JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah merespons turunnya Nilai Tukar Petani (NTP) dalam 3 tahun terakhir. Menurutnya, hal itu membuktikan bahwa indeks harga yang diterima petani masih kecil, sedangkan indeks harga yang dibayar petani cenderung mengalami kenaikan.
Secara teori, ketika Nilai Tukar Petani (NTP) besarannya dibawah 100, maka pengeluaran petani jauh lebih besar ketimbang pendapatan yang diterima. “Artinya, petani kita saat ini tidak sejahtera,” ungkap Said Abdullah yang akrab disapa Ayip.
Dengan kondisi demikian, kehidupan petani di Indonesia tidak banyak berubah. Mereka masih berkutat pada minimnya akses terhadap sumber-sumber produksi (pupuk, saprodi), tata niaga hingga fluktuasi harga. Selain itu, konflik terkait lahan masih marak terjadi.
“Permasalahan dari hulu hingga hilir itu menyebabkan belum ada perubahan signifikan dalam konteks petani,” ujarnya.
Jika dikaitkan dengan regulasi kebijakan, Ayip melihat pola pendekatan pembangunan pertanian masih berorientasi peningkatan produksi. Kebijakan tersebut belum menyasar kesejahteraan dan keberlanjutan petani secara utuh.
“Petani seolah-olah dipaksa untuk fokus pada produksi saja. Tidak peduli kesejahteraan yang ditandai dengan harga di tingkat petani,” paparnya.
Ketika kebijakan yang dibuat orientasinya masih high production dengan tidak mempertimbangkan konsep agroekologi, petani akan terjebak pada penggunaan input pertanian yang justru menghasilkan emisi lebih banyak.
“Terbukti, penggunaan pupuk, herbisida, pestisida di kalangan petani masih mengandalkan chemical. Mereka belum beralih ke bahan-bahan yang ramah lingkungan,” terang Ayip.
Seharusnya petani diarahkan untuk mengurangi bahan-bahan kimia tersebut, karena berdampak buruk terhadap lingkungan. Untuk itu, pendekatan konsep agroekologi harus terus digaungkan.
“Dengan agroekologi, petani mempertimbangkan aspek ekologi di dalam desain pengelolaan pertanian. Mulai dari perencanaan hingga pengelolaan sistem pertanian pangan,” paparnya.
Itu sebabnya, di peringatan Hari Tani Nasional yang jatuh setiap tanggal 24 September, Ayip mengajak semua pihak untuk lebih peduli menyikapi krisis pangan yang terjadi secara global.
“Konflik Ukraina – Rusia, seharusnya menjadi momentum bagi kita memperkuat sistem pangan nasional, termasuk meningkatkan pengetahuan petani,” ujarnya.
Untuk itu, petani harus didorong melakukan kemandirian pangan, dengan tidak tergantung pada impor negara. Pasalnya, importasi bahan pangan acap kali tidak didasarkan pada kebutuhan. Impor justru dilakukan saat pasokan sedang tinggi.
Hal itu menjadi catatan penting tentang rentannya sistem pangan kita. Untuk memperbaiki situasi tersebut dalam waktu singkat, bisa dikatakan mustahil di tengah daya dukung sistem pangan kita yang menurun.
Situasinya diperburuk dengan degradasi lingkungan hidup, perubahan iklim, ketimpangan dan kerentanan sosial, sehingga memperberat upaya pemulihan sistem pangan kedepan.
Belum lagi, kerusakan hutan, berkurangnya keanekaragaman hayati, menurunnya kualitas kesuburan tanah dan air untuk pertanian, cuaca ekstrim, ledakan hama dan penyakit menjadi realitas yang kita saksikan sehari-hari.
“Ini merupakan momentum yang tepat untuk melihat semua persoalan yang dihadapi petani. Termasuk kuat menghadapi krisis global akibat konflik,” ujarnya.
Krisis Iklim
Momentum Hari Tani Nasional, menurut Ayip harus dimaknai sebagai peran petani dalam mengatasi krisis iklim. “Perubahan iklim itu nyata dan sektor paling terdampak adalah pertanian,” ungkapnya.
