I’d put my money on the sun and solar energy. What a source of power?
I hope we don’t have to wait until oil and coal run out before we tackle that.
—Thomas Edison to Henry Ford, March 1931
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — PhD Researcher dari University of Cambridge Felix Utama Kosasih mengatakan potensi tenaga surya di Indonesia sangat besar. Kurang lebih 536 gigawatt, namun yang terpasang hanya 150 megawatt, pada akhir 2019.
“Disini kita lihat, bahkan satuannya saja berbeda. Jadi yang terpasang sekarang bukan 30% dari potensinya tetapi hanya 0.03%. Ini angkanya rendah sekali,” katanya.
Dari 150 megawatt yang terpasang, ternyata hanya 10% yang berasal dari rooftop solar atau panel surya di atap rumah, yang digunakan secara umum. Dari sini bisa disimpulkan bahwa progress solar energy di Indonesia, kebanyakan dimotori oleh proyek skala besar (skala utilitas) yang berasal dari pemerintah.
“Ini sayang sekali, karena potensi rooftop PV di Indonesia sangat besar. Sudah dihitung antara 30 – 120 gigawatt. Tidak mencakup dari skala utilitas tadi,” kata Felix saat menjadi pembicara pada webinar “Masa Depan Energi Indonesia: Energi Surya”, Cambridge (13/6/2020).
Sementara itu, 90% tenaga surya yang ground mounted (bersifat PLTS), 2/3-nya adalah off grid atau tidak terhubung dengan jaringan listrik nasional. PLTS yang sifatnya off grid memiliki kapasitas kecil, sehubungan dengan targetnya hanya pada satu desa saja.
Sehingga jika ingin meningkatkan kapasitas nasional, maka perlu meningkatkan rooftop solar atau dengan kata lain, partisipasi swasta dan utilitas yang skalanya lebih besar secara on grid (terhubung dengan jaringan PLN).
“Disini saya gak bilang ini sebagai sesuatu yang jelek, karena off grid PV penting sekali untuk meningkatkan elektrifikasi dan meningkatkan kesetaraan kesejahteraan untuk teman-teman yang tinggal di daerah 3T (terdepan, terpencil dan tertinggal)”, ungkapnya.
![]() |
90% tenaga surya yang ground mounted (bersifat PLTS) kebanyakan tidak terhubung dengan jaringan listrik nasional. (sumber: https://www.hippopx.com/) |
Felix mengungkapkan, satu-satunya cara untuk meningkatkan kapasitas PLTS adalah dengan menunjukkan potensi keuntungan ekonomi dari penggunaan tenaga surya dibanding listrik PLN.
Contohnya bisa mengacu pada harga pemasangan rooftop PV atau residential PV di Amerika Serikat pada tahun 2018. Disana, harga solar panel silikon turun drastis dalam 10 tahun terakhir. “Dan itu memang benar,” ucapnya.
Saat ini, penurunan pemasangan rooftop PV sangat tajam, ketika harga tidak lagi ditentukan oleh solar panelnya sendiri, namun didominasi oleh hal-hal terkait perizinan, inspeksi, pajak, profit, lalu harga pemasangan, harga struktur kerangka dan balance of system lainnya, dan harga sistem inverternya.
“Nah, kesimpulannya disini, kita perlu menurunkan harga ini, agar dampak ekonominya lebih positif kepada masyarakat pengguna residential PV,” katanya.
Menurut Felix, ini bisa dicapai secara politik misalkan dengan menggunakan subsidi, keringanan pajak, fit in tarif dan semacamnya. “Namun saya ingin fokus kepada solusi yang bersifat sciencetific atau bersifat teknologi, yaitu dengan menggunakan material baru yang lebih baik,” ujarnya
Harga panel yang terus turun, ternyata tidak cukup untuk menurunkan dampak ekonomi, sehingga dibutuhkan panel baru yang ringan dan mudah diinstalasi. Agar dua komponen harga tersebut turun, bukan hanya harga panelnya, namun juga panel yang lebih efisien dibanding yang ada sekarang.
“Jika kita ambil harga per-power yang dihasilkan, jika kita punya panel yang lebih efisien, maka semua komponen ini akan turun harganya. Bukan hanya komponen solar panelnya sendiri,” terang Felix.
