KLATEN- BERITALINGKUNGAN.COM — Waluyo yang mendampingi tiga kelompok tani dengan anggota mencapai 50 orang di Desa Kebon, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten membenarkan jika dirinya telah menerapkan standar Sustainable Rice Platform (SRP) atau budidaya beras berkelanjutan.
Standar SRP menurut Waluyo memberikan peningkatan hasil yang signifikan. Peningkatan terjadi ketika petani menggunakan sistem tanam Jajar Legowo 2:1 atau mengatur jarak tanam yang seolah-olah padi berada di pinggir (tanaman pinggir).
Standar SRP ditengarai memberikan sejumlah keuntungan, mulai dari aspek perawatan tanaman, pemupukan hingga efisiensi waktu dan biaya. Menurut Waluyo, dengan standar SRP, perawatan tanaman menjadi lebih mudah, karena jarak antar-tanaman tidak terlalu rapat.
Dari sisi produktivitas juga terjadi peningkatan jika dibandingkan dengan penanaman padi konvensional yang masih menggunakan sistem Ubin 20Cm x 20Cm atau Ubin 25Cm x 25Cm.
“Terbukti ada peningkatan dan secara umum lebih banyak keuntungannya dari sistem SRP,” tegasnya. Kendati demikian, tidak semua petani di Desa Kebon menerapkan standar SRP. Mereka biasanya menunggu sembari memperhatikan dengan seksama sebelum mencoba.
“Jika dihitung-hitung, sebanyak 25% petani di Desa Kebon akhirnya tertarik menggunakan sistem SRP, yang kebanyakan adalah anggota saya,” ungkap Waluyo.
Secara umum, peningkatan produksi gabah yang menerapkan standar SRP mencapai 3 – 4 karung dalam setiap panen. Jika dihitung tonasenya, terjadi peningkatannya sebanyak 2-3 kwintal. “Itu perbedaannya,” ujar Nana.
Sebagai perbandingan, Waluyo menjelaskan jika di lahan seluas 2430 m² miliknya, mampu menghasilkan 1.8 ton gabah. Sementara di lahan seluas 3500 m² milik tetangganya, hanya menghasilkan gabah sebanyak 2 ton.
“Terjadi peningkatan dari perbedaan luasan lahan sebesar 600 ton. Hasilnya pun masih menang yang 2430 m² tadi,” terangnya.
Jika ditotal, lahan padi yang luasnya 3.5 Ha dengan sistem tanam Ubin 20Cm x 20Cm hanya menghasilkan gabah sebanyak 30 karung. “Sementara di saya dengan luasan 2430 m² mendapatkan 33 karung,” papar Waluyo.
Saat dihitung, terdapat perbedaan 3 karung yang berasal dari luas lahan. “Sementara ditonase hampir 5 kwintal bedanya,” tegasnya.
Meskipun standar SRP memberikan banyak keunggulan, ternyata pasar belum bisa membedakannya. Beras dengan standar SRP dihargai sama dengan beras yang dihasilkan dari sistem konvensional.
“Sayangnya, pasar beras masih ikut umum, sehingga konsumen tidak bisa membedakan beras sistem SRP maupun bukan,” ujarnya.
Kendati demikian, pelanggan Waluyo mampu mengidentifikasi beras yang dihasilkan dengan standar SRP dan mana yang tidak. Menurut mereka, beras standar SRP memiliki rasa dan aroma yang khas.
“Ketika kehabisan stok untuk dijual, saya ambil dari tempat lain. Meskipun berasal dari varietas yang sama, ternyata kualitasnya beda. Mereka akan tanya, ‘Emang ini diambil dari mana’,” ujar Waluyo menirukan.
Waluyo akhirnya menyimpulkan bahwa perlakuan semi organik yang diterapkan di sistem SRP menyebabkan terjadinya perbedaan rasa.
Khusus terkait sistem tanam Jajar Legowo 2:1, Waluyo tidak menampik ada kelemahan, yakni cara bertanam yang unik dan cenderung rumit. “Cara tanamnya terkadang masih ribet, karena dianggap sulit,” katanya.