Jika tidak ditangani dengan serius, akan menciptakan masalah besar di kemudian hari, seperti terjadinya krisis pangan dan ketergantungan terhadap produksi negara lain. Untuk itu, Ayip menyarankan agar petani dilengkapi dengan sejumlah pengetahuan terbaru tentang krisis iklim.
“Salah satunya terkait dengan pola adaptasi. Di lapangan saya melihat kemampuan adaptasi petani masih lemah,” ujarnya.
Hal itu terjadi karena minimnya akses informasi yang didapatkan petani. Situasinya kian memburuk seiring terbatasnya akses teknologi yang ramah terhadap petani.
“Karena itu saya menyebutnya, masih banyak PR di lapangan yang harus dibenahi oleh pemerintah,” ungkapnya.
Jika kedua hal itu tidak dibereskan, dikhawatirkan akan berdampak terhadap pola adaptasi yang rendah. Pola adaptasi yang rendah akan berkorelasi terhadap produktivitas yang juga rendah.
Ayip kemudian menjelaskan kondisi yang terjadi baru-baru ini. Menurutnya, kasus tingginya harga cabai di pasaran, berawal dari fakta bahwa petani gagal panen di saat musim kemarau basah.
Seharusnya di musim kemarau basah, petani mampu melakukan sejumlah langkah antisipasi, jika mereka mengerti tentang pola adaptasi terhadap iklim yang berubah. Sayangnya, yang terjadi di lapangan tidak demikian. Mereka cenderung pasrah dan tidak berbuat apa-apa.
“Bayangkan jika hal itu terjadi di sektor beras. Ketika harga gabah naik tinggi, risiko di tingkat petani juga besar,” ujar Ayip. Seandainya tidak ada perlakuan khusus, dipastikan akan berdampak terhadap ketahanan pangan secara nasional. Dalam kondisi terburuk turut mengganggu stabilitas keamanan dan politik di dalam negeri.
“Ketahanan pangan harus menjadi pertimbangan serius, selain pembagian yang adil terhadap petani,” tegasnya.
Fakta lainnya, krisis iklim telah mengacaukan masa tanam. Musim hujan yang datang lebih cepat atau musim kemarau yang berkepanjangan, telah menciptakan ketidakpastian siklus pertanian.
“Hasil panen jadi tidak menentu bahkan gagal panen semakin sering terjadi,” katanya.
Untuk itu, Ayip mengusulkan agar kebijakan diarahkan pada upaya mendorong kapasitas petani, tidak hanya terkait dengan produksi, namun juga terkait literasi dan penguasaan teknologi yang ramah lingkungan.
Selama ini, terlihat ada kesenjangan (gap) yang sangat besar antara policy (kebijakan) dengan kondisi lapangan yang dialami petani. Gap tersebut justru membuat petani semakin terpinggirkan, ketika harga jual rendah, sementara harga bibit, pupuk dan pestisida tetap tinggi.
“Ini harus dicari titik temunya, sehingga kebijakan yang dibuat mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Bukan malah sebaliknya,” ujar Ayip.
Konsep Agroekologi
Saat ini, menurut Ayip, konsep pertanian yang mengintegrasikan secara komprehensif aspek lingkungan hingga sosial ekonomi masyarakat pertanian ramai diperbincangkan. Konsep itu dikenal dengan sebutan agroekologi.
“Agroekologi merupakan mekanisme bertani yang dapat memenuhi tiga kriteria, yakni keuntungan ekonomi, keuntungan sosial bagi keluarga tani dan masyarakat, dan konservasi lingkungan secara berkelanjutan,” terangnya.
Tujuannya adalah untuk memutus ketergantungan petani terhadap input eksternal dan penguasa pasar yang mendominasi sumber daya agraria. Pelaksanaan pertanian agroekologi bersumber dari tradisi pertanian keluarga yang menghargai, menjamin dan melindungi keberlanjutan alam untuk mewujudkan kembali budaya pertanian sebagai kehidupan.
