
Agustinus Surya Indrawan alias Aday, pentolan King of Borneo.
KAPUAS HULU, BERITALINGKUNGAN.COM– Di tengah derasnya arus modernisasi, masih ada suara-suara yang menyerukan perlawanan untuk menjaga harmoni dengan alam. Salah satunya adalah “Suar,” lagu yang menggema dari belantara Kalimantan, diciptakan oleh King of Borneo bersama rapper Tuan Tigabelas.
Lebih dari sekadar lagu, “Suar” adalah manifestasi dari semangat masyarakat adat Dayak dalam melindungi tanah leluhur mereka.
Melodi dari Hutan yang Terancam
“Tanah, Ibu Kami Hutan, Bapak Kami Sungai, Darah Kami.”
Kalimat yang berulang kali dilantunkan Apay Janggut, Kepala Rumah Panjang Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, menjadi sumber inspirasi bagi Agustinus Surya Indrawan alias Aday, pentolan King of Borneo.
Sejak 1979, Apay Janggut bersama komunitas adat Sungai Utik berjuang menghadapi ekspansi perusahaan yang ingin mengeksploitasi hutan adat mereka. Keberanian dan kecintaan mereka terhadap alam inilah yang kemudian dituangkan dalam lirik “Suar.”
Aday, yang lahir di Putussibau, Kapuas Hulu, semula tidak begitu mengenal alam dan budaya di provinsinya sendiri. Namun, saat merantau ke Jakarta dan melihat liputan tentang Kalimantan di media massa, muncul rasa bersalah dalam dirinya.
Kesempatan untuk memahami lebih dalam datang saat seorang kawannya yang meneliti orangutan dan kehidupan sosial masyarakat setempat meminta bantuannya. Dari situlah ia mulai memahami kearifan lokal masyarakat adat dalam menjaga ekosistem yang mereka diami.
Seni Sebagai Senjata Perjuangan
“Generasi sekarang butuh kemasan pop culture untuk menerima informasi. Musik adalah media yang efisien,” ujar Tuan Tigabelas, yang turut berkolaborasi dalam “Suar.”
Lagu ini hadir sebagai bentuk perlawanan yang dikemas dalam harmoni pop/rock dengan sentuhan rap yang kuat. Liriknya memancarkan semangat untuk mempertahankan hak masyarakat adat dan kelestarian hutan:
Oleh leluhur, ku bersyukur, Diwariskan tanah luhur, Hijau makmur, tumbuh subur, Indahnya tidak terukur.
Lalu kau datang tuk gusur, Hancurkan semua terkubur, Akan ku jaga tidak akan mundur, Walau raga jatuh gugur.
Tak hanya sekadar lirik perlawanan, lagu ini juga berakar pada nilai-nilai kearifan lokal yang mencerminkan kelembutan dan rasa hormat terhadap alam. Salah satu contohnya adalah cara masyarakat adat Dayak memanen padi. Mereka mencabut padi satu per satu dengan pelan, bukan memotongnya, sebagai bentuk penghormatan kepada tanaman.
Perjalanan Spiritual yang Menginspirasi
Proses produksi “Suar” tidaklah mudah. Minimnya fasilitas membuat Aday harus menempuh perjalanan dua jam naik motor untuk merekam lagu di dapur rumah temannya. Namun, tantangan ini tidak menyurutkan semangat mereka.
Proyek “Suar” akhirnya menemukan jalannya ketika Aday bertemu dengan tim Madani Berkelanjutan. Percakapan santai di sebuah warung kopi di Putussibau tentang peran anak muda dan pengelolaan sumber daya alam di Kapuas Hulu berkembang menjadi kesepakatan untuk meneruskan proyek ini. Selama enam bulan, mereka melakukan diskusi daring dan memoles “Suar” hingga siap didengar dunia.
Trias Fetra, Kepala Program Madani Berkelanjutan, menegaskan bahwa kampanye berbasis seni dan budaya menjadi strategi penting untuk memperkuat advokasi kebijakan dan penelitian yang telah mereka lakukan. “Sebuah laporan bisa dibaca oleh kalangan tertentu, tetapi sebuah lagu bisa didengar oleh siapa saja, kapan saja,” ujar Trias melalui keterangan persnya yang diterima Beritalingkungan.com (3/3/2025).
Bagi Tuan Tigabelas, perjalanan ke Kapuas Hulu bukan sekadar proses kreatif, melainkan perjalanan spiritual. Di tengah gelombang konsumerisme, ia merasa bertanggung jawab untuk menyampaikan pesan yang berarti bagi generasi berikutnya, termasuk anaknya sendiri.
Di penghujung lagu, Aday kembali mengutip pesan mendalam dari seorang kepala desa di Kapuas Hulu:
“Lebih baik menjaga mata air daripada meneteskan air mata.”
Pesan ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa menjaga alam bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan. “Suar” bukan hanya sebuah lagu, tetapi juga seruan agar lebih banyak orang tergerak untuk mengambil peran dalam melindungi lingkungan sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Kini, “Suar” sudah bisa didengar melalui YouTube dan platform musik lainnya. Dengarkan, resapi, dan biarkan suara perlawanan ini menginspirasi aksi nyata untuk menjaga Bumi kita (Marwan Aziz).