JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Sebuah laporan baru dirilis Rainforest Action Network (RAN), menyorot sepuluh perusahaan multinasional dan tujuh bank besar, mewakili beberapa perusahaan paling berpengaruh yang terus memicu kerusakan hutan dan pelanggaran hak Masyarakat Adat dan lokal.
Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim (IPCC) telah menyatakan bahwa mengurangi deforestasi dan degradasi ekosistem alami adalah salah satu cara paling efektif untuk mengurangi perubahan iklim secara global, melalui laporan berjudul Mempertahankan Tegakan Hutan: Mengungkap Merek dan Bank Pemicu Deforestasi ini diuraikan bagaimana praktik bisnis merek-merek dan bank-bank ini terus menghancurkan hutan hujan tropis yang kritis, dan dalam beberapa kasus, gagal menegakkan komitmen mereka sendiri untuk mengakhiri deforestasi serta menghormati hak-hak Masyarakat Adat dan lokal pada tahun 2020.
“Kita hidup dalam situasi yang tidak terduga dalam banyak hal. Krisis deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim terus berlangsung dan mereka sebagian besar didorong oleh perusahaan dan bank-bank ini,” ujar Direktur Kampanye RAN, Robin Averbeck dalam keterangan persnya yang diterima Beritalingkungan.com (25/4/2020) .
“Sepuluh tahun lalu, banyak perusahaan-perusahaan ini membuat komitmen untuk mengakhiri deforestasi dan pelanggaran Hak Masyarakat Adat dari praktik bisnis mereka, seluruh perusahaan ini gagal untuk mencapai komitmen ini. Waktunya sudah lewat bagi perusahaan-perusahaan ini untuk membuktikan komitmen ini dan sekarang kami meminta pertanggung jawaban mereka.”tuturnya.
Dirilisnya laporan ini juga menandai peluncuran kampanye baru RAN untuk 17 perusahaan paling berpengaruh di dunia yang bisa menentukan nasib hutan hujan di Indonesia, Amazon, dan Lembah Congo.
RAN menghimbau perusahaan dan bank-bank ini agar mengadopsi dan menerapkan praktik terbaik kebijakan ‘nol deforestasi, nol gambut, dan nol eksploitasi’ (NDPE) diseluruh rantai pasok komoditas yang berisiko merusak hutan, investasi (termasuk usaha patungan), dan seluruh bentuk usaha pelayanan keuangan hingga level grup usaha. RAN juga menuntut adanya perhatian atas hak-hak Masyarakat Adat dan masyarakat lokal dalam semua upaya untuk mereformasi rantai pasok serta melindungi dan memulihkan hutan, ekspansi
Perusahaan dan bank yang diungkap dalam laporan tersebut meliputi Colgate-Palmolive, Ferrero, Kao, Mars, Mondelēz, Nestlé, Nissin Foods, PepsiCo, Procter & Gamble, dan Unilever.
Sedangkan bank dan sektor keuangan yang disorot mendanai deforestasi adalah Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG), Bank Negara Indonesia (BNI), CIMB, Commercial Bank of China (ICBC), DBS, ABN Amro, dan JPMorgan Chase.
Tujuh bank paling berpengaruh yang disorot dalam laporan ini secara keseluruhan telah gagal mengakui dampak luar biasa dari praktik pembiayaan mereka terhadap perlindungan hutan dan hak-hak masyarakat. Bank-bank ini juga gagal mengungkapkan risiko material dari pinjaman tersebut kepada pemegang saham dan lembaga regulator keuangan.
Bank ikut mendanai, mendorong sisi permintaan dan penawaran untuk deforestasi hingga mencapai ratusan miliar dolar per tahun. Sebagian besar pembiayaan dunia untuk komoditas yang berisiko merusak hutan berasal dari bank-bank yang berpusat di Cina, Indonesia, Jepang, Malaysia, dan Singapura, dengan bank-bank Eropa dan Amerika Serikat yang juga memicu masalah ini.
Dalam laporan ini juga disorot peran tujuh bank berpengaruh yang mewakili masing-masing pusat keuangan ini, ketujuh bank ini termasuk sektor perbankan secara keseluruhan, telah gagal mengakui dampak luar biasa dari praktik pembiayaan mereka terhadap kerusakan hutan dan pelanggaran hak. Bank-bank ini juga gagal mengungkapkan risiko material dari pinjaman tersebut kepada pemegang saham dan regulator keuangan.
“Miliaran dolar dana dari bank digunakan untuk menopang krisis deforestasi dan keanekaragaman hayati, dan ini harus dihentikan. Bank-bank yang disorot adalah beberapa bank terbesar di dunia, dan bank-bank ini secara rutin menyetujui pembiayaan yang melanggar komitmen lingkungan dan hak asasi mereka sendiri,” kata Averbeck.
“Uang terus mengalir bahkan ketika klien diketahui melanggar hukum lokal dan nasional. Hubungan keuangan dan bisnis yang saling terkait antara perusahaan merek, bank, dan perusahaan-perusahaan kehutanan atau agribisnis yang paling berpengaruh menunjukkan bahwa mereka semua bersalah dan bergantung pada peran satu sama lain dalam lingkaran kehancuran ini.”bebernya.
Laporan ini untuk pertama kalinya memaparkan, bagaimana masing-masing merek dan bank terhubung satu sama lain dan terkait dengan perusahaan kehutanan dan agribisnis yang diketahui secara aktif menyebabkan atau berkontribusi terhadap deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia dalam produksi komoditas atau operasi pemrosesan di Indonesia.
Melalui rantai pasok perusahaan komoditas yang berisiko merusak hutan ––termasuk minyak sawit, pulp, dan kertas–– perusahaan-perusahaan yang disebutkan dalam laporan tersebut telah terlibat dalam penghancuran jutaan hektar hutan hujan tropis dan lahan gambut di Indonesia melalui dukungan investasi dan kesepakatan bisnis dengan perusahaan kehutanan dan agribisnis (Wan)