Untuk mengatasi hal itu, cara yang dipilih adalah melakukan pendampingan yang simultan dan terus menerus. Para petani diajarkan cara menanam yang efisien dalam hal penggunaan bibit. “Ada tim yang secara khusus mengajari tentang cara tanam Jajar Legowo 2:1,” ungkapnya.
Menurut Waluyo, jarak tanam yang longgar menyuguhkan sejumlah keuntungan. Diantaranya terkait penanganan dan pengendalian hama dan penyakit. Jarak tanam yang longgar membuat padi lebih tahan dari serangan hama dan penyakit.
Jika dibandingkan dengan sistem tanam Ubin 21Cm x 21Cm, penanganannya cenderung sulit saat terserang hama, karena jarak antar tanaman yang dekat.
“Rata-rata yang menggunakan jarak tanam 2:1 memiliki ketahanan terhadap serangan hama karena mendapatkan sinar matahari yang merata,” kata Waluyo.
Wanita Tani
Bagi Marsiti yang merupakan anggota Kelompok Wanita Tani Ngudi Hasil, penerapan standar SRP telah memberikan sejumlah keuntungan. Keuntungan tersebut tidak hanya dalam hal keterampilan dan pengalaman bertani, namun juga pengetahuan baru.
“Menggunakan sistem SRP kita jadi tahu dan lebih paham tentang penanaman padi yang baik. Selain itu, pengolahan lahan dan pemilihan bibit juga menjadi tambahan pengetahuan baru,” ungkapnya.
Menurut Marsiti, dirinya tidak begitu khawatir akan gagal panen, karena ada pendampingan dari koperasi, sejak dari persemaian hingga panen. Sementara bagi petani yang belum bergabung dengan koperasi ataupun kelompok tani, kebanyakan tidak berani untuk mencoba. Mereka cenderung meneruskan sistem pertanian konvensional yang dilakukan secara turun temurun.
“Biasanya setelah mengetahui manfaatnya, memang dibutuhkan proses untuk sosialisasi,” ujar perempuan asal Dukuh Pundung, Desa Kebon, Kecamatan Bayat itu.
Standar SRP yang menurut Marsiti mengarah ke pertanian organik telah mengurangi penggunaan bahan kimia. Para petani menyadari bahwa penggunaan bahan kimia berlebih mengakibatkan dampak buruk terhadap tanaman dan lingkungan.
“Kalo dulu kan, ilmu Titen, tapi kalo sekarang sudah tahu. Oh, ini harus begini. Jika dulu mengetahui tanaman berubah warna merah maka disemprot bahan kimia,” terang Marsiti.
Dengan demikian, sistem SRP diakui lebih ramah lingkungan, karena menghasilkan residu yang lebih sedikit ke lingkungan. “Yang jelas ramah lingkungan,” tegasnya.
Bahkan, ketika di sawah ditemukan keong dalam jumlah berlebih, dapat dijadikan sebagai bahan Mikro Organisma Lokal (MOL). “Keong tidak dimusnahkan, tetapi digunakan menjadi MOL, untuk nyemprot lagi. Jadi kita itu, dari sawah untuk sawah,” katanya.
Marsiti juga meyakini bahwa sistem SRP sangat baik untuk kesehatan karena menerapkan sistem semi organik. Itu sebabnya, varietas padi lokal unggul seperti Rojolele Srinuk dianggap sebagai makanan sehat, karena sudah semi organik.
Kendati demikian, Marsiti mengakui bahwa mengarahkan petani untuk berpindah dari pertanian konvensional ke pertanian organik tidaklah mudah. Dibutuhkan proses dan pendampingan terus menerus.
“Jadi untuk para petani jangan pesimis, optimis mari kita semangat untuk meningkatkan ekonomi dan dalam 3 tahun ini, kita sudah tidak mengimpor beras. Itu membuat petani lebih sukses,” jelas Marsiti.
Platform Beras Berkelanjutan
Manajer Program Beras Rikolto Indonesia Nana Suhartana menjelaskan bahwa program Rikolto terdapat di 9 negara yang menerapkan sustainable rice platform atau platform beras berkelanjutan.
“Kami melakukan budidaya beras berkelanjutan dengan standar SRP,” ujarnya saat ditemui di Desa Kebon, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.