“Dengan demikian, dalam praktiknya, agroekologi dapat dilihat sebagai model pertanian yang menyesuaikan dengan kondisi alam dan iklim setempat. Termasuk merekognisi pengetahuan lokal,” jelas Ayip.
Penerapan agroekologi pada gilirannya ikut berdampak pada desain dan pengelolaan ekosistem pertanian berkelanjutan. Pendekatannya tetap berbasis pada pengetahuan tradisional, pertanian alternatif, dan pengalaman sistem pangan lokal.
“Tak hanya itu, keterkaitan ekologi, budaya, ekonomi, dan komunitas berpengaruh nyata terhadap keberlanjutan produksi pertanian, kesehatan lingkungan, dan kelestarian pangan dan masyarakat,” ungkapnya.
Dengan begitu, agroekologi bukan sekadar pengetahuan yang berasal dari masa lalu (pengetahuan tradisional), namun pendekatan menyeluruh terhadap pengembangan sistem pertanian yang didasarkan pada pengetahuan lokal, dipadu pengetahuan dan teknologi terbaru.
“Untuk itu, pertanian di Indonesia harus bisa bertransformasi dari corak pertanian tradisional yang sarat penggunaan bahan kimia menuju corak pertanian agroekologi,” tegas Ayip.
Peran perempuan
Pembangunan sektor pertanian, menurut Ayip tidak bisa dilepaskan dari peran perempuan. Perempuan terbukti berperan penting dalam pengembangan lanskap pertanian berkelanjutan.
“Namun pengakuan terhadap kontribusi perempuan di sektor ini masih lemah. Padahal sangat jelas food production tidak bisa dilepaskan dari perempuan,” ujarnya.
Di banyak daerah, petani pria masih mendominasi hak atas tanah dan keputusan dalam pengelolaan lahan.
“Terlebih dipulau Jawa, dimana sistem patriarki masih dijunjung tinggi di sebagian besar wilayah, terutama di pedesaan,” terang Ayip.
Dalam sistem patriarki, laki-laki bertugas memberikan nafkah bagi keluarganya, sedangkan perempuan hanya bertugas mengurus rumah tangga dan mengasuh anak.
Namun, seiring tekanan ekonomi yang terus meningkat, para lelaki yang sebelumnya bekerja penuh di sawah, mulai mencari pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan keluarga. Banyak yang kemudian menjadi supir atau buruh bangunan.
“Pekerjaan sampingan ternyata menyita waktu, sehingga petani laki-laki melimpahkan sebagian besar pekerjaan di sawah kepada istrinya,” kata Ayip.
Namun, lagi-lagi, keputusan tersebut, tidak serta merta memberikan perempuan hak atas penghasilan dan keputusan pengelolaan lahan. Perempuan selalu diposisikan selalu lebih rendah dari laki-laki.
Temuan lain, ketika banyak petani perempuan merupakan pekerja keluarga. Mereka secara sukarela membantu anggota keluarganya tanpa menerima bayaran, baik berupa uang maupun barang.
Dari sisi pendidikan juga sama. Petani perempuan memiliki kesempatan lebih kecil untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sebesar 80% petani perempuan hanya menempuh pendidikan setingkat sekolah dasar, sementara petani pria (20%-nya) mampu menempuh pendidikan setidaknya setingkat SLTP.
Dengan semua keterbatasan itu, tidak mengherankan jika pengetahuan petani perempuan tentang krisis iklim juga rendah. Mereka jarang dilibatkan pada forum-forum, baik formal maupun informal yang membahas tentang perubahan iklim.
“Bayangin saja, setiap ada pelatihan atau diskusi tentang perubahan iklim, yang datang kebanyakan laki-laki,” ungkap Ayip.
Hal serupa juga terjadi pada penguasan teknologi yang kebanyakan tidak ramah terhadap perempuan. Teknologi yang diciptakan ternyata lebih akrab dengan laki-laki, ketimbang perempuan. Padahal petani perempuan yang lebih banyak menghabiskan waktu di sawah.
“Ini membuktikan ada ketidakadilan yang nyata terhadap perempuan,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)