
Ilustrasi climate change. Dok : Beritalingkungan.com
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Di tengah krisis iklim yang semakin nyata, perempuan pejuang lingkungan dan perempuan adat terus memperjuangkan hak mereka atas wilayah dan sumber penghidupan. Namun, tanpa perlindungan hukum yang kuat, perjuangan ini kerap berakhir pada ketidakadilan dan perampasan ruang hidup.
Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bersama Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menggelar diskusi publik bertajuk “Urgensi UU Keadilan Iklim dan UU Masyarakat Adat sebagai Payung Hukum Perlindungan Hak-Hak Perempuan atas Wilayah dan Sumber-Sumber Penghidupan” pada tanggal 13 Maret 2025 lalu.
Diskusi ini menghadirkan para pejuang perempuan dari berbagai latar belakang, seperti Maria M. M Kbar (Perempuan Mpur Kebar, Tambrauw Papua Barat Daya), Asmania (Perempuan Pejuang Pulau Pari), Fatum Ade (Perhimpunan Jiwa Sehat), serta para akademisi dan aktivis lingkungan.
Perempuan. Penjaga Ekosistem yang Terabaikan
Perempuan adat dan perempuan pejuang lingkungan memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Dengan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun, mereka memahami cara merawat tanah, air, dan hutan secara berkelanjutan. Namun, eksploitasi sumber daya alam dan ketimpangan kebijakan membuat mereka semakin terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan.
“Perempuan pejuang lingkungan menghadapi risiko berlapis. Selain dipinggirkan karena identitas gender, mereka juga harus berhadapan dengan krisis iklim dan perampasan lahan,” ungkap Moriska Pasally dari WALHI Nasional. “Pengesahan UU Keadilan Iklim dan UU Masyarakat Adat adalah kebutuhan mendesak untuk memastikan keadilan sosial dan ekologis bagi perempuan.”
Krisis Iklim Memperburuk Ketidakadilan
Asmania, Perempuan Pejuang Pulau Pari, menyoroti dampak krisis iklim terhadap perempuan pesisir. Laut yang dahulu memberikan penghidupan kini semakin sulit diakses akibat naiknya permukaan air laut dan eksploitasi pesisir oleh korporasi.
“Dulu, kami bisa hidup dari laut, menanam rumput laut dan menangkap ikan kerapu. Sekarang, nelayan harus melaut lebih jauh, hasil tangkapan menurun, dan lahan kami dirampas atas nama pembangunan,” tuturnya. “Perempuan di Pulau Pari tidak tinggal diam. Kami membentuk kelompok perempuan nelayan untuk menjaga dan melindungi pulau kami, karena laut adalah ibu kami—merusaknya sama dengan menyakiti perempuan.”
Saffanah Rezky Azzahrah Andrian, peneliti dari ICEL dan perwakilan ARUKI, menegaskan bahwa dampak perubahan iklim tidak dirasakan secara setara. Perempuan dan anak perempuan adalah kelompok yang paling rentan.
“Hingga kini, belum ada regulasi yang secara khusus mengatur perlindungan perempuan adat dalam konteks perubahan iklim. Kekosongan hukum ini harus diisi dengan RUU Keadilan Iklim yang memastikan keadilan bagi kelompok rentan,” tegasnya.
Perjuangan Masyarakat Adat: Menjaga Hutan, Menyelamatkan Iklim
Bagi Masyarakat Adat Suku Mpur di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, alam bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga identitas dan jati diri. Namun, eksploitasi besar-besaran telah menghancurkan ribuan hektar hutan adat sejak 2014.
“Perempuan Mpur percaya bahwa hukum adat mampu menjaga tanah kami, tetapi di hadapan hukum negara, suara kami lemah,” ujar Maria Kebar. “Perempuan adat dari tujuh wilayah adat Papua harus bersatu melawan perampasan tanah. Papua ini rumah kita, Papua ini saya, Papua ini kita semua!”
Mendesak DPR: Segera Sahkan RUU Keadilan Iklim dan RUU Masyarakat Adat
Veni Siregar dari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menekankan bahwa pengakuan hak-hak Masyarakat Adat adalah langkah penting untuk memberikan perlindungan hukum bagi perempuan adat.
“RUU Masyarakat Adat harus segera dibahas di DPR. Kami berharap Badan Legislasi DPR RI dapat mulai membahasnya pada April 2025 dengan dukungan dari delapan fraksi di DPR,” ujarnya. “Ini bukan hanya perjuangan perempuan adat, tetapi perjuangan kita semua.”
Dengan meningkatnya dukungan dari berbagai elemen masyarakat, WALHI dan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mengajak seluruh pihak untuk bergabung dalam gerakan menuju kebijakan yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.
“Kami mendorong agar pemerintah dan parlemen segera mengesahkan regulasi yang berpihak pada perempuan dan lingkungan,” pungkas Moriska Pasally (Marwan Aziz).