Khusus di Indonesia terdapat empat kabupaten percontohan yang termasuk dalam program beras berkelanjutan. Empat kabupaten itu meliputi: Boyolali, Klaten, Sragen dan Blitar.
“Kegiatan yang dilakukan saat ini membuat demo plot dan sekolah lapang untuk petani, agar mereka bisa memahami tentang budidaya beras berkelanjutan,” ungkapnya.
Penerapan standar SRP dilakukan pada setiap musim tanam di beberapa kelompok tani. “Jadi mereka berpindah-pindah lokasi agar petani menyadari dan memahami tentang budidaya SRP,” terang Nana.
Yang dilakukan adalah menerapkan standar beras berkelanjutan dengan model tanam Jajar Legowo sisipan. “Dari model yang di-bikin, kita meningkatkan produksi sekitar 15% dari populasi,” ujarnya. Kemudian dari hasil panen yang diperoleh, mampu meningkatkan produksi gabah sebesar 20 – 30 persen.
Sementara itu, secara rata-rata produksi petani per hektar di Kecamatan Bayat saat ini, hanya 6 – 6.5 ton. Jika menggunakan standar SRP, petani mampu menghasilkan panen sebanyak 8-9 ton.
Dengan standar SRP, petani juga diajarkan cara penggunaan air yang efisien. Petani diajak untuk mengairi sawah sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan tanaman. “Dari model yang kita terapkan ini, produksi bisa ditingkatkan sebesar 7%,” ungkapnya.
Di saat yang bersamaan, petani akan mendapatkan keuntungan, yakni mengurangi penggunaan pupuk N. “Misalnya Urea dan NPK bisa dikurangi sehingga apa yang menjadi kesulitan petani, ketika subsidi pupuk dikurangi, mereka merasa lebih nyaman,” jelas Nana.
Termasuk untuk menjaga kesuburan tanah, standar SRP mensyaratkan pembuatan mikroba atau Mikro Organisma Lokal (MOL). “Yang kita buat adalah MOL dan pembuatan pupuk cair, sehingga bisa meningkatkan kesuburan tanah dan kesehatan tanaman,” katanya.
Hal lainnya, penggunaan pestisida yang bisa ditekan. Para petani dilatih untuk memproduksi pestisida secara alami. Ini ada kaitannya dengan Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
“Dalam PHT diharapkan petani tidak langsung panik dengan menyemprot pestisida, namun melakukan observasi terlebih dahulu untuk melihat tingkat serangan hama,”papar Nana.
Setelah itu dilakukan pengendalian hama dengan harapan tidak terjadi peningkatan di suatu lokasi. “Itu yang kita buat sehingga hari ini beberapa petani sudah mulai sadar bahwa ketika ada hama tidak langsung disemprot pestisida,” ujarnya.
Dari sisi kualitas produksi, petani mampu meningkatkan rendemen padi. Gabah yang dihasilkan dari demplot-demplot penelitian memiliki rendemen yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan model pertanian konvensional.
“Ada peningkatan rendemen yang biasanya 60% menjadi 70%, sehingga dari segi pasar, utamanya penggilingan padi maupun perusahaan tertarik karena hasil panen memiliki rendemen yang tinggi,” terang Nana.
Namun yang tidak kalah penting, standar SRP mampu mengurangi dampak perubahan iklim. Standar SRP berhasil mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) ketika lahan sawah yang telah panen tidak langsung digenangi air. Ini penting agar tidak terjadi pelepasan gas methan ke udara yang berasal dari residu pupuk.
“Petani diminta untuk tidak mengairi sawah. Itu diperlukan agar tungkul yang ada lapuk sendiri, kemudian baru diolah tanahnya,” ungkap Nana.
Adapun terkait kesehatan tanah, Nana menjelaskan bahwa mereka menerapkan model regeneratif agrikultur, dimana para petani diberi pengenalan tentang komposisi pupuk yang tepat. “Misalnya untuk 1 meter berapa pupuk yang diperlukan, kita berikan rekomendasi,” katanya.
Secara bertahap, petani akhirnya bisa mengurangi penggunaan pupuk kimia, diiringi peningkatan hasil yang lebih baik ketimbang menerapkan pertanian model konvensional. (Jekson Simanjuntak)