BERITALINGKUNGAN.COM — Yayasan Madani Berkelanjutan menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang didorong kuat pengesahannya sejak era Presiden SBY hingga kepemimpinan Presiden Joko Widodo belum juga membuahkan hasil. Padahal, berbagai instrumen hukum nasional dan internasional telah mendorong adanya pengaturan untuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat itu.
Yayasan Madani menilai urgensi pengesahan RUU MHA semakin dirasakan mengingat banyaknya kasus pelanggaran hak-hak masyarakat hukum adat. Analisis spasial Madani menemukan beberapa hal yang dapat menambah potensi pelanggaran hak-hak masyarakat hukum adat, di antaranya: dari 9,3 juta hektare Wilayah Adat yang teridentifikasi, terdapat 8,5 juta hektare area yang tumpang-tindih dengan izin/konsesi dan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) atau area moratorium hutan dan lahan gambut;
Tumpang-tindih terluas terjadi antara Wilayah Adat dengan PIPPIB seluas 4,1 juta hektare, disusul izin perkebunan sawit seluas 1,1 juta hektare, dan konsesi Migas seluas 1 juta hektare.
Juga terdapat 190 ribu hektare Wilayah Adat yang tercakup ke dalam Area of Interest (AoI) Food Estate di 4 Provinsi (Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua), terluas di Papua sebesar 123 ribu hektare, disusul Kalimantan Tengah seluas 66 ribu hektare.
Selain tumpang-tindih dengan izin/konsesi, Area of Interest (AoI) Food Estate, dan PIPPIB, Yayasan Madani juga menemukan bahwa masih banyak hutan alam dan ekosistem gambut di Wilayah Adat, masing-masing seluas 5,6 juta hektare dan 878 ribu hektare.
Hal ini menjadi peluang untuk mendukung upaya pemenuhan komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Pasalnya, dokumen Nationally Determined Contribution atau NDC Indonesia telah mengakui traditional wisdom (kearifan lokal) sebagai hal yang dapat menjadi bagian dari upaya penurunan emisi. Oleh karena itu, peran masyarakat hukum adat dalam menjaga keseimbangan lingkungan juga patut mendapatkan perhatian.
Berbagai dorongan untuk mempercepat pengesahan RUU MHA terus bermunculan, namun prosesnya masih sangat lambat. RUU MHA telah masuk ke dalam Prolegnas (program legislasi nasional) pada tahun 2013, 2017, dan 2020. Namun, pengesahan RUU MHA masih juga ‘tersalip’ oleh RUU lain seperti Undang-Undang No. 11 tentang Cipta Kerja dan Revisi Undang-Undang Minerba.
Tahun ini, RUU MHA kembali masuk ke dalam Prolegnas Prioritas dan masih berada dalam tahapan harmonisasi. Namun, pelibatan masyarakat dalam pembahasan RUU MHA dirasakan masih minim.
Berbagai konsultasi yang dilakukan ke berbagai elemen masyarakat sipil selama ini termasuk selama masa pandemi Covid-19 masih belum dirasakan sebagai konsultasi yang “murni”. Apabila dilihat dari konsep tingkatan partisipasi publik Sherry Arnstein, partisipasi masyarakat dalam pembahasan RUU MHA dirasa masih bersifat “tokenistik” atau partisipasi semu.
Banyak masukan mendasar dari organisasi masyarakat adat, masyarakat sipil, dan akademisi yang tidak kunjung diakomodasi dalam draft RUU MHA meskipun sudah berkali-kali diajukan.
Terdapat beberapa perdebatan yang kerap muncul dalam pembahasan substansi RUU MHA, di antaranya perbedaan istilah dan unsur dalam definisi MHA, mekanisme pengakuan MHA yang cenderung politis dan berbelit- belit, serta cakupan perlindungan hak- hak MHA yang terbatas pada MHA yang telah diakui secara formal.
Selain itu, masih ada isu-isu penting yang belum masuk ke dalam cakupan pengaturan RUU MHA, di antaranya hak-hak kolektif ‘perempuan adat’ dan mekanisme pemulihan hak-hak MHA.
Di samping berbagai perdebatan, terdapat indikasi bahwa lambatnya pembahasan RUU MHA terjadi akibat besarnya kepentingan ekonomi-politik yang mewarnai prosesnya di mana konflik kepentingan sulit dihindari. Selain itu, terbitnya Undang-Undang No. 11 tentang Cipta Kerja menambah panjang tantangan yang dihadapi MHA, khususnya dalam harmonisasi substansi RUU.
Disinyalir terdapat dua faktor yang menghambat percepatan pengesahan RUU MHA. Pertama, faktor ekonomi- politik, di mana saat ini mayoritas (55%) anggota DPR RI merupakan pebisnis (318 dari 575). Hal ini memperkuat indikasi terjadinya konflik kepentingan dalam penyusunan undang-undang, termasuk pada penyusunan RUU MHA.
Kedua, disahkannya UU Cipta Kerja beserta peraturan-peraturan turunannya berpotensi menambah panjang daftar masalah yang dihadapi MHA sehingga pengakuan terhadap masyarakat adat seakan berjalan di tempat. (Jekson Simanjuntak)