Tol Bali Mandara yang membelah Teluk Benoa di Bali. Foto : PUPR.
Para aktivis lingkungan dan masyarakat adat berhasil menghentikan reklamasi kawasan suci Teluk Benoa, Bali. Namun kenapa hari ini mereka justru semakin cemas? Ini cerita kilas balik perlawanan menentang ekspansi modal besar dalam industri pariwisata Bali dan bagaimana nasib teluk itu hari ini.
Atmosfer rapat yang santai itu tiba-tiba muram dan sedih. Beberapa peserta pertemuan itu menerima berita yang sungguh mengkhawatirkan. Bunyinya, investor besar dari Jakarta telah resmi mengantongi izin reklamasi Teluk Benoa. Hari ini di pertengahan tahun 2021, kantor Conservation International (CI) Indonesia di Bali sedang sibuk mendiskusikan persiapan pengembangan Kawasan Konservasi Perairan (Marine Protected Area atau MPA) Kabupaten Badung bersama Kelompok Kerja MPA Bali.
“Kami semua mendapatkan konfirmasi bahwa Teluk Benoa dinyatakan tidak cocok lagi masuk sebagai kawasan konservasi karena sudah banyak perubahan termasuk jalan tol Bali Mandara yang melintas di atasnya”, kata I Made Iwan Dewantama yang ketika itu menjabat Bali MPA Network Manager CI Indonesia dan ia melanjutkan, “Itu alasan pemerintah pusat mengizinkan reklamasi.”
Yang lebih mengejutkan, kabar itu bertentangan dengan Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2011 tentang Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan atau Sarbagita, yang menyebutkan bahwa kawasan Teluk Benoa termasuk kawasan konservasi. Setahun berikutnya, Aaturan itu diperkuat lagi dengan Peraturan Presiden No.122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang melarang mereklamasi kawasan konservasi. Artinya Teluk Benoa aman.
Kedua peraturan presiden itulah yang mendorong para aktivis lingkungan bekerjasama di dalam Kelompok Kerja MPA Kabupaten Badung, ditambah permintaan yang datang dari Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Badung, agar organisasi lingkungan mengusulkan rancangan kawasan konservasi perairan yang akan menjadi bagian jejaring MPA Bali.
Dalam bayangan CI Indonesia, Pulau Bali akan dikelilingi oleh beberapa MPA yang dikelola oleh setiap kabupaten, untuk menjamin pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang berkelanjutan sehingga mampu menyejahterakan masyarakat lokal yang notabene adalah masyarakat adat. Teluk Benoa seluas 1.243,41 ha akan berada di pusat jejaring MPA itu.
Kosmologi
Orang Bali memandang Teluk Benoa itu sebagai campuhan, yaitu titik suci sebagai pertemuan dua bentang alam yaitu daratan vulkanik Bali dengan karang atol dari samudra Hindia. Kosmologi para leluhur Bali menyebut Teluk Benoa sebagai suwung atau kosong, yang boleh diartikan wilayah teluk ini harus dibiarkan kawasan alami “tanpa pembangunan.”
Di dalam pengelolaan pesisir terintegrasi, zona itu diperuntukkan sebagai penghalang alami pulau Bali dari hempasan gelombang pantai selatan. Di dalam jejaring MPA Bali, Teluk Benoa merupakan kawasan penyangga Taman Hutan Raya Ngurah Rai sebagai green belt Pulau Bali dan menguatkan konektivitas MPA dalam menjaga kelestarian sumber daya pesisir untuk meningkatkan pemanfaatan secara lestari.
Teluk Benoa juga menjadi muara dari enam sungai yang mengalir dari hulu dan melalui Kota Denpasar ibukota Provinsi Bali. Muara sungai dan gunung dalam kosmologi orang Bali adalah lokasi terakhir untuk menyempurnakan siklus kehidupan dan kematian.
Sebelumnya, masyarakat adat di Bali sepakat untuk mengizinkan pembangunan infrastruktur di teluk berupa jalan tol di atas laut. Alasannya untuk mengurangi kemacetan Kota Denpasar yang semakin memburuk. Pada September 2013, Jalan Tol Bali Mandara akhirnya dioperasikan sebagai jalan tol pertama di Indonesia yang berada di atas laut, dan masih digunakan dengan baik sampai hari ini.