![]() |
Sebentuk Perovskit monolitik yang merupakan sel surya tandem (sumber: https://physicsworld.com/) |
Beralih ke Perovskite
Sejak tahun 1950-an sampai sekarang, efisiensi berbagai macam material yang digunakan untuk solar panel, cenderung stagnan. Salah satunya, efisiensi panel silikon yang tidak mengalami peningkatan dari sisi riset dan teknologi.
Sementara itu, sejak tahun 2012, ada satu material baru yang mengalami peningkatan efisiensi cepat sekali. “Bahkan sekarang hanya kalah sekitar 1% dibanding silikon solar cell yang sudah berproses sekitar 60-70 tahun, kata Felix.
Material tersebut adalah Perovskite yang dianggap sebagai material masa depan untuk penggunaan panel surya generasi berikutnya.
Kendati demikian, pilihan menggunakan panel surya silikon bukan tanpa alasan. Pasalnya, panel surya silikon terbukti sangat berjasa, karena dominasi marketnya sekitar 90% dari semua panel surya yang digunakan saat ini.
“Jadi kontribusi silikon besar sekali,” kata Felix.
Hanya saja, ketika ada material lain yang lebih potensial dari silikon untuk penggunaan panel surya di masa depan, yaitu Perovskite, maka pilihan itu layak dipertimbangkan. Perovskite dianggap sebagai promising alternative candidate, khususnya dengan membuat tandem cell yang sifatnya perovskite–perovskite atau perovskite-silikon.
![]() |
Perovskite mengubah sebagian besar cahaya datang secara langsung menjadi listrik yang dapat digunakan. (sumber: Fabian Ruf/Scilight) |
Sistem Sandwich
Felix menjelaskan, panel surya dari material perovskite diproduksi oleh Saule Technologies, sebuah perusahaan asal Polandia yang sekarang world leeding untuk komersial material panel surya.
“Jika kita lihat struktur kristalnya, jauh berbeda dengan silikon, dimana panel surya silikon hampir semuanya adalah silikon dan sangat sedikit ada atom lain,” terangnya.
Sementara material Perovskite, memiliki setidaknya 3 komponen atom dan bahkan ada komponen terbaik dengan efisiensi paling tinggi. “Itu struktur formula kimia sangat rumit. Ini cukup berbeda jauh dibanding silikon,” katanya.
Karena memiliki komposisi yang rumit, maka banyak upaya untuk memodifikasi material Perovskite sesuai kebutuhan. Caranya dengan mengubah komposisi atom penyusunnya.
“Ini adalah contoh manfaat yang bisa kita dapatkan dengan memodifikasi properti Perovskite. Misalkan, kita punya sinar matahari yang datang ke solar cell kita,” katanya
Felix menambahkan, “Jika ingat pelajaran IPA di SMP dulu, sinar matahari terdiri dari banyak warna dan masing-masing warna memiliki energi yang berbeda-beda, sehingga jika memiliki komposisi Perovskite yang tepat, kita bisa atur-atur”.
Panel surya yang dihasilkan, strukturnya bisa seperti sandwich dua lapis material. Lapisan tersebut, terdiri dari komposisi yang berbeda, dimana satu lapisan adalah Perovskite dan lapisan lainnya adalah silikon.
Cara kerjanya, sinar matahari yang memiliki energi tinggi akan diserap di lapisan pertama, sedangkan warna yang memiliki energi lebih rendah, diserap oleh lapisan berikutnya.
“Dengan menggunakan sistem sandwich atau sering disebut tendem cell, kita bisa memaksimalkan penggunaan cahaya sinar matahari yang dikonversi menjadi elektron atau menjadi tenaga listrik,” terangnya.
Ini artinya, ketika memiliki hanya satu lapis saja, maka akan mengahasilkan energi seluas panel surya tersebut, sedangkan jika memiliki tandem cell, akan mendapatkan energi untuk dua bagian, yakni lapisan atas dan bawah.
![]() |
Perovskite dihasilkan dari metode fabrikasi roll-to-roll (R2R) akan mempengaruhi penelitian sel surya di seluruh dunia. (sumber: https://www.specific.eu.com) |
Lebih Fleksibel
Selain potensi efisiensi yang tinggi, Perovskite bisa diprint layaknya mencetak koran, bahkan pada praktiknya sama persis. “Jadi jauh lebih mudah dibuat dibanding panel silikon dan energy paybacknyalebih kecil,” kata Felix.
