik sekali pakai dari jenis (kemasan sachet multilayer ML, tutup botol, botol shampo dan sabun),” ujar Rafika.

Solusi Mikroplastik
Semakin bertambahnya timbulan sampah menandakan bahwa banyak sampah plastik yang bocor ke lingkungan. Fakta tentang TPA yang overload di setiap daerah dan adanya kontaminasi mikroplastik di 68 sungai Indonesia yang tersebar di 24 provinsi di 9 pulau di Indonesia menjadi temuan yang harus segera ditindaklanjuti.
Menurut Rafika, sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah segera membuat kebijakan dan strategi untuk menyelesaikan masalah persampahan dan tata kelola sampah di indonesia agar sampah plastik tidak bocor ke lingkungan, sehingga menjadi mikroplastik
Untuk itu, Ecoton menuntut pemerintah mengeluarkan sejumlah rekomendasi, diantaranya membuat baku mutu atau nilai ambang batas mikroplastik di perairan sungai Indonesia, sebagai implementasi lampiran 6 PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang PPLH yang menyebutkan bahwa baku mutu sungai harus “Nihil Sampah”.
“Selain itu, pemulihan lingkungan dan pembersihan sampah plastik yang tercecer ke lingkungan, yang menjadi biang mikroplastik harus dilakukan,” tegas Rafika.
Hal lainnya, memperluas regulasi pembatasan dan pengurangan Plastik Sekali Pakai di Indonesia. “Termasuk secara tegas melarang penggunaan tas kresek, sachet, styrofoam, botol air minum dalam kemasan/AMDK, popok dan sedotan di pusat perbelanjaan, pasar, supermarket, retail yang tersebar di setiap daerah,” katanya.
Termasuk menerapkan konsep Zero Waste City dalam tata kelola sampah di setiap daerah dengan mendukung pemilahan sampah dari sumber agar beban sampah di TPA berkurang dan sampah plastik tidak bocor ke lingkungan.
Serta tidak lupa untuk menaikkan anggaran program tata kelola sampah disetiap daerah, menyediakan dan memperbanyak fasilitas pembuangan sampah drop point (sachet, popok, organik dan anorganik) di titik – titik timbulan sampah yang tersebar di lingkungan. “Dan memperbanyak TPS 3 R di setiap daerah,” ujar Rafika.
Pemerintah juga harus mendorong produsen penghasil sampah plastik khususnya sachet untuk segara merancang dokumen peta jalan pengurangan sampah dan melakukan kiat – kiat pengurangan produk kemasan yang berpotensi mencemari lingkungan.
“Pedomannya regulasinya Permen LHK 75 tahun 2019 tentang peta jalan pengurangan sampah,” katanya.
Dengan demikian, produsen pengasil sampah plastik harus melakukan upaya EPR dengan melakukan pembersihan sampah produknya yang tercecr ke lingkungan dan memprioritaskan CSR lingkungan untuk penanganan sampah plastik.
Terakhir kepada pemerintah, Rafika kembali mengingatkan tentang pentingnya inovasi dan teknologi infrastruktur pengelolaan sampah yang mutakhir dan non emisi dalam penanganan sampah plastik di lingkungan dan menolak solusi RDF (Refuse – derived fuel).
Temuan dan literatur membuktikan bahwa bahan bakar yang berasal dari limbah atau sampah melalui proses dihomogenisasi menjadi (pelet, briket dan cacahan) sangat berbahaya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
“Karena pembakaran RDF menghasilkan senyawa beracun kimia dioksin, logam berat, polutan organik dan partikel halus ke udara yang menyebabkan masalah kesehatan seperti kanker, masalah reproduksi, dan gangguan hormon,” ungkapnya.
Selain itu, sampah bukanlah sumber energi terbarukan, mahal dan tidak efisien. “Karena pembakaran RDF menghasilkan energi yang sedikit dengan biaya produksi yang mahal,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)