Kemudian datang rencana dari PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) milik konglomerat Tommy Winata yang ingin melakukan reklamasi di teluk itu. Tol Bali Mandara memang membuat posisi Teluk Benoa semakin strategis, karena kini dapat ditempuh hanya 15 menit dari bandara internasional I Gusti Ngurah Rai, dan 30 menit ke destinasi turis internasional di Nusa Dua, Bali dan pusat kota Denpasar bisa dicapai dalam 10 menit tanpa terjebak kemacetan lalu lintas. Dari teluk itu, para turis bisa berlayar ke Pulau Lombok atau mencapai lokasi diving di seluruh Bali dengan speedboat atau yacht.
Tommy dikenal dekat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kedekatan keduanya diketahui publik secara luas, bahkan mereka bersama menanam mangrove di sisi timur Teluk Benoa bersama bintang sepak bola dunia asal Portugal Christiano Ronaldo pada Juni 2013. Melalui TWBI, Tommy ingin membangun one stop service tourism ala Disneyland yang akan menimbun sebagian besar perairan Teluk dengan tanah dan menyulapnya menjadi hotel, kasino, restoran, cafe, dan gedung pertunjukan. Ironisnya, rencana itu juga akan membabat mangrove yang baru saja ditanamnya bersama Presiden dan Ronaldo.
Gambaran dari pengembang atas Teluk Benoa pasca reklamasi. Foto: PT TWBI.
Ternyata Gubernur Bali I Made Mangku Pastika menyetujui rencana TWBI itu dan menerbitkan surat keputusan gubernur Bali No.2138/02-C/HK/2012 tentang Rencana Pemanfaatan dan Pengembangan Kawasan Perairan Teluk Benoa seluas 838 ha atau hampir 70% dari luas Teluk.
Kemudian Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengesahkan Peraturan Menteri 17/Permen-KP/2013 yang mengizinkan reklamasi di zona konservasi non-inti pada 3 Juli 2013. Bagi para aktivis lingkungan, dua keputusan ini adalah lampu hijau untuk investor mereklamasi Teluk Benoa.
Pada bulan Mei 2014 beberapa bulan sebelum masa jabatannya berakhir Presiden Susilo justru menerbitkan Peraturan Presiden No.51 Tahun 2014 yang mengizinkan reklamasi di kawasan konservasi perairan. Seperti diorkestrasikan, bulan Agustus pengembang juga sudah mengantongi izin lokasi reklamasi nomor 445/MEN-KP/VIII/2014 dari Menteri Kelautan dan Perikanan di kawasan perairan Teluk Benoa yang meliputi Kabupaten Badung dan Kota Denpasar Provinsi Bali seluas 700 hektar.
Tommy Winata (paling kiri), Cristiano Ronaldo (t-shirt biru) dan Presiden SBY (tengah, berkaca mata) menanam mangrove di Teluk Benoa, Juni 2013. Foto : Setpres.
Menurut Suardhana, pemerintah Provinsi Bali berusaha meredam penolakan masyarakat dengan melakukan konsultasi publik tentang rencana perubahan status kawasan konservasi Teluk Benoa menjadi kawasan pemanfaatan umum pada bulan April 2014. “Tetapi mereka tidak melibatkan pihak yang menolak reklamasi, jadi acara konsultasi ini bersifat sepihak saja,”katanya.
Pengembang juga melakukan konsultasi publik sebelum menyusun dokumen Analisis Dampak Lingkungan yang wajib dilakukan untuk setiap kegiatan di atas pada lahan yang lebih luas dari 25 ha.
“Kami tentu akan memenuhi semua ketentuan Undang-Undang dengan melakukan kajian dampak lingkungan sebelum melakukan reklamasi Teluk Benoa,” ujar Komisaris Komisaris TWBI Jasin Yabanto kepada para jurnalis. Jasin mengatakan bahwa tidak benar bila pengembang merahasiakan rencana reklamasi Teluk Benoa, karena semua prosesnya transparan.
