
Kerusakan jembatan di kecamatan Cisarua akibat banjir awal Maret 2025 lalu. Foto : FWI>
BOGOR, BERITALINGKUNGAN.COM– Banjir yang melanda Kawasan Puncak Bogor diawal Maret 2025 kembali menegaskan krisis ekologis yang kian mengkhawatirkan.
Hujan deras dalam beberapa hari terakhir menyebabkan Sungai Ciliwung meluap, merendam permukiman, merusak infrastruktur, dan melumpuhkan akses vital dari Bogor ke Puncak. Jakarta dan Bekasi juga terkena dampaknya akibat luapan Sungai Ciliwung dan Kali Bekasi. Di balik bencana ini, kerusakan hutan di hulu sungai menjadi penyebab utama yang semakin memperparah situasi.
Laporan dari Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkap fakta mencengangkan: lebih dari 2.300 hektare hutan di hulu Sungai Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane telah rusak dalam periode 2017–2023. Hilangnya hutan sebagai penahan air menyebabkan peningkatan run-off atau aliran permukaan yang mempercepat banjir di kawasan hilir.
Deforestasi Hulu DAS: Akar Masalah Banjir
Juru Kampanye Hutan Tsabit Khairul Auni dari FWI menjelaskan bahwa hutan memiliki peran kunci dalam menyerap dan menyimpan air hujan ke dalam tanah. Ketika hutan mengalami deforestasi akibat alih fungsi lahan, kemampuan tanah menyerap air menurun drastis. “Alih fungsi hutan di hulu tiga DAS ini menyebabkan air hujan langsung mengalir ke sungai tanpa sempat terserap oleh tanah, memperparah banjir di kawasan hilir,” ujar Tsabit dalam keterang persnya yang diterima Beritalingkungan.com (12/03/2025).
Ia mengungkapkan dalam lima tahun terakhir, kawasan hutan di Kecamatan Megamendung dan Cisarua mengalami kerusakan signifikan. Dari total 310 hektare hutan yang hilang, 208,76 hektare berubah menjadi perkebunan, 26,64 hektare menjadi lahan terbangun, dan 75,33 hektare menjadi lahan terbuka. Pembangunan villa, objek wisata, rest area, serta permukiman tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan memperburuk kondisi tersebut.
Krisis Tata Ruang dan Kebijakan yang Memfasilitasi Alih Fungsi
Juru Kampanye FWI lainnya, Anggi Putra Prayoga, mengkritisi perubahan kebijakan tata ruang yang mempercepat konversi lahan di hulu sungai. Data menunjukkan bahwa kawasan lindung di Kabupaten Bogor mengalami penyusutan 71.595 hektare, akibat perubahan kebijakan dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 tentang RTRW Kabupaten Bogor.
Sebelumnya, kawasan perkebunan teh dan hutan produksi di Puncak berfungsi sebagai daerah resapan air, tetapi kini berubah menjadi kawasan budidaya, memungkinkan pembangunan lebih leluasa.
“Hutan di tiga DAS ini terus dikalahkan oleh kepentingan ekonomi dan pembangunan. Saat ini, hutan yang tersisa di DAS Ciliwung hanya 14%, Kali Bekasi 4%, dan Cisadane 21%. Padahal, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 mengamanatkan bahwa setidaknya 30% dari luas DAS harus berupa kawasan hutan,” jelas Anggi.
Kebijakan pemerintah juga memperparah kondisi ini. Sekitar 23.000 hektare hutan di ketiga DAS telah ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi, yang lebih berfokus pada hasil kayu dibandingkan dengan jasa lingkungan seperti perlindungan sumber air dan pencegahan banjir. Akibatnya, eksploitasi hutan secara legal semakin meningkat.
Solusi dan Urgensi Perlindungan Hutan
Tanpa langkah serius dalam konservasi, krisis ekologis di wilayah Jabodetabek akan semakin parah. FWI mendesak pemerintah untuk:
✅ Menghentikan alih fungsi lahan di kawasan hulu DAS yang telah mencapai titik kritis.
✅ Merevisi kebijakan tata ruang yang mempersempit kawasan lindung dan mempercepat deforestasi.
✅ Mengembalikan fungsi hutan lindung sebagai penyangga ekosistem dengan program rehabilitasi dan reforestasi.
✅ Meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap aktivitas yang merusak lingkungan.
Kasus Hibisc Fantasy Puncak, sebuah objek wisata yang berdiri di atas lahan resapan air yang sebelumnya merupakan kebun teh, menjadi contoh nyata bagaimana eksploitasi lingkungan berlangsung tanpa kendali. Jika tidak ada intervensi nyata dari pemerintah dan kesadaran kolektif masyarakat, bencana ekologis ini hanya akan menjadi siklus tahunan yang terus berulang dengan dampak yang semakin parah.
“Hutan bukan sekadar tegakan pohon yang bisa dikorbankan untuk kepentingan ekonomi. Hutan adalah sistem penyangga kehidupan yang harus kita jaga demi keberlanjutan generasi mendatang,” pungkas Anggi (Marwan Aziz).