JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Trend Asia mengecam tindakan pemerintah bersama DPR RI yang sepakat menghapus dan menaikkan daya listrik rendah bagi warga miskin pengguna listrik subsidi, di tengah kenaikan bahan bakar yang juga mendapat sorotan masyarakat luas.
Juru Kampanye Energi Trend Asia Novita Indri mengkritik keras kebijakan tersebut dan mendesak pemerintah untuk segera mencabutnya. Ia menilai, kebijakan menghapus golongan listrik 450 VA sama sekali tidak menyelesaikan akar persoalan, dan hanya mendorong warga miskin untuk lebih konsumtif di tengah situasi pelik pemangkasan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang berimplikasi pada kenaikan harga kebutuhan pokok.
“Di tengah bayang-bayang inflasi tinggi, keputusan sepihak ini semakin menegaskan bahwa pemerintah telah gagal dalam melakukan perencanaan dan penyediaan energi, dengan membebankan penyelesaian masalah oversupply ke masyarakat kepada kelompok paling rentan,” ujarnya
Novita menjelaskan, jika ditarik ke pangkal persoalan, kondisi oversupply PLN telah terjadi menahun karena pemerintah Indonesia terus memaksakan pembangunan PLTU baru meski ekonomi melambat.
“Contoh paling kentara, yakni megaproyek 35.000 MW, program ambisius Presiden Joko Widodo yang digagas pada kampanye pemilihan presiden 2014 lalu,” ungkapnya.
Megaproyek tersebut didominasi pembangkit listrik energi kotor batubara. Seperti PLTU Jawa 9 & 10 di Suralaya, Banten yang sedang dalam tahap konstruksi dan PLTU Tanjung Jati B di Jepara yang sudah masuk tahap Commercial On Date (COD) pada September tahun ini.
“Kedua PLTU berkapasitas jumbo ini akan memasok listrik di dalam jaringan kelistrikan Jawa-Bali yang telah oversupply mencapai 50 persen,” terang Novita.
Hingga akhir 2022 tambahan pasokan dari proyek 35 GW akan menambah dominasi batubara dalam bauran energi nasional hingga 68,7 persen (ESDM, 2022). Kondisi akan semakin buruk jika pembangunan PLTU batubara sebesar 13,8 GW dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 yang pemerintah klaim sebagai “RUPTL terhijau” tetap dijalankan.
Sementara itu, studi lembaga think tank Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA, 2021) mengungkapkan, situasi oversupply dari PLTU batubara ini akan semakin mengunci upaya Indonesia untuk bertransisi energi.
Masifnya pembangunan PLTU batubara dalam program 35.000 MW ini lah yang semakin mencekik posisi PLN yang juga terikat skema take or pay, alias listrik terpakai atau tidak terpakai, PLN tetap harus beli.
Solusi atas kondisi oversupply yang dialami PLN, kata Novita, tidak boleh dibebankan kepada warga, terlebih warga miskin. “Alih-alih memacu rakyat semakin konsumtif dengan tujuan hanya untuk menyerap kelebihan pasokan listrik batubara, pemerintah seharusnya fokus menyelesaikan permasalahan mendasar yakni tidak membangun PLTU baru,” tegasnya.
Pemerintah, menurut Novita, harus segera mengubah arah rencana penyediaan energi ke sumber energi bersih dan berkeadilan. Selain itu, pemerintah harus serius melakukan renegosiasi skema take or pay yang terus menguntungkan pembangkit listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) dan sebaliknya terus merugikan keuangan negara karena menambah beban keuangan PLN.
“Renegosiasi tidak cukup pada pembangkit yang belum beroperasi, tetapi juga harus dilakukan pada pembangkit yang sudah secara komersil beroperasi,” tuntutnya.
Sebelumnya, Ketua Banggar DPR RI, Said Abdullah mengatakan, daya listrik warga miskin yakni 450 volt ampere (VA) akan dihapus, lalu dinaikkan menjadi 900 VA. Selanjutnya daya 900 VA dinaikkan menjadi 1.200 VA. Kebijakan itu diambil saat rapat panja pembahasan RAPBN 2023 di Gedung DPR, Senin (12/9).
Di gedung parlemen, Said berargumen bahwa kebijakan itu untuk mengatasi kondisi PLN yang oversupply (kelebihan pasokan listrik) mencapai 6 GW. Menurutnya, kelebihan listrik akan semakin membebani PLN sehingga pemerintah perlu menaikkan daya listrik warga miskin, rentan miskin, dan di bawah garis kemiskinan, agar listrik PLN semakin terserap. (Jekson Simanjuntak)