Penolakan
Masyarakat Bali yang merasa kecewa dengan keputusan pemerintah dan pengembang mulai menghimpun kekuatan menolak reklamasi yang dimotori para aktivis lingkungan yang tergabung dalam ForBali. Kepada Nusantara Post dan Berita Lingkungan, Koordinator ForBali I Wayan Suardhana mengatakan banyak alasan kenapa masyaraka adat dan aktivis lingkungan di Bali menolak reklamasi itu.
” Reklamasi ini berpotensi tinggi menyebabkan banjir di kota Denpasar, menghilangkan ekosistem mangrove sebagai penahan gelombang dan tsunami, dan tidak mengindahkan peringatan bahwa Teluk Benoa adalah kawasan suci bagi umat Hindu di Bali,” katanya.
Informasi menyebar dengan cepat ke seluruh Bali bahwa pemerintah pusat memaksakan kehendaknya untuk mereklamasi Teluk Benoa demi uang dari investor dan semua dilakukan tanpa berkonsultasi dengan masyarakat adat di Kabupaten Badung maupun Kota Denpasar.
Dari kecemasan di ruang-ruang diskusi para aktivis lingkungan, keresahan itu meluber ke ruang publik yang luas, terutama karena Teluk Benoa memiliki nilai-nilai adat dan religi yang kuat untuk masyarakat Bali.
Secara resmi 13 Desa Adat di Kabupaten Badung dan ada 6 Desa Adat di Kota Denpasar akhirnya menyatakan menolak dengan tegas rencana reklamasi tersebut dan sepakat menggelar aksi di Teluk Benoa di awal 2016. Sekitar 10.000 orang turun ke jalan dan berjalan kaki di sepanjang jalan tol laut Bali Mandara. Para aktivis ForBali juga bergabung dengan masyarakat adat.
“Kalau ada orang yang menyatakan Teluk Benoa bukan kawasan suci, maka orang tersebut tidak memahami Teluk Benoa. Desa Adat yang lebih paham, karena kami di Desa Adat yang menggelar ritual adat dan agama di Teluk Benoa,” ucap Wayan Swarsa selaku Ketua Desa Adat Kuta.
Demonstrasi masyarakat adat Bali menentang reklamasi Teluk Benoa. Foto: Ist.
Pemodelan
Sebagai organisasi yang bekerja di Pulau Bali, Vice President CI Indonesia saat itu, Ketut Sarjana Putra meminta CI merespon dengan tepat isu tersebut. Respon yang diberikan harus berbasis sains, dengan melibatkan para mitra pakar dari perguruan tinggi sebagai landasan menyusun rekomendasi dan mendorong lahirnya kebijakan yang sesuai di Teluk Benoa.
“Rencana investasi itu padat dengan kandungan teknis, karena itu kita perlu bicara bahasa yang sama, dan sains adalah bahasa universal yang objektif serta dimengerti oleh investor, pengambil keputusan dan publik”, kata Ketut saat menceritakan kembali peristiwa itu.
Tim CI Indonesia memutuskan membuat pemodelan yang memungkinkan masyarakat memahami dunia atau bagiannya dengan lebih mudah melalui simulasi dan visualisasi. CI Indonesia segera menghubungi berbagai pihak untuk menyusun kajian itu, dan meminta pakar pemodelan dan geomorfologi Universitas Warmadewa dan Universitas Udayana, Bali, untuk bergabung dan mengumpulkan data, termasuk membeli beberapa peta.
Data sekunder yang terkumpul rupanya lengkap untuk pemodelan termasuk dengan adanya peta topografi, geomorfologi, pasang surut, data air limpasan DAS, sedimentasi, batimetri dan ekosistem pesisir. “Kami melakukan desktop analysis, sehingga tidak dibutuhkan lagi data primer dari pengukuran lapangan”, ungkap Iwan.
Senyampang tim CI mengerjakan pemodelan, situasi Kota Badung terus menghangat karena demonstrasi jalanan mewarnai isu reklamasi dan melibatkan banyak aktivis dari berbagai LSM. Ketut menyampaikan pendapatnya soal ini.
