Oleh Elviza Diana
Diinisiasi oleh pelajar sekolah, para perempuan Suku Anak Dalam belajar mengolah sampah menjadi produk kerajinan tangan. Meski belum mendatangkan pemasukan ekonomi, keterampilan tersebut ternyata membuat mereka perlahan mengubah citra Suku Anak Dalam sebagai komunitas terbelakang dan memperbaiki hubungan sosial dengan desa tetangga.
Bungo, JAMBI. Meski baru duduk di bangku sekolah menengah atas, Juliani menginspirasi para perempuan di komunitasnya, Suku Anak Dalam Rombong Hari, untuk memanfaatkan sampah plastik menjadi barang produktif.
Tidak hanya itu, perempuan 17 tahun tersebut secara tidak langsung memperbaiki hubungan sosial dengan masyarakat luar serta menghilangkan kesan primitif dan terbelakang yang kerap dilekatkan kepada Suku Anak Dalam.
“Awalnya melihat banyak masyarakat Desa Pasir Putih yang mencari gelas-gelas plastik bekas minuman. Saya penasaran karena mereka mencari [sampah plastik] sampai ke pemukiman kami. Mereka mau mengajarkan saya membuat berbagai kerajinan dari sampah plastik itu,” kata Juliani, yang duduk di kelas 2 SMKN 1 Pelepat, Kabupaten Bungo, Jambi, September lalu.
Ia pun belajar dari masyarakat Desa Pasir Putih yang untuk membuat sampah plastik menjadi keranjang buah.
Setelah berhasil dalam satu bulan, Juliani pun mulai mengajarkannya kepada keluarga sendiri, yaitu ibu, nenek, tante dan saudara sepupunya karena tidak mudah mengajak perempuan di komunitasnya yang cenderung minder dan merasa malu.
“Saya terus saja membuat kerajinan di depan rumah. Awalnya mereka hanya melihat-lihat, kemudian penasaran dan juga turut mencoba,” ucapnya menambahkan bahwa ia sengaja mengerjakannya di depan rumahnya untuk memancing keingintahuan perempuan Rombong Hari.
Lebih lanjut, ia mengatakan potensi sampah plastik bisa dimanfaatkan ketimbang habis dibakar.
“Banyak yang mengkonsumsi minuman gelas plastik, sampahnya bertebaran di sini. Kenapa kita tidak membuatnya menjadi bermanfaat,” ujarnya.
Sejak April, Juliani akhirnya bisa mengumpulkan sekitar 30 perempuan Rombong Hari untuk
membuat kerajinan berbahan sampah, seperti keranjang buah dan wadah minuman gelas.
Mereka bekerja dalam kelompok kecil beranggotakan dua hingga tiga orang per kelompok yang dibagi tugasnya mulai dari memotong plastik, merangkai, hingga akhir pengerjaan.
Hingga kini, mereka baru memproduksi sekitar 34 kerajinan, baik itu keranjang buah maupun wadah minuman gelas. Namun, karena keterbatasan modal, mereka tidak lagi memproduksi kerajinan tersebut.
“Kendalanya, kami kesulitan membeli bahan lainnya. Sehingga produksinya terpaksa dihentikan. Modalnya bisa sampai lima belas ribuan untuk satu kerajinan,” kata Juliani menjelaskan bahwa mereka harus membeli lem dan pita sebagai ornamen.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa barang kerajinan yang dibuat hanya terbatas untuk cendera mata kepada masyarakat luar yang berkunjung ke pemukiman mereka.
Mengisi Waktu Luang dan Memperbaiki Hubungan Sosial
Suku Anak Dalam Rombong Hari mendapatkan bantuan perumahan dari Kementerian Sosial yang berada di lahan seluas 6,8 hektar berlokasi di Desa Pasir Putih, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, sejak 2013.
Perumahan ini diberikan oleh pemerintah atas keinginan mereka yang ingin melepaskan gaya hidup nomaden, ciri khas Suku Anak Dalam, dan mulai hidup menetap.
