JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Penanganan masalah sampah di Indonesia masih menjadi pekerjaan yang belum terselesaikan hingga kini, terutama dengan adanya sampah plastik yang tidak dapat terurai secara alami di alam.
Pengelolaan sampah di Indonesia saat ini banyak menggunakan model landfill, dengan menampung sampah seluruhnya ke tempat pembuangan akhir (TPA). Sedangkan negara maju lebih memilih menggunakan teknologi incinerator dengan biaya yang sangat tinggi.
Menurut Ketua Umum Koalisi Pemantau Plastik Ramah Lingkungan Indonesia (KPPL-I) Nasional, Puput TD Putra, penanganan sampah dengan pola landfill yang langsung dibawa ke TPA, sudah sesuai dengan peraturan perundangan di Indonesia, yaitu UU No.18 Tahun 2008. Namun, dalam UU itu juga disebutkan bahwa sampah yang dibawa ke TPA haruslah sampah yang mudah terurai.
“Kebanyakan sampah, khususnya sampah plastik yang dibawa ke TPA ini tidak mudah terurai. Padahal ini sudah ada di Undang-Undang,” kata Puput TD Putra kepada Beritalingkungan.com.
Keberadaan sampah plastik yang membutuhkan ratusan tahun untuk terurai di TPA, tentu menjadi persoalan tersendiri karena keterbatasan daya tampung TPA. Puput TD Putra mengatakan, pemerintah bersama pihak terkait perlu segera mencarikan solusi pengurangan sampah plastik di masyarakat maupun di TPA, agar tidak terjadi lagi peristiwa longsornya TPA Leuwigajah di Jawa Barat pada 21 Februari 2005 yang menewaskan 157 orang. KPPL-I kata Puput TD Putra, ingin mengajak masyarakat mengubah pola perilaku dengan mengurangi pemakaian plastik yang hanya jadi sampah di TPA dan tidak dapat terurai.
“Saat ini solusi pengurangan plastik ada berbagai macam, salah satunya mengganti plastik biasa atau konvensional dengan plastik yang mudah terurai. Alternatif ini dibutuhkan, karena sampai sekarang plastik yang dibuang di TPA butuh ratusan tahun untuk terurai,” ujar mantan Direktur WALHI Jakarta ini.
Praktisi sekaligus penemu teknologi Oxo Bio Degradable di Indonesia, Sugianto Tandio mengatakan, penanganan sampah di Indonesia harus dilihat secara menyeluruh. Teknologi menjadi salah satu pilihan dalam pengolahan sampah, yang di dunia terdapat dua pilihan yakni teknologi landfill atau TPA, serta pemakaian incinerator. Hal ini tidak lepas dari kondisi Indonesia yang memiliki ribuan pulau, lahan yang luas, dan kemampuan ekonomi setiap daerah yang tidak sama.
Pemerintahan pada 2008 lalu telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) 35/ 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, terutama di 7 kota, yaitu Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar. Pemakaian dua teknologi yakni landfill dan incinerator kata Sugianto Tandio, adalah pilihan teknologi yang memungkinkan upaya penanganan sampah di masyarakat.
“Di daerah yang mampu secara ekonomi, keberadaan incinerator sangat tepat karena jadi solusi cepat. Sedangkan daerah yang belum mampu, landfill ini masih sangat dibutuhkan. Mau TPA atau incinerator itu kan teknologi, dua-duanya bagus,” kata Sugianto.
Sistem landfill atau model TPA masih banyak dipakai dalam pengelolaan sampah di Indonesia. Sugianto menyebut ada 3 macam pengelolaan sampah model TPA, yaitu open dumping, control landfill dan sanitary landfill. Namun, pada kenyataannya masih banyak TPA di daerah-daerah di Indonesia yang memakai model open dumping, dan sekitar 15 persen sampah plastik tidak dapat terurai di TPA.
“Di UU Sampah tertulis, semua sampah yang ke TPA harus terurai, tapi sekarang ini kenyataannya sekitar 70 persen sampah yang ke TPA adalah sampah organik,” kata Sugianto.
Sulitnya pengelola sampah juga tidak lepas dari perilaku masyarakat, yang belum sadar terhadap pentingnya mengolah sampah dari rumahnya sendiri. Kebiasaan mengurangi pemakaian plastik sekali pakai dipengaruhi oleh tingkat pendidikan serta ekonomi masyarakat, yang masih enggan membeli kantong belanja sekali pakai atau plastik yang mudah terurai.
Di dunia saat ini terdapat 3 teknologi plastik yang mudah terurai. Pertama compostable plastic, bio-based plastic, serta Oxo Bio Degradable Adictif. Ketiganya merupakan pilihan yang dapat dipakai sebagai upaya mengganti dan mengurangi keberadaan plastik yang tidak mudah terurai di alam.
“Ketiganya ini bisa terurai di TPA karena sudah terbukti. Jadi teknologi sudah ada, tinggal mau pakai yang mana. Yang Oxo Bio Degradable Adictif ini tidak perlu 1.000 tahun untuk terurai, tapi cukup 2 sampai 5 tahun, dan harganya 0-20 persen diatas plastik biasa,” terang Sugianto.