“CI Indonesia beroperasi dengan pendekatan berbeda, yaitu pendekatan sains sebagai dukungan dalam pengambilan keputusan. Tetapi kami juga menghormati pendekatan lain dari teman-teman aktivis lingkungan”, katanya.
Simulasi reklamasi 15% sampai 80% dari kondisi awal segera dikerjakan untuk melihat perubahan dan dampaknya terhadap Teluk dan lingkungan di sekitarnya, dan inilah hasilnya: Reklamasi 80% dari luas teluk akan menyebabkan terjadinya penurunan volume air dari 25 ke 10 juta meter kubik yang masuk ke Teluk sehingga menyebabkan perubahan kondisi perairan seperti salinitas, suhu serta masukan unsur-unsur hara yang semakin menurun dari luar Teluk, akan mempengaruhi ekosistem mangrove.
Bila reklamasi dilakukan seluas 15%, maka akan meningkatkan permukaan air laut di daerah selatan pulau reklamasi yaitu kawasan wisata Nusa Dua, namun meningkat secara signifikan pada saat dilakukan reklamasi 80% sampai mencakup wilayah sekitar Sungai Mati dan Kota Denpasar di sisi utara dan barat laut Teluk.
Pemodelan memberikan gambaran bahwa mereklamasi Teluk Benoa lebih dari 50% akan menyebabkan adanya potensi air tertahan dalam teluk dan menimbulkan air sungai limpasan tertahan atau berbalik ke arah daratan menimbulkan banjir di sebagian wilayah Denpasar Selatan, terutama saat puncak musim hujan.
Atas hasil analisis ini, rekomendasi yang disampaikan CI Indonesia adalah memasukkan Teluk Benoa sebagai Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten Badung. Ketut dan Iwan mempresentasikan hasil kajian ini kepada beberapa Banjar di sekitar teluk. “Sebagai pendekatan akademis, maka tugas kami sudah selesai sampai di situ”, kata Iwan. Tetapi di jalanan situasi tetap hangat dan demonstrasi terus terjadi.
Pada September 2013 Universitas Udayana di Bali juga menyampaikan hasil kajian komprehensif atas reklamasi itu dan menyimpulkan bahwa rencana itu memang tidak layak diteruskan.
“Karena ada dua hasil kajian yang berbeda dari universitas, maka keduanya diserahkan kepada Senat Universitas untuk dikaji lebih mendalam, dan kami telah sepakat bahwa reklamasi tidak layak dilakukan di Teluk Benoa, baik dari sisi lingkungan, ekonomi, maupun sosial dan budaya,” kata Rektor Universitas Udayana Ketut Suastika ketika itu.
Teluk Benoa adalah muara dari enam sungai penting yang melewati Kota Denpasar, sekaligus sebagai lokasi suci bagi umat Hindu di Bali. Foto: CI Indonesia.
Karena protes dan penolakan yang sangat luas itu, Gubernur Bali membatalkan keputusannya dengan menerbitkan surat baru nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali. Para aktivis dan masyarakat adat tidak puas karena surat baru ini tidak menghentikan reklamasi.
Demonstrasi terus terjadi di jalan-jalan kota Denpasar dan 14 Ketua Desa Adat pergi ke Kantor Staf Kepresidenan (KSP) di Jakarta untuk tetap menyatakan penolakan terhadap rencana reklamasi itu.
“Kami menolak reklamasi Teluk Banoa karena akan menghancurkan nilai-nilai adat dan keagamaan. Ada 70 titik suci di Teluk Benoa akan dikeruk proyek ini. Ada vibrasi kehidupan dan energi spiritual harus dijaga Bendesa Adat sebagai kewajiban moral dan keyakinan yang menjadi pegangan kami,” kata Swarsa dari Desa Kuta.
Menjelang akhir 2016, rencana pengembang mereklamasi Benoa tidak terdengar lagi dan seluruh pekerjaan konstruksi berhenti. Hingga akhirnya pada 27 Agustus 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan bahwa izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) untuk proyek reklamasi masih perlu dilengkapi.
