Kondisi ini persis seperti tahun 2011, dimana subsidi BBM dalam APBN-P sebesar Rp. 129,7 trilyun. Realisasinya kemudian membengkak mencapai Rp. 165,2 trilyun. Subdisi BBM sebesar Rp. 137,4 trilyun sangatlah besar. Angka tersebut jauh lebih besar dari pada total kerusakan dan kerugian bencana besar yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2004 hingga 2011. Total dampak 10 bencana besar di Indonesia hanya sekitar Rp. 106,7 trilyun.
“Artinya dampak bencana yang meluluhlantakkan kehidupan masyarakat di daerah bencana tersebut hanya 78 persen dari subsidi BBM 2012” ujar Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB.
Kerusakan dan kerugian dari 10 bencana besar tersebut adalah: gempabumi dan tsunami Aceh dan Nias (2004) Rp. 41,4 trilyun, gempabumi Yogyakarta dan Jawa Tengah (2006) Rp. 29,15 trilyun, gempabumi Sumatera Barat (2007) Rp. 2,45 trilyun, banjir Jakarta (2007) Rp. 5,18 trilyun, gempabumi Bengkulu (2007) Rp. 1,88 trilyun, gempabumi Sumatera Barat (2009) Rp. 20,87 trilyun, tsunami Mentawai (2010) Rp. 348 milyar, banjir bandang Wasior (2010) Rp. 281 milyar, erupsi Merapi (2010) Rp. 3,56 trilyun, dan lahar dingin Merapi (2011) sekitar Rp. 1,6 trilyun.
Subsidi BBM tersebut jika dibandingkan dengan alokasi dana cadangan penanggulangan bencana yang hanya sekitar Rp. 4,5 trilyun per tahun. Besarnya tak lebih dari 3,3 persennya saja. Bahkan jika diasumsikan dana cadangan penanggulangan bencana flat, atau tetap saja Rp. 4,5 Triliun per tahunnya, maka Rp. 137,4 trilyun tersebut setara dengan penggunaan selama 30 tahun.
Padahal dana cadangan penanggulangan bencana tersebut digunakan untuk mengatasi semua bencana besar maupun kecil yang terjadi di seluruh Indonesia. “Terlalu kecil. Tidak aneh jika akhirnya korban bencana memperoleh bantuan pembangunan rumah menunggu 3 tahun setelah bencana”, papar Sutopo.
Perbandingan Infrastruktur
Sebagai gambaran lain, subsidi BBM dengan nilai Rp. 137,4 trilyun itu, jika digunakan untuk pembangunan infrastruktur akan banyak manfaatnya. Contohnya, pembangunan Jembatan Selat Sunda dengan panjang 31 km dan lebar hanya membutuhkan Rp. 117 trilyun. Jembatan ini akan menjadi landmark Indonesia dan dimanfaatkan orang banyak.
Lalu ada, pembangunan kereta api cepat Jakarta-Surabaya sepanjang 685 km membutuhkan biaya Rp. 180 trilyun. Kebutuhan JORR Tahap II sepanjang 122,6 km hanya sebesar Rp. 5 trilyun. Kemudian, pembangunan MRT Jakarta sepanjang 14 km membutuhkan dana Rp. 8,5 trilyun untuk mengurangi kemacetan.
Atau, pembangunan Jembatan Suramadu yang hanya menghabiskan dana Rp. 4,5 trilyun, sehingga dapat menjangkau antar pulau. Artinya subsidi BBM tersebut sangatlah besar, jika dibandingkan dengan biaya pembangunan berskala besar.
“perbandingan ini hanya untuk menunjukkan bahwa dana tersebut sangat besar. Tanpa ada kepentingan politik apa pun”, tandasnya.* (Jekson Simanjuntak)