Sugianto juga menyebut produk teknologi Oxo Bio Degradable telah memiliki eco label SNI dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan standard ASTM. Selain itu, dibutuhkan manajemen sampah yang baik, selain adanya teknologi pengolahan sampah. Sugianto mengatakan, keberadaan plastik yang mudah terurai saat ini masih belum banyak ditemui di pasaran, sehingga masyarakat belum banyak mengenal. Ia setuju dengan pelarangan menggunakan plastik sekali pakai yang butuh ratusan, bahkan seribu tahun untuk terurai. Namun, pemerintah perlu mencarikan solusi sebagai penggantinya.
“Setelah plastik dilarang harus ada solusi penggantinya. Nah, plastik yang mudah terurai ini bisa jadi alternatif solusi, meski sekarang ini juga masih banyak perdebatan,” ujar Sugianto.
Penanganan masalah sampah yang selama ini dikenal adalah dengan 3R, yaitu reduce, reuse, dan recycle. Model penanganan sampah dengan 3R ini telah berjalan sekitar 40-50 tahun, namun hingga kini masih belum mampu menyelesaikan persoalan sampah. Sugianto berpendapat bahwa perlu tambahan R yang lain agar penanganan sampah dapat berjalan secara komprehensif. R keempat disebut return to earth sebagai, atau 4R penanganan sampah. Return to earth yakni mengembalikan plastik ke bumi sebagai asalnya, atau restore yaitu mengembalikan plastik pada asalnya sebagai minyak bumi.
“3R itu bagus, tapi tidak menyelesaikan masalah. Setelah 3R, ini selanjutnya masih harus dibuang ke TPA, dan tetap jadi masalah kalau tidak dapat terurai. Maka dibutuhkan 4R, yaitu return to earth, dikembalikan ke bumi. Kata terurai secara alami itu ada di UU Sampah kita, secara legal sampah harus sampai ke TPA,” lanjut Sugianto.
Ketua Perkumpulan Persampahan Indonesia atau Indonesia Solid Waste Association (InSWA), Sri Bebassari mengungkapkan, mengatasi persoalan sampah di Indonesia tidak cukup hanya berbicara mengenai teknologi saja. Dalam menangani sampah terdapat 4 aspek yang penting, yaitu pengaturan, kelembagaan, sosial budaya, serta teknologi. Plastik kata Sri, merupakan suatu teknologi di kehidupan modern yang tidak dapat disalahkan sebagai penyebab masalah lingkungan secara global. Namun, yang menjadi sumber masalah adalah cara membuang dan memakai plastik.
“Jadi, kemajuan teknologi tidak seimbang dengan kemajuan manusianya, kemajuan pendidikannya, ini kelemahan kita. Teknologi apapun kalau salah pakai bisa jadi bencana,” kata Sri Bebassari.
Perdagangan plastik kata Sri Bebassari, juga dinilai terlalu bebas dan tidak memikirkan bagaimana cara memakai dan membuangnya. Di negara-negara maju dengan pemakaian plastik yang lebih banyak, kemajuan teknologi yang dimiliki juga disertai dengan kemajuan dibidang pendidikan dan peraturan. Sri mencontohkan, di UU 18/ 2008 pada pasal 15 menyebutkan bahwa produsen harus bertanggung jawab terhadap produk dan kemasannya. Maka, produsen harus memiliki program after consumers, yang memastikan ke mana produk setelah dipakai atau dikonsumi konsumennya.
“Itu yang belum ada, dan ini harusnya pemerintah membuat peraturan. Pengusaha mengikuti, sementara masyarakat hanya bisa ikut sebagai konsumen. Produsen juga harus bertanggung jawab pada program pengumpulan bekas kemasan, kalau mau didaur ulang seperti apa. Jadi, sumber sampah utamanya itu justru dari pabrik atau produsen,” tutur Sri.
Sri juga menyoroti pembangunan bidang persampahan di Indonesia yang masih sangat tertingal dibanding dengan negara-negara lain, sehingga memerlukan penanganan yang sangat serius. Pengurangan plastik konvensional sekali pakai diganti dengan plastik yang mudah terurai, masih perlu upaya lebih keras dari para pihak. Peredaran produk plastik mudah terurai masih sangat sedikit, khususnya di pasar tradisional masih 99 persen menggunakan plastik konvensional karena alasan harga yang murah.
Penggunaan plastik mudah terurai kata Sri, dapat menjadi salah satu solusi, selama di Indonesia masih dominan menggunakan model TPA untuk pengolahan sampahnya. Sementara di negara maju, penggunaan plastik mudah terurai atau konvensional tidak terlalu berpengaruh, karena negara maju banyak memakai incinerator.
“Salah satu solusinya bikinlah plastik yang mudah terurai, sehingga pada saat sampah itu sampai ke TPA, bisa hancur, bisa terurai,” ujar Sri.
Perdebatan mengenai pengolahan sampah plastik dengan cara di daur ulang, menurut Sri Bebassari perlu dipikirkan secara serius, karena daur ulang plastik dapat berjalan baik bila pemilahan di tingkat rumah juga telah berjalan dengan baik. Selama ini, plastik yang tidak dapat terurai masih ditemukan di TPA, yang artinya proses daur ulang di tingkat rumah tangga masih minim. (Wan)