Hingga tahun 2018, terdapat 200 orang Suku Anak Dalam Rombong Hari mendiami 60 rumah di areal tersebut.
Berdasarkan Data Komunitas Konservasi Indonesia WARSI, Suku Anak Dalam, yang berjumlah total 5.235 jiwa, mendiami areal Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, tersebar di Kabupaten Sarolangun, Merangin, Batanghari, Tebo dan Bungo yang kini hanya tersisa 60.400 dari 130.000 hektar.
Saat laki-laki berburu dan mengumpulkan hasil hutan, para perempuan Suku Anak Dalam Rombong Hari, yang berjumlah 40 persen dari total populasi, lebih banyak menunggu di rumah sambil berkebun.
Bongkok, salah satu perempuan Suku Anak Dalam Rombong Hari, mengatakan bahwa ia mengikuti kegiatan mengolah sampah asuhan Juliani sebagai pengisi waktu luang.
Dia merasa bangga dengan kemampuan dimilikinya sekarang.
“Perempuan Suku Anak Dalam memang sudah memiliki kemampuan dasar menganyam yang diturunkan dari nenek moyang. Tapi menganyam dengan menggunakan plastik berbeda dan ini pertama kali. Ini bagus sekali untuk mengisi waktu luang,” ujar Bongok yang sudah mengikuti kegiatan tersebut selama tiga bulan.
Selain itu, ia menyatakan bahwa dengan kegiatan mengolah sampah, interaksi mereka dengan masyarakat desa sekitar, yaitu Desa Pasir Putih, menjadi lebih baik.
“Kami sering datang ke Desa Pasir Putih untuk mencari tahu informasi terkait kesehatan dan pendidikan. Banyak juga masyarakat desa yang berkunjung ke sini, mereka kadang hanya sekedar main saja atau menanyakan hasil hutan,” kata Bongkok. “Selama ini, kami merasa ada jarak dengan orang Desa Pasir Putih. Kami berpikir tidak memiliki kemampuan sama dengan mereka. Tapi, kerajinan ini membuat kami kembali merasa dihargai dan setara.”
Pandangan umum yang muncul tentang Suku Anak Dalam, terutama dari warga di luar komunitas, dipenuhi dengan asumsi negatif, seperti tidak berpendidikan, tidak bisa menjaga kebersihan, orang pedalaman, hingga primitive yang membuat mereka menarik diri dari hubungan sosial.
Indah Setiawati (45), salah satu warga Desa Pasir Putih, Kecamatan Pelepat, mengatakan saat ini masyarakat Desa Pasir Putih sudah ada yang mulai menerima, ada juga yang belum.
“Ada yang sudah tidak takut dan berinteraksi dengan Suku Anak Dalam, ada juga yang belum. Mereka bau, itu membuat ada yang belum mau berinteraksi dengan Suku Anak Dalam,” kata Indah.
Dewi Yunita Widiarti, Manajer Program Cendekia, Pundi Sumatera, lembaga nirlaba yang mendampingi Suku Anak Dalam di tiga Kabupaten Sarolangun, Merangin dan Bungo selama enam tahun terakhir, mengatakan potensi membuat kerajinan berbahan sampah ini perlu dikembangkan bagi komunitas Suku Anak Dalam.
“Kita akan mengembangkan potensi ini untuk pemberdayaan perempuan di Komunitas SAD untuk tahun depan. Ini seharusnya bisa menjadi salah satu penghasilan bagi ekonomi keluarga,” jelas Dewi.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa menghapuskan stigma negatif dan penerimaan dari masyarakat luar terhadap komunitas Suku Anak Dalam menjadi poin penting dalam pengembangan kehidupan di komunitas.
“Interaksi ini penting agar mempercepat penerimaan suku anak dalam oleh masyarakat luar, pintu masuknya bisa macam-macam melalui pendidikan, kesehatan dan juga ini salah satunya pemberdayaan perempuan melalui program pengolahan sampah,” jelas Dewi.
