Ilustrasi : Foto : Marwan Azis/Greenpress. |
Prinsip awal privatisasi air sebenarnya tidak jelek-jelek amat.
Ia hadir sebagai upaya memperpanjang tangan pemerintah memperbaiki layanan distribusi air bersih bagi rakyat.
Namun dari 2004 hingga 2008, untuk Jakarta saja masih ada 36 persen penduduk yang tak terlayani pipa Perusahaan Air Minum (PAM).
Sebagian sisanya, menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), harus bergulat dengan kualitas air yang kotor. Sementara tarif justru naik 10 kali lipat.
Nah loh, mengapa privatisasi air Indonesia jadi begini.
Air di negeri ini sudah lama bukan milik rakyatnya lagi. Adagium itu mungkin terdengar kejam, tapi memang Indonesia telah lama menyerahkan urusan pelayanan airnya ke kantong pihak swasta asing.
Terhitung sejak 2004, negeri ini resmi tercatat sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang mengalami privatisasi air terbesar. Praktek privatisasi air tersebut kemudian berujung kepada kenaikan tarif air 10 kali lebih tinggi dan munculnya berbagai kerusuhan sosial akibat mata air masyarakat lokal “dipagari” perusahaan air minum internasional.
Buenaventura B. Dargantes dari Institute for Strategic Reseach and Development Studies, Universitas Visayas, Filipina menguak kisah privatisasi air yang salah kaprah di Asia Tenggara. Kacaunya jualan hak layanan air ke swasta ini terutama terjadi di Indonesia, Filipina dan Malaysia.
“Seharusnya privatisasi air itu justru untuk membantu pemerintah meningkatkan pelayanan air bersih ke rakyat, karena banyak pemerintah negara berkembang yang belum sanggup melakukannya sendiri,” kata Dargantes.
Demikian, Dargantes menyatakan seharusnya privatisasi layanan jasa air itu tetap melibatkan saham publik komunitas setempat di dalamnya. Baik itu dalam sistem patner dengan swasta atau dengan pemerintah. Selain bagi-bagi saham, privatisasi air ini juga bisa dilakukan dengan cara membangun sumber-sumber air yang dikelola komunitas setempat. Semua alternatif ini agar privatisasinya tidak kebablasan jadi usaha jualan air buat profit semata.
Universitas Visayas mencatat Regional Asia Tenggara memang memiliki layanan air bersih yang terburuk di Asia. Bahkan lebih buruk daripada Asia Selatan di mana negara-negara konflik seperti Afghanistan dan Pakistan bergabung. Secara rata-rata, 62 ribu koneksi air bersih di regional ini hanya mampu melayani 243.046 orang.
Buruknya layanan air bersih ini juga berarti buruk bagi pembangunan bangsa. Paling tidak itu yang ditekankan oleh Bank Dunia, Asia Development Bank beserta kroni-kroninya.
Mereka menjadikan akses penduduk ke air bersih sebagai salah satu indeks penentu kemajuan suatu negara lewat ukuran Millenium Development Goals (MDGs). Kurang akses ke air bersih, berarti pembangunan negara yang bersangkutan dianggap kurang berhasil. Imbasnya tentu saja, Bank Dunia dan teman-teman akan pikir dua kali saat akan memperpanjang pinjamannya.
Nah, di sini salah kaprah berawal. Koalisi Rakyat untuk Hak Air (KruHA) menggugat lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia sebagai biang keladi maraknya lembaga-lembaga privatisasi air di Indonesia.
Saat krisis Asia pada 1997, Bank Dunia, ADB dan International Monetary Fund (IMF) dianggap mulai masuk berperan memarakkan privatisasi air di Indonesia. Peranannya tentu saja lewat pinjaman-pinjaman lunak tapi bersyarat.
Pada Juni 1998 Bank Dunia mengeluarkan pinjaman US $ 1 miliar, yang segera disusul lagi dengan pinjaman sesi kedua sebesar US $ 500 juta. Yang jadi masalah, salah satu pasal perjanjian Matrix of Policy Actions itu turut memaparkan rencana-rencana memperbaiki pengelolaan sumber daya air di Indonesia. Salah satunya lewat privatisasi air.
Bahkan untuk meyakinkan Bank Dunia bahwa pinjaman mereka dilaksanakan sebagaimana yang diinginkan, Pemerintah Indonesia di bawah supervisi Bank Dunia membentuk Satuan Tugas WATSAL. Satuan Tugas ini fungsi utamanya mendata masalah-masalah regulasi manajemen air di Indonesia dan mengusulkan reformasi peraturannya.
Hasilnya, pada 2004 Pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah undang-undang baru tentang pengelolaan air di negeri ini, yaitu UU Sumber Daya Air No 7 Tahun 2004.“Undang-undang itu secara jelas mengubah paradigma Pemerintah Indonesia yang menjadikan air sebagai komoditas ekonomi dan bukan sebagai hak asasi manusia penduduk Indonesia,” kata Hamong Santono dari KruHa.
Berdasarkan undang-undang itulah, privatisasi air di Indonesia dilegalkan. Undang-undang ini mengubah peranan pemerintah dari penyedia air bagi rakyat Indonesia, menjadi sekedar fasilitator. Ini berarti tak ada lagi keharusan bagi pemerintah untuk menyediakan air bersih langsung ke rakyatnya.
Fasilitator juga berarti Pemerintah Indonesia dapat menjual hak layanan air bersih itu ke perusahaan-perusahaan swasta, agar mereka selanjutnya berperan sebagai penyedia air itu sendiri. Selain itu, UU No 7 Tahun 2004 ini juga menegaskan adanya desentralisasi kewenangan, yang membuka kesempatan bagi perusahaan-perusahaan jasa air berhubungan langsung dengan Pemerintah Daerah setempat tanpa harus pusing-pusing lagi ke pusat.
Walhasil kini Indonesia telah punya tak kurang dari 30 proyek privatisasi air di seluruh Indonesia, yang sebagian besar ada di Jakarta dan Batam. Pemerintah pusat dan daerah juga tetap menawarkan jasa layanan air mereka ke swasta seperti yang terjadi di Pontianak, Semarang, Jatigede.
Selain itu, bentuk privatisasi air juga mulai merambah tak hanya di sektor air keran, tapi juga mulai ke komoditas air mineral botol. Perusahaan-perusahaan asing seperti Suez, Thames dan Danone yang adalah pemain raksasa industri air dunia yang tercatat telah menikmati pasar jualan air di nusantara.
Kondisi tersebut secara bersamaan mulai menimbulkan gerakan-gerakan sosial di berbagai tempat. Organisasi nirlaba seperti KruHa bersama penduduk Jakarta, Sukabumi, Serang, Karang Anyar, Pati, Magelang, Kebumen, Pasuruan, Riau dan Bekasi mulai menggelar demonstrasi massa menolak privatisasi air. Kampanye air bersih ini diusung berdasarkan tuntutan bahwa hak akses terhadap air adalah bagian dari hak asasi manusia.
“Selain itu kami juga menuntut pemerintah untuk menghentikan privatisasi air di Indonesia dan meminta peranan pemerintah yang lebih besar untuk menyediakan air bagi penduduk Indonesia,” kata Hamong.
Semuanya sebagai upaya mengembalikan privatisasi air di Indonesia agar tak salah kaprah lagi. (Veby Mega Indah).