
Herman Lantang Pendiri Mapala UI. Foto: Instagram/bayusemilir.
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM– Indonesia kembali kehilangan salah satu putra terbaiknya. Herman Onesimus Lantang, sosok legendaris di dunia petualangan dan pendiri Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI), mengembuskan napas terakhirnya pada Senin (22/3) pukul 03.00 WIB di RSUD Tangerang Selatan, Pamulang.
Kabar duka ini pertama kali tersiar lewat pesan Facebook dari Syamsirwan Ichien, anggota istimewa Mapala UI. “Selamat Jalan Senior. Telah meninggal dunia Legenda Petualang Indonesia,” tulis Ichien.
Herman Lantang bukan sekadar seorang petualang; ia adalah simbol jiwa bebas yang mencintai alam sepenuh hati. Lahir di Tomohon, Sulawesi Utara, 77 tahun lalu.
Ia tumbuh dengan aroma hutan dan petualangan berkat sang ayah yang seorang tentara. Berburu di hutan Tomohon menjadi awal perjalanannya mencintai alam, yang kelak akan membawanya pada petualangan hidup luar biasa.
Dari Antropologi ke Puncak Gunung
Herman menempuh pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, jurusan Antropologi, pada tahun 1960. Di kampus inilah ia menemukan sahabat sejatinya, Soe Hok Gie — ikon mahasiswa yang lantang bersuara melawan ketidakadilan. Bersama Gie, Herman menjadi bagian dari gerakan demonstrasi besar mahasiswa pada era Tritura yang berperan dalam peralihan kekuasaan pasca-G30S.
Namun, berbeda dengan rekan-rekannya yang terjun ke politik praktis, Herman memilih alam sebagai medium pencarian jati diri. Baginya, alam adalah guru terbaik. “Di alam kita bisa benar-benar mengenal karakter masing-masing. Tak ada yang tersembunyi,” katanya suatu ketika.
Legenda Mapala UI dan Petualangan Tiada Henti
Jurnalis senior Don Hasman juga memposting foto kebersamaannya dengan Herman Lantang dan Ariestides Katoppo, saat mendaki Gunung Bromo.Foto/Ist
Herman Lantang adalah sosok kunci dalam pendirian Mapala UI pada 1964, sebuah organisasi mahasiswa pencinta alam yang hingga kini menjadi ikon petualangan mahasiswa Indonesia.
Ia menjabat sebagai ketua pada 1972–1974 dan menginspirasi banyak generasi dengan sikap rendah hati dan kecintaannya pada alam.
Kisah Herman semakin dikenal luas setelah kemunculan film GIE (2005) yang mengangkat sosok Soe Hok Gie. Meskipun Gie menjadi pusat perhatian, komunitas pecinta alam tak pernah melupakan peran Herman sebagai sosok yang menghidupkan semangat petualangan dan solidaritas.
Lebih dari Sekadar Pendaki
Hidup Herman tak hanya berkutat di atas gunung. Ia juga seorang “Mud Doctor” dalam dunia pengeboran minyak, bekerja di berbagai perusahaan minyak ternama di Indonesia, Malaysia, hingga Amerika Serikat. Meski berlatar belakang Antropologi, ia membuktikan bahwa ilmu bukanlah batasan dalam menjalani kehidupan.
Selain itu, seperti dikutip Beritalingkungan.com dari Sindo News, Herman juga punya sisi lain yang tak banyak orang tahu: kecintaannya pada kuliner. Ia mendirikan toko kue Kelapa Tiga Taart Tempo Doeloe di Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Rumahnya berubah menjadi surga kue klasik yang membawa kenangan masa lalu. Bagi para sahabat, masakan Herman di alam terbuka adalah legenda tersendiri — selalu habis dalam sekejap.
Warisan yang Abadi
Herman Lantang bukan sekadar nama dalam sejarah petualangan Indonesia. Ia adalah simbol semangat, kebebasan, dan cinta terhadap alam. Camp Herman Lantang di Bogor, yang ia dirikan, menjadi tempat peristirahatan bagi mereka yang ingin menyatu dengan alam.
Hari ini, Indonesia berduka. Namun, kisah dan semangat Herman Lantang akan terus hidup dalam jiwa setiap petualang. Setiap puncak gunung yang didaki, setiap hutan yang dilalui, dan setiap tenda yang berdiri di bawah bintang-bintang akan selalu mengingatkan kita pada pesan Herman:
“Politik tai kucing. Di alam, kita menemukan diri kita yang sesungguhnya.”
Selamat jalan, Herman Lantang. Langit dan gunung kini menjadi rumah abadimu.