JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Tahun ini, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) turut menyelenggarakan Panel tentang Keadilan dan Hukum Lingkungan Laut, yang diselenggarakan secara luring di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya dan daring melalui zoom pada Kamis (22/9).
Panel itu berangkat dari isu-isu perubahan iklim, keamanan maritim, dan pelanggaran hak asasi manusia yang terus berlanjut di sektor kelautan dan menimbulkan urgensi untuk perbaikan hukum dan keadilan lingkungan.
Panel dimulai dengan sesi pembukaan yang mencerminkan keefektifan hukum lingkungan, dan menggali potensi berbagai bentuk blue environmental law and justice.
Guru besar ilmu hukum lingkungan internasional dari Universitas Maastricht, Belanda, Prof. Michael Faure dalam presentasinya mengatakan undang-undang lingkungan yang ada terbukti efektif sampai batas tertentu. Banyak dari undang-undang tersebut berfokus pada domain terestrial dalam yurisdiksi nasional, bukan dalam ranah kelautan.
“Sayangnya, undang-undang tersebut tidak efektif dalam menangani krisis lingkungan di era antroposentris (yang lebih berat pada kepentingan manusia),” ujarnya.
Sebagai penanggap pada panel tersebut, Direktur Eksekutif IOJI Dr. Mas Achmad Santosa menegaskan jika planet Bumi sedang menghadapi tiga krisis besar, yaitu perubahan iklim, kepunahan keanekaragaman hayati, dan polusi besar-besaran.
“Praktik ekonomi berkontribusi pada krisis global ini,” ungkapnya.
Untuk itu, Dr. Santosa menekankan perlunya prinsip-prinsip keberlanjutan dan keadilan laut yang kuat dalam hukum lingkungan laut. Beberapa prinsip dalam paradigma new ocean ini telah tertuang dalam kerangka hukum nasional Indonesia.
“Hukum lingkungan laut perlu dikembangkan untuk membantu masyarakat internasional beralih dari ekonomi laut yang tidak berkelanjutan menuju ekonomi laut yang berkelanjutan,” kata Dr. Santosa.
Senada dengan itu, Chair of the Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST) Dr. Marzuki Darusman mengatakan, pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kerja paksa juga marak terjadi di laut, selain masalah lingkungan.
“Karena itu, penting menyoroti isu-isu terkait HAM dan hak-hak pekerja di industri perikanan di Asia Tenggara,” terangnya.
Saat ini, sedikitnya 17.000 pekerja di kapal ikan diperbudak saat bekerja di perairan Asia Tenggara. Oleh karena itu, Dr. Darusman mengatakan ada tiga tantangan utama harus segera dibenahi.
“Pertama adalah melindungi pekerja di kapal ikan. Kedua, tumpang tindih kewenangan di industri perikanan. Dan ketiga, sulitnya pemantauan kapal dan perlindungan HAM di laut,” ujarnya.
Hal itu dibenarkan oleh Fadilla Octaviani selaku COO IOJI. Menurutnya, risiko pelanggaran HAM dan pekerja di sepanjang rantai pasok seafood, khususnya terhadap pekerja migran sangat besar. Serangkaian rekomendasi kebijakan pun disampaikan untuk mengatasi risiko-risiko tersebut.
“Termasuk pengembangan hukum dan kebijakan di tingkat nasional, regional, dan internasional serta peningkatan sistem dan praktik penegakan hukum,” katanya.
Melindungi ekosistem laut dan HAM di laut membutuhkan pemantauan dan penegakan maritim yang efektif. Dr. Samuel H. Kowaas, selaku Direktur Informasi dan Data Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (BAKAMLA RI) memaparkan tentang perkembangan satelit dan teknologi informasi dalam penegakan hukum maritim di Indonesia.
Dr. Kowaas menjelaskan manfaat dari transformasi digital dalam penegakan hukum di laut, seperti pengambilan keputusan yang lebih cepat, format data yang seragam.
“Juga waktu respon/relay yang lebih singkat, dan biaya operasional yang lebih rendah,” ungkapnya. (Jekson Simanjuntak)