Mata Pencaharian Suku Anak Dalam Kian Tersingkir
Hutan sebagai tempat hidup Suku Anak Dalam yang mendiami sepanjang lintas Sumatra sudah hilang berganti dengan hutan tanaman industri, perkebunan skala besar, pemukiman, industri, dan pertambangan.
Berdasarkan analisis citra satelit yang dilakukan Komunitas Konservasi Indonesia WARSI tahun 2017, tutupan hutan tinggal 930 ribu hektar atau hanya 18 persen dari luas daratan Jambi.
Konsekuensinya, komunitas Suku Anak Dalam harus bisa mencari alternatif mata pencaharian, selain dari mengandalkan hasil hutan.
Mak Nur, tokoh adat perempuan di Rombong Hari, mengatakan bahwa mereka kian sulit untuk berburu.
”Kadang seminggu mandah [Red : istilah untuk menginap selama perburuan] ndak [Red : tidak] dapat juga hewan buruan. Babi pun sekarang mencarinya harus jauh, sampai ke Kabupaten Tebo,” keluh Mak Nur, menceritakan pengalaman suami dan anak-anaknya yang berburu.
Hari, kepala Suku Anak Dalam Rombong Hari, mengatakan mereka memulai mengusahakan
alternatif sumber penghidupan, seperti beternak dan bertani.
“Ada sebagian yang sudah belajar beternak kambing, memelihara ikan, dan ada juga yang sudah punya kebun karet. Kami berupaya bertahan hidup dengan kegiatan selain berburu,” jelas Hari.
Bongkok, salah satu perempuan Suku Anak Dalam Rombong Hari, mengatakan mereka sudah mulai menanam ubi dan sayur-sayuran di sekitar pemukiman.
”Kami juga sudah belajar bertanam sayur. Kalau umbi-umbian sudah sejak dulu kami bisa. Sekarang, anak-anak bisa bersekolah dan mereka harus pintar untuk mempertahankan komunitas SAD terus ada dan sama,” ujar Bongkok yang sedang hamil anak keduanya.
Selain berburu dan mengumpulkan hasil hutan, komunitas Suku Anak Dalam juga berkebun karet meski belum dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Rata-rata setiap kepala keluarga mendapatkan kebun karet seluas setengah hingga satu hektar yang bisa menghasilkan setidaknya 20 kilogram per minggu atau dijual tiga ribu rupiah per kilogram.
Sutono, Direktur Pundi Sumatra menyebutkan saat ini sumber penghidupan Suku Anak Dalam dari kegiatan berburu sudah tidak mencukupi.
“Sehingga, sudah kebutuhan bagi Suku Anak Dalam untuk mendapat sumber penghidupan dari kegiatan produksi. Untuk masuk sektor produksi barang atau jasa, butuh waktu lama sampai komunitas Suku Anak Dalam menguasai skill dan knowledge,” jelas Sutono.
“Yang paling memungkinkan saat ini adalah sektor budidaya pertanian, termasuk di dalamnya perkebunan, peternakan dan perikanan. Sektor perkebunan butuh luasan lahan tertentu. Tapi, pada rombong-rombong yang tidak punya lahan maka pilihannya adalah ternak, perikanan, dan bertahan di lahan pekarangan.”
Ada sebelas kelompok Suku Anak Dalam, tersebar di Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo dan Dharmasraya, yang didampingi oleh Pundi Sumatra melalui kegiatan pertanian dan peternakan.
Kelompok-kelompok tersebut yang menentukan sendiri jenis usaha yang cocok mereka tekuni.
”Dulu rombong diajak merencanakan jenis usahanya. Ada yang ingin beternak babi tapi kemudian diganti kambing karena mereka segan dengan orang desa yang dominan Muslim,” kata Sutono. EKUATORIAL.
–>