BOGOR, BERITALINGKUNGAN.COM – The “2022 State of the World’s Forests” (SOFO) atau “Keadaan Hutan Dunia 2022” diluncurkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) bertepatan dengan Kongres Kehutanan Dunia di Seoul, Korea Selatan yang berlangsung pada 2- 6 Mei 2022.
Laporan utama itu diperbarui setiap dua tahun berdasarkan penelitian data kehutanan terbaru. Beberapa ilmuwan dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan Agroforestri Dunia (CIFOR-ICRAF) menjadi peneliti sekaligus penulis yang ikut berkontribusi.
Kesimpulan utama studi tersebut menunjukkan bahwa pemulihan global berakar pada hutan. Pohon dan hutan dapat membantu pemulihan dunia dari pandemi COVID-19 dan hal-hal lainnya, selain memerangi dampak perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Direktur Pelaksana CIFOR-ICRAF Robert Nasi menjelaskan bahwa lebih dari setengah produk domestik bruto dunia –$84,4 triliun pada tahun 2020– bergantung pada jasa ekosistem, termasuk yang disediakan oleh hutan.
“Laporan ini merinci tindakan yang telah lama dipromosikan oleh CIFOR-ICRAF dengan menyediakan peta jalan keuangan untuk diikuti oleh pembuat kebijakan dan sektor swasta,” tegasnya.
Secara khusus, SOFO menetapkan bagaimana menghentikan deforestasi dan memelihara hutan akan menghindari emisi gas rumah kaca secara signifikan, yakni sekitar 14 persen dari pengurangan yang dibutuhkan hingga 2030 untuk menjaga pemanasan planet di bawah 1,5 derajat Celcius.
Dengan merestorasi lahan terdegradasi yang luasnya mencapai 1,5 miliar hektar (setara dua kali luas Australia) dengan memperluas agroforestri akan memberikan manfaat yang besar. “Adapun peningkatan tutupan pohon dapat meningkatkan produktivitas pertanian pada 1 miliar hektar lainnya,” jelas Nasi.
Penggunaan hutan secara berkelanjutan akan membantu pemenuhan permintaan lahan di masa depan, seiring dengan konsumsi global yang diperkirakan meningkat lebih dari dua kali lipat dari 92 miliar ton pada 2017, menjadi 190 miliar ton di tahun 2060.
“Hal itu didorong oleh proyeksi pertumbuhan global populasi menjadi 9,8 miliar orang pada tahun 2050,” ujarnya.
Tren Deforestasi Global
SOFO hadir hanya beberapa hari setelah laju deforestasi yang mengejutkan untuk tahun 2021 dirilis oleh Global Forest Watch. Dari Amazon Brasil hingga lembah Kongo, sejumlah daerah tropis telah kehilangan 11,1 juta hektar tutupan pohon pada tahun lalu (2020), termasuk 3,75 juta hektar hutan primer.
CIFOR-ICRAF yang kerap melakukan penelitian tentang kehutanan dan agroforestri di negara-negara berkembang secara cermat telah menginformasikan hasil penelitan mereka ke seluruh Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Saat ini, CIFOR-ICRAF juga memiliki kantor yang beroperasi di sejumlah negara, seperti: DRC (Kongo), Indonesia, Brasil, dan Peru.
Pimpinan proyek CIFOR-ICRAF yang juga pemimpin penelitian di Peru Manuel Guariguata mengatakan, “Kapasitas negara-negara tropis untuk menangani konservasi hutan mungkin telah dirusak oleh pandemi COVID-19.”
“Selama tahun 2020, total area deforestasi di seluruh kawasan tropis global meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan nilai sebelum COVID-19 di tahun sebelumnya. Lockdown dan masalah kesehatan masyarakat mendorong prioritas politik menjauh dari hutan dan pohon,” tegasnya.
Hal senada juga diungkapkan Vincent Gitz, Direktur CIFOR-ICRAF untuk Amerika Latin. Menurutnya pandemi telah menggarisbawahi kebutuhan untuk menciptakan rantai pasokan yang lebih pendek dan sistem yang lebih beragam dan tangguh.
“Untuk tujuan itu, kami bekerja di Brasil dengan mitra proyek Amazon dan The Nature Conservancy, serta masyarakat lokal dalam Proyek Agroforestry and Restoration Accelerator untuk membangun sistem agroforestri yang beragam di lahan terdegradasi dan mencari pasar bagi komoditas berbasis hutan yang berkelanjutan,” ungkapnya.
Sementara itu, Guariguata menyebut penghentian deforestasi sebagai tujuan utama mereka. Dalam konteks Amazon, perhatian khusus diberikan terhadap peran masyarakat adat dan masyarakat lokal.
“Pasalnya, hampir setengah dari tutupan hutan primer di lembah Amazon berada dalam tanah adat yang diakui secara formal,” katanya.
Hal itu seiring fakta bahwa petani kecil, masyarakat lokal dan masyarakat adat memiliki atau mengelola setidaknya 4,35 miliar Ha hutan dan lahan pertanian. Studi juga menunjukkan bahwa 91 persen dari semua tanah adat dan tanah masyarakat berada dalam kondisi ekologis yang baik.
“Ini menunjukkan potensi besar untuk mengurangi deforestasi dengan biaya yang efektif. Selain itu, petani kecil menghasilkan hampir 80 persen pangan dunia,” terang Guariguata.
Saat ini, hanya kurang dari 2 persen pendanaan iklim global yang menjangkau petani kecil, penduduk asli dan komunitas lokal di negara berkembang. Sementara itu, total pembiayaan untuk menghentikan deforestasi, merestorasi lahan terdegradasi dan membangun rantai nilai yang berkelanjutan akan mencapai tiga kali lipat pada tahun 2030.
“Jumlah itu meningkat empat kali lipat pada 2050 untuk memenuhi target netralitas iklim, keanekaragaman hayati dan degradasi lahan, dengan pendanaan setara dengan $203 miliar per tahun pada tahun 2050,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)