CIREBON, BERITALINGKUNGAN.COM — Warga terdampak PLTU Cirebon mengeluhkan buruknya kondisi lingkungan pasca hadirnya PLTU di lingkungan tempat tinggalnya. Salah satunya dialami oleh Sarjum.
Sarjum terpaksa berganti profesi demi menghidupi keluarganya. Ia rela melakukan apa saja asalkan halal, termasuk menjadi kuli bangunan.
“Saya juga ganti profesi. Karena saya dulunya mencari ikan, sekarang sudah tidak ada pendapatan. Sementara anak istri mau makan, mau jajan, biaya sekolah, apalagi kita punya anak masih sekolah,” ungkapnya.
Lebih jauh Sarjum menjelaskan, “Semua orang mengalami alih profesi. Ada yang menjadi kuli bangunan. Semrawut, apa saja.”
Sarjum yang dulunya berprofesi sebagai nelayan pinggiran mengakui jika laut menyediakan semua hal yang dibutuhkan. Sebelum PLTU Cirebon 1 beroperasi, tak sulit baginya untuk mencari ikan.
“Disini ada macam-macam biota laut, seperti Kerang Bambu, Kerang Buku yang sifatnya alami. Tinggal ditangkap saja,” ujarnya.
Sarjum menambahkan, “Dulu kepiting kita cari di sungai Kanci aja banyak. Sekarang sih susah, malah pada mati.”
Hal serupa juga terjadi pada ikan. Keberadaannya semakin sedikit dan sulit ditemukan. Itu yang menyebabkan, mata pencarian Sarjum sebagai petani pinggiran tidak dapat diteruskan.
“Gak ada pencaharian, terkecuali nelayan-nelayan yang pakai perahu, bisa mencari bergerak ke tengah laut. Sementara kita nelayan pinggiran, hanya pakai busa atau ban mobil dan jalan kaki,” terangnya.
Selain sebagai nelayan pinggiran, Sarjum juga sempat berprofesi sebagai petani tambak garam. Hal itu dia lakoni secara turun temurun, sebelum PLTU Cirebon 1 hadir mencemari lingkungan warga.
“Pengaruh dengan hadirnya PLTU 1, garam malahan hilang, karena mayoritas lahan PLTU 1 dan PLTU 2 berada di tanah garam,” ungkapnya.
Khusus di Desa Waru Duwur, kegiatan tambak garam masih mungkin dilakukan. Sementara di Desa Kanci dan Desa Citemu hal itu tidak memungkinkan, karena lahannya dipake untuk PLTU.
“Kalau disini masih bisa panen garam, Kalo di PLTU 1 sudah tidak ada,” jelasnya.
Jika pun memaksa untuk menghasilkan garam, maka hasilnya tidak bagus, karena terkena debu hasil pembuangan PLTU.
Terganggunya mata pencaharian masyarakat, membuat Sarjum dan teman-temannya terbang ke Jakarta hingga Jepang. Di Jepang, mereka mengajukan keberatan kepada Japan Bank for International Cooperation (JBIC) selaku investor.
“Kita sampai mengajukan gugatan ke Jakarta untuk PLTU 2. Trus ke Jepang untuk menggugat selama 1 minggu. Sampai ke bank JBIC yang biayai pembangunan PLTU,” ungkapnya.
Kondisi itu diperburuk dengan hadirnya PLTU Cirebon 2. Meskipun belum beroperasi secara penuh, PLTU tersebut kerap mengeluarkan suara bising yang mengagetkan masyarakat. Suaranya ibarat gemuruh yang memecah kesunyian desa.
“Yang bunyi tadi itu lagi tes coba. Kayaknya masih uji coba,” katanya.
Sarjum menambahkan, “Ini ditambah lagi PLTU 2 meskipun belum beroperasi. Nanti kalau sudah beroperasi, kita nyari disini udah gak ada. Mati. Udah gak ada mata pencaharian,” terangnya.
Dengan kondisi seperti saat ini, Sarjum berharap semua bisa seperti semula. Kembali seperti sebelum PLTU ada.
“Harapan warga adalah pulih seperti semula, sebelum ada PLTU-1 yang sekarang ditambah PLTU-2, malah susah dan kadang gak ada memetan (mata pencaharian) seperti kerang, ikan, rebon, kepiting,” ungkapnya.
Jika dibandingkan sebelum ada PLTU, kehidupan masyarakat, menurut Sarjum, sangat mencolok. Kala itu, masyarakat dengan mudah mendapatkan ikan.
“Kita bisa berangkat jam 12 siang dan jam 3 sore sudah pulang, dan jam 4 kita jual hasilnya langsung. Hasilnya luar biasa,” terangnya.
Sarjum menjelaskan, “Uang dulu kan berharga. Rp12 ribu berharga. Rp15 ribu juga. Dulu beras Rp400/kg. Bisa untuk makan 2-3 hari.” (Jekson Simanjuntak)