JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Peneliti Senior Institute for Essential Services Reform (IESR) Handriyanti Diah Puspitarini mengatakan, listrik merupakan sumber energi dominan pada sistem energi masa depan, seiring maraknya kendaraan listrik dan elektrifikasi sektor industri. Untuk itu, perlu dipastikan agar sumber energi dalam elektrifikasi sektor tersebut berasal dari energi yang ramah lingkungan.
Namun pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih menemui sejumlah tantangan, baik dari sisi teknis, maupun dari segi regulasi, ekonomi, sosial dan lingkungan. Dari sisi regulasi, Indonesia belum memiliki peraturan komprehensif yang mendukung pembangunan energi terbarukan secara penuh.
“Peraturan belum secara komprehensif mengatur tarif, insentif, subsidi, dan pengurangan risiko yang berhubungan dengan segala aktivitas pengembangan energi baru terbarukan. Beberapa peraturan terkait, seperti tarif, sedang disiapkan tapi belum diluncurkan,” kata Yanti dalam Energy Transition Dialogue (IETD) 202, Rabu (22/09).
Dari sisi investasi, Yanti memaparkan tantangan lainnya, yaitu kurangnya ketersediaan pendanaan dari institusi keuangan lokal dan terbatasnya proyek energi terbarukan yang bankable atau memenuhi persyaratan bank untuk mendapatkan kredit usaha.
Menurut Yanti, untuk mengatasi tantangan tersebut diperlukan dukungan regulasi yang jelas terlebih dahulu. Selain itu, masyarakat juga perlu ditingkatkan kesadarannya untuk mendukung potensi energi terbarukan.
Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa solusi teknis bisa ditemukan selama teknologi energi baru Indonesia bersifat ekonomis.
“Karena kita punya teknologi dan sumber daya untuk menyerap emisi, kita dapat memaksimalkan apa yang kita miliki untuk menekan emisi,” katanya.
Selanjutnya terkait pendanaan proyek saat ini, menurut Dadan, justru banyak investor sedang mengantri untuk berinvestasi di energi terbarukan. Agar pembiayaan tersebut berjalan efektif, pemerintah harus membuat prioritas tentang jenis energi terbarukan yang akan dikembangkan.
“Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang sudah ditandatangani tersebut, kita akan memberikan fokus lebih luas terhadap PLTS. Sementara untuk proyek yang sudah ada, seperti proyek panas bumi akan terus diekspansi, demikian juga PLTA,” jelasnya.
CEO Pertamina Power Indonesia, Dannif Danusaputro mengamini bahwa saat ini banyak pihak yang ingin berinvestasi dalam proyek EBT di Indonesia. Sebab, dukungan pendanaan dari investor semakin terbatas untuk berinvestasi di proyek energi fosil dengan semakin menguatnya komitmen iklim banyak negara di dunia.
“Masalahnya mereka mencari proyek yang sizenya cukup besar, dan kita belum terlalu banyak proyek dengan ukuran besar, katakanlah di atas 50 MW. Proyek yang di atas itu yang perlu dikembangkan agar bankable,” kata Dannif.
Ulrike Lehr, Kepala Sosial Ekonomi dan Kebijakan, IRENA tidak menampik jika pertumbuhan ekonomi yang rendah karbon semakin menguat di masa depan. Bahkan rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan lebih tinggi di tahun 2050 ketika beralih ke energi bersih.
Selanjutnya, permasalahan sosial yang muncul akibat hilangnya pekerjaan di industri tambang fosil dan bahan bakar fosil dapat dikompensasi dengan mudah seiring terbukanya lapangan pekerjaan di industri lainnya yang akan tumbuh lebih cepat.
“Tentu membutuhkan seperangkat kebijakan untuk mendukung pengembangan energi terbarukan, mengintegrasikan regulasi dalam sistem jaringan, perubahan yang struktural, dan kebijakan transisi energi yang berkeadilan, serta menjaring dukungan dan penerimaan penuh dari masyarakat luas terhadap energi terbarukan,” katanya. (Jekson Simanjuntak)