Ilustrasi pemanasan global. Foto : EPFL.
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM– Peneliti dari EPFL (École Polytechnique Fédérale de Lausanne) mengembangkan sistem penilaian baru untuk mengevaluasi keandalan model iklim yang digunakan dalam laporan terbaru IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). Temuan mereka menunjukkan bahwa model yang memprediksi pemanasan global yang lebih ekstrem harus diambil dengan serius.
Dalam upaya memahami bagaimana iklim masa depan akan berkembang, para ilmuwan di seluruh dunia membangun model iklim Bumi dengan menggunakan data observasi yang sangat besar. Namun, salah satu pertanyaan yang muncul adalah: model mana yang paling mungkin mencerminkan kondisi iklim Bumi di masa depan dengan tepat?
Untuk menjawab pertanyaan ini, para peneliti di EPFL menciptakan sistem penilaian yang mengelompokkan hasil model iklim dari komunitas ilmiah global. Mereka menemukan bahwa sekitar sepertiga dari model-model tersebut kurang akurat dalam mereproduksi data suhu permukaan laut yang ada saat ini. Sepertiga lainnya dinilai tangguh tetapi tidak terlalu sensitif terhadap emisi karbon. Namun, sepertiga sisanya, meskipun tangguh, memprediksi masa depan yang jauh lebih panas bagi planet ini karena sensitivitas tinggi terhadap emisi karbon. Hasil ini dipublikasikan di Nature Communications.
“Kami menunjukkan bahwa model-model yang sensitif terhadap karbon, yang memprediksi pemanasan yang jauh lebih kuat daripada estimasi IPCC yang paling mungkin, ternyata masuk akal dan harus dianggap serius,” ujar Athanasios Nenes, profesor di Laboratorium Proses Atmosfer dan Dampaknya di EPFL, serta penulis utama studi ini seperti dikutip Beritalingkungan.com dari laman EPFL (16/10/2024).
Penelitian ini mengungkap bahwa tindakan pengurangan emisi karbon saat ini, yang didasarkan pada estimasi sensitivitas karbon yang lebih rendah, mungkin tidak cukup untuk mencegah pemanasan global yang sangat ekstrem.
Pendekatan Big Data untuk Menilai Keandalan Model Iklim
Sejak pertengahan 1800-an, komunitas ilmiah telah secara sistematis mengamati Bumi, mengukur variabel meteorologi seperti suhu, kelembaban, tekanan atmosfer, angin, dan curah hujan. Dengan teknologi observasi yang semakin maju, jumlah data yang tersedia sangat besar. Tantangan utamanya adalah bagaimana memanfaatkan informasi ini untuk memprediksi masa depan iklim secara akurat.
Para peneliti EPFL mengembangkan alat bernama “netCS” yang menggunakan pembelajaran mesin untuk mengelompokkan hasil model iklim berdasarkan wilayah dan membandingkannya dengan data yang ada. Dengan alat ini, ilmuwan dapat menentukan model mana yang paling akurat mereplikasi pengamatan saat ini dan kemudian memberi peringkat model tersebut.
Pendekatan ini memberikan metode yang cepat dan efektif untuk mengevaluasi model iklim dan melengkapi evaluasi model yang sudah ada berdasarkan catatan sejarah, paleoklimat, dan pemahaman proses.
Nenes menambahkan bahwa keadaan iklim saat ini mirip dengan ramalan mitologi Yunani. Seperti Cassandra yang dapat meramalkan masa depan namun tak didengarkan, para ilmuwan iklim sering kali merasa diabaikan. Namun, hal ini seharusnya tidak membuat mereka berhenti berusaha, melainkan menjadi pemicu untuk mengambil tindakan nyata dalam menghadapi perubahan iklim.
Penelitian ini didukung oleh program penelitian Horizon 2020 Uni Eropa dan beberapa proyek lainnya, termasuk iMIRACLI, FORCeS, dan CleanCloud (Marwan Aziz)