Air terjun Cibereum merupakan salah satu pesona andalan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang mewakili pemandangan alam ciri khas pegunungan
Kami tidak ingin sesegera mungkin tiba di air terjun Cibereum, meski tujuan utamanya memang ke sana.
Beberapa pengunjung yang berpapasan dan menceritakan menawannya air terjun tersebut sempat membuat kami gundah.
“Very beautiful” ungkap wisatawan asal Malaysia dengan logat melayunya. “Wonderful” ucap lelaki asal India yang mengatakan bahwa kedatangannya ke air terjun itu merupakan kali keduanya.
Kami tergoda. Perjalanan kami percepat. Namun, sejurus kemudian, kami tersadar dan segera kembali memperlambat langkah.
Kami ingin sepuasnya dulu menikmati pemandangan alam dan keragaman hayati yang ada di sepanjang jalur yang kami lalui. Jadi, bukan karena kami terbebani menapaki rute bebatuan tersusun rapi layaknya anak tangga yang sedikit menanjak dan berkelok itu. Dan bukan pula stamina kami yang lagi loyo.
Pagi itu, kami memulai perjalanan dari pintu masuk Cibodas yang jaraknya sekitar setengah kilometer dari kantor TNGGP. Atau, sekitar 4 kilometer dari Jalan Raya Bogor-Puncak-Cibodas. Di sini, kami sempat ngobrol ringan perihal burung dengan Sofyan, staf Balai Besar TNGGP. Menurutnya, kala pagi, ia beserta rekan-rekannya sering mendengar kicau betet (Psittacula alexandrii) yang diibaratkannya sebagai senandung alam. Begitu juga dengan puyuh-gonggong jawa (Arborophila javanica)yang terkadang melintas beberapa ekor.
Saat ditanya mengenai raptor, semangat Sofyan tampak meninggi. “Elang hitam (Ictinaetus malayensis), elang-ular bido (Spilornis cheela), atau elang jawa (Nisaetus bartelsi) kerap terlihat saat cuaca cerah” paparnya. Ucapannya memang terbukti, satu dari tiga raptor tersebut yaitu elang hitam berhasil kami lihat, meski hanya sebentar.
Serasa cukup, kami pamit memulai pengembaraan. Namun begitu, kami masih penasaran dengan potensi yang ada di kawasan konservasi yang merupakan perwakilan ekosistem hutan hujan tropis pegunungan Pulau Jawa ini. Sebelum beranjak lebih jauh, kami coba singgahi ruang informasi yang letaknya memang searah dengan rute yang kami lewati.
Data fauna TNGGP memang luar biasa. Kami berdecak kagum saat membaca deretan angka berikut: 300 jenis serangga, 260 jenis burung (dari 400 jenis burung di Pulau Jawa), 110 jenis mamalia, 75 jenis reptil, 20 jenis amphibi, serta 1.500 jenis tumbuhan berbunga yang semuanya ada di sini.
Sukar terbantahkan memang. Keindahan dan kekayaan hayati TNGGP merupakan magnet yang tidak hanya bernilai tinggi dari sisi konservasi, tetapi juga bermanfaat bagi penelitian, pendidikan, terlebih ekowisata. Alfred Russel Wallace mengakuinya dengan bahasa yang indah:“By far the most interesting incident in my visit to Java was a trip to the summit of the Pangerango and Gedeh Mountains…”
Begitu juga dengan kekayaan fauna seperti badak atau rusa yang pernah dicatat oleh F.W. Junghuhn (1839-1861) di awal abad ke-19. Nama Kandang Badak yang merupakan lokasi perkemahan sekaligus pengamatan tumbuhan dan satwa misalnya, mengacu pada jumlah populasi badak kala itu.
TNGGP merupakan satu dari lima taman nasional pertama di Indonesia yang diumumkan Menteri Pertanian tanggal 6 Maret 1980 seluas 15.196 hektar. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 luasnya ditetapkan menjadi 21.975 hektar yang secara administratif berada di Provinsi Jawa Baratyang meliputi tiga kabupaten: Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Kami beruntung bisa menjejaki taman nasional yang penuh sejarah ini.
Pengamatan burung. Foto : Rahmadi.
Kami terlena dengan nuansa alami yang kami rasakan. Pepohonan besar, kicauan satwa, dan hijaunya alam sungguh memanjakan mata. Sejuknya udara pegunungan makin membuat kami larut untuk menghirupnya sebanyak mungkin. Jika bisa disimpan tentunya akan kami bawa dan dikeluarkan lagi saat kembali ke kota nanti.