Selain itu, izin yang dipegang PT TWBI telah kedaluarsa sejak tanggal 26 Agustus 2018. Artinya, PT TWBI tak memiliki izin untuk melanjutkan pembangunan proyek. “Kalau izin lokasi sudah habis, maka tidak bisa lagi membahas analisis dampak lingkungan. Maka proyek itu sudah selesai,” kata Suardhana dari ForBali.
Aktivis dan masyarakat adat telah memenangkan pertarungan merebut Teluk Beno. itu. Setidaknya tampak begitu, sampai satu perusahaan milik negara tiba-tiba selesai membangun dermaga beton di bagian utara teluk dengan cara reklamasi.
Babak Kedua
Diam-diam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PT Pelindo III rupanya telah merencanakan mereklamasi perairan Teluk Benoa di bagian utara seluas 132,9 ha, dan sampai pertengahan 2019 mereka telah menambah luas daratan 85 ha.
Perusahaan itu juga telah mengajukan anggaran kepada negara sebesar Rp1,2 triliun untuk mengembangkan Pelabuhan Benoa sebagai Bali Maritime Tourism Hub (BMTH). Direktur Utama Pelindo III waktu itu Saefudin Noor mengatakan kepada wartawan, uang itu digunakan untuk pengerukan alur pelayaran.
Pengerukan pelabuhan itu rupanya membuat ekosistem mangrove Teluk Benoa rusak. Vice President Corporate Communication PT Pelindo III, Wilis Aji Wiranata juga mengakui adanya kerusakan itu, tetapi dalam area yang kecil. “Luas mangrove sekitar 17 ha, dan hanya sedikit yang rusak, itupun bagian depan saja,”ungkapnya.
Sayangnya ia tidak menjelaskan dengan rinci saat diminta memberikan data yang lebih rinci. Pelindo juga meminta izin untuk memotong terumbu karang untuk memperlebar alur pelayaran keluar dan masuk pelabuhan.
Dosen Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa Denpasar I Ketut Sudiarta mengatakan, pemotongan terumbu karang harus didahului kajian khusus dan sosialisasi terkait dampak lingkungannya. “Apakah pemotongan itu dibutuhkan atau tidak, maka harus dikaji lebih dalam dan komprehensif,” kata Sudiarta.
Khawatir akan dampak reklamasi babak kedua itu, ForBali menulis surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo perihal banyaknya rencana reklamasi Teluk Benoa, termasuk perluasan bandara, pembangunan sport tourism di Tanjung Benoa, dan perluasan Pelabuhan Benoa.
ForBali mengkritik rencana perluasan Pelabuhan Benoa dengan reklamasi karena karena berada di kawasan rawan gempa bumi dan tsunami. Dalam suratnya, ForBali meminta Presiden Jokowi mencabut Rencana Induk Pelabuhan yang memperluas pelabuhan dengan reklamasi, dan menghentikan reklamasi yang sedang berlangsung.
Pelabuhan Benoa yang diperbesar dengan merusak ekosistem mangrove di Teluk Benoa, belum dapat dipergunakan karena terjadi konflik pengelolaannya. Foto: Barometer Bali.
Menanggapi berbagai kritik dari masyarakat sipil, tim monitoring Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memeriksa proyek itu telah menemukan beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh pengembang sehingga menyebabkan kerusakan sekitar 17 ha hutan mangrove. Berdasarkan temuan dari tim MoEF itulah, Gubernur Bali I Wayan Koster akhirnya memerintahkan agar Pelindo III penghentikan seluruh kegiatan reklamasi sejak Agustus 2019.
Hari ini, bila para turis melalui jalan tol Bali Mandara yang membentang di atas Teluk Benoa akan tampak dermaga beton yang kosong tak terpakai dengan pita pembatas dilarang masuk.
Pemerintah Provinsi Bali belum sepakat dengan PT Pelindo III tentang bagi hasil pengelolaan pelabuhan itu ketika gubernur memutuskan untuk menyetop pembangunannya. Ekosistem teluk sudah rusak, dan manfaat ekonomi yang dijanjikan pun belum kunjung didapat.
(IGG Maha Adi)