Misalkan panel surya berbahan silikon, energi yang digunakan untuk memproduksinya, baru terbayar setelah 2 tahun. Sedangkan untuk panel berbahan Perovskite, karena pembuatannya mudah, maka energinya bisa terbayar dalam dua bulan bahkan dalam hitungan minggu.
“Jadi Perovskite bisa diproduksi secara roll to roll printing dan terbukti lebih baik dalam menyerap sinar matahari. Material yang diperlukan jauh lebih sedikit, biasanya kurang dari 1 mikron,” papar Felix.
![]() |
Sel surya perovskite mulai diluncurkan dalam aplikasi nyata. (Sumber: Saule Technologies) |
Untuk referensi ukuran 1 mikron, Felix menjelaskan, bahwa itu adalah ukuran ketebalan seutas rambut manusia, sedangkan silicon cell memiliki ketebalan lebih dari 200 mikron.
“Karena penggunaan materialnya lebih sedikit, maka otomatis harganya juga turun,” katanya.
Ketika properti Perovskite bisa dimodifikasi, maka warna solar cell juga bisa diatur. Begitu juga dengan cara cetak secara roll to roll, membuatnya lebih fleksibel. Hal itu menyebabkan Perovskite bisa langsung diintegrasikan ke bangunan, kendaraan (jendela, atap mobil) dan bersifat rollable. “Sehingga saat kita mau pasang, gak perlu susah-susah hanya tinggal digulung saja seperti karpet,” terangnya.
Karena itu Felix menyebut Perovskite sebagai material terbaik saat ini dan memiliki potensi yang sangat besar di masa depan.
![]() |
Perovskite dapat digunakan di mobil, perangkat elektronik portabel, perangkat wearable, dan banyak lagi di masa depan. (sumber: https://www.ajudaily.com/) |
Jauh Lebih Untung
Studi yang dilakukan satu grup mahasiswa dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengukur levelized cost of electricity (LCOE) dengan membandingkan harga pemasangan di tingkat residensial atau rooftop, dan pemasangan di tingkat utility (PLTS).
“Disini dibandingkan, garis putus-putus bewarna merah yang adalah silikon mono kristalin, garis putus-putus warna biru untuk silikon yang multi kristalin. Sedangkan garis yang hijau yang turun, adalah untuk cel Perovskite,” terang Felix.
Ternyata seiring kenaikan efisiensi Perovskite, harga LCOE-nya turun dengan cukup cepat dan akan lebih murah dari silikon. Efisiensinya mencapai 18%.
Sementara untuk tingkatkan modul berskala besar, efisiensi Perovskite sekitar 16%. “Jadi kita hanya perlu meningkatkan sekitar 2% lagi, sampai LCOE Perovskite lebih rendah dari silikon,” katanya.
Atau, jika diturunkan lebih jauh, maka struktur tandem atau sandwich bisa menjadi pilihan. Baik berupa silikon atau Perovskite, atau Perovskite dan Perovskite sebanyak dua lapis, maka harganya jauh lebih murah ketimbang silikon.
Selain itu, ada juga proyeksi yang dilakukan oleh grup lain di MIT untuk mengukur, berapa harga ongkos untuk memproduksi flexible Perovskite solar cell, berdasarkan kapasitas produksi pabriknya.
“Disini kita lihat untuk kapasitas produksi sekitar 1 gigawatt/ tahun, maka harganya sekitar 50 cen,” ucap Felix.
Ini setara dengan pembuatan panel silikon sekarang. Padahal kapasitas panel silikon saat ini hanya 100 gigawatt/ tahun atau 100 kali lebih besar dari Perovskite.
“Bisa dibayangkan jika kita ekstend sebanyak 100 kali, maka harganya akan turun jauh lebih rendah lagi, sehingga jauh lebih murah dibandingkan panel silikon,” pungkasnya..
Dan saat ini, ada banyak riset diseluruh dunia yang berusaha agar efisiensi Perovskite ditingkatkan, termasuk menurunkan harganya. (Jekson Simanjuntak)