Tanpa terasa kami sudah memasuki jalur pengamatan burung (birdwatching). Di sini, kami benar-benar melihat kehadiran satwa bersayap itu secara jelas. Ada kacamata gunung (Zosterops montanus), burung berukuran 11 cm yang tubuh bagian atasnya hijau-zaitun. Ada pula sikatan biru-putih jantan (Cyanoptila cyanomelana), burung yang memiliki kebiasaan mencari makan pada tajuk pohon.
Namun begitu, kami sempat kerepotan saat mengidentifikasi antara tepus gelagah (Timalia pileata), cikrak mahkota (Phylloscopus coronatus), cikrak muda (Seicercus grammiceps), dan tepus pipi-perak (Stacyris melanothorax). Pasalnya, empat jenis burung yang menyukai semak belukar ini selain begitu lincah melompat dari ranting rendah satu ke ranting lainnya, mereka juga sering bergabung dalam kelompok campuran. Penuh kesabaran, kami mengikuti pergerakan mereka.
Berbicara tentang burung, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jenis burung yang patut diperhitungkan. Dari sekitar 10.000 jenis burung yang ada di dunia, sekitar 16 persennya ada di Indonesia. Keragaman jenis burung ini makin memperkuat Indonesia sebagai negara pemilik burung ke-5 terbanyak di dunia. Burung yang kami lihat kali ini tentunya merupakan bagian kecil dari yang ada di Indonesia.
Puas di jalur pengamatan, kami bergerak melanjutkan perjalanan. Meski begitu, kami tetap waspada untuk melihat jenis burung apa lagi yang bakal kami temui. Sasaran antara kami selanjutnya adalah Telaga Biru.
Di danau yang letaknya 1,5 km dari pintu masuk itu kami istirahat sejenak. Dalam-dalam kami pandangi lukisan alam ini sembari menikmati penganan kecil. Danau kecil seluas 150 meter persegi ini merupakan danau yang permukaan airnya tampak biru karena ganggang biru. Warna biru kehijauan tersebut akan terlihat jelas ketika sinar mentari menerpa. Beberapa ekor ikan yang hilir-mudik di pinggir makin mempercantik tampilannya.
Lamat-lamat gemuruh air terjun Cibereum terdengar. Kami ingin segera merasakan kesegarannya setelah menempuh perjalanan sejauh 2,8 km. Secara normal dibutuhkan waktu sekitar 90 menit, tetapi kami menempuhnya selama 180 menit. Kami sudah tidak sabar ingin berendam dan merasakan langsung air pegunungan tersebut.
Rupanya, beberapa pengunjung telah mandi di bawah segarnya air tersebut. Tak ingin kehilangan waktu, kami segera mendekat untuk merasakan langsung guyurannya. Namun, langkah kami mendadak tersendat. Percikan air yang terhempas angin mengurungkan niat kami. Dinginnya temperatur air tersebut mematahkan keinginan kami yang sedari awal ingin selama mungkin berendam di bawah pancurannya. Ternyata, kami belum cukup nyali.
Kami terhibur, meski hanya membasuh muka di air yang terbentuk akibat pertemuan lahar vulkanik Gunung Pangrango dan Gunung Gede itu. Ditambah lagi pemandangan ciri khas pegunungannya yang membuat air terjun dengan ketinggian 50 meter itu terlihat begitu indah tatkala dipandang.
Cibereum bukanlah satu-satunya. Ada dua air terjun lagi yang letaknya tidak berjauhan yaitu Cikundung dan Cidendeng. Namun, dari tiga nama tersebut, Cibereum yang paling terkenal karena volume airnya yang besar juga warnanya yang kemerahan. Warna kemerahan tersebut berasal dari lumut berwarna merah (Spagnum gedeanum) yang tumbuh di dinding air terjun. Inilah alasan mengapa dinamakan Cibereum yang berarti air berwarna merah. Tak jarang, selain dikunjungi wisatawan lokal dan asing, lokasi ini juga digunakan sebagai objek pemotretan.
Air terjun Cibereum merupakan puncak keindahan perjalanan kami kali ini. Kami terhibur dengan pesona alam sekaligus keragaman hayati yang kami dapatkan. Owa jawa yang selama ini hanya kami baca kisahnya, makin menggenapi cerita kami karena langsung melihatnya. Spesies yang berkelompok antara dua hingga enam ekor dan hidup di hutan dataran rendah sampai hutan sub-pegunungan. Di TNGGP populasinya diperkirakan antara 400 hingga 600 ekor.
Menjelang petang kami pulang. Kami rehat sejenak di jembatan gayonggong, sebuah kawasan rawa bekas kawah mati yang berfungsi sebagai penampung aliran air dari tempat yang lebih tinggi. Di sini dominasi rumput begitu kentara. Dari sini pula kami menikmati puncak Pangrango yang tertutup kabut tipis sembari membayangkan mendakinya di lain waktu